IBTimes.ID, Yogyakarta – Hari ketiga Festival Beda Setara (Best Fest) yang digelar di Taman Peradaban Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menawarkan cara baru untuk memperkenalkan konsep toleransi dan keberagaman. Sejumlah acara seperti Kongkow Bareng GUSDURian, Forum Belajar, dan Bioskop Rakyat menjadi daya tarik utama festival ini.
Dalam Kongkow Bareng GUSDURian, Program Manager Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Tri Noviana, membahas topik “Mendorong Kebijakan yang Adil dan Setara”. Ia menegaskan pentingnya mengkampanyekan gerakan toleransi dan kebebasan beragama secara masif di kalangan anak muda.
“Kita sebagai anak muda perlu mengkampanyekan gerakan toleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan secara masif untuk membela hak-hak kelompok rentan, termasuk bagaimana kita bisa membangun kesetaraan antaragama-kepercayaan maupun antarsuku-gender dan sebagainya,” jelasnya.
Tak kalah menarik, Forum Belajar menyediakan berbagai wahana interaktif, seperti permainan Ular Tangga Keberagaman, Alas Cerita Keberagaman, dan Blind Date. Melalui permainan ini, pengunjung diajak memahami kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan cara yang menyenangkan.
Salah satu pengunjung, Fani, mengungkapkan keseruannya setelah mencoba Ular Tangga Keberagaman dan sesi Alas Cerita Keberagaman. “Ini bukan sekadar permainan ular tangga biasa, setiap kotaknya berisi pertanyaan-pertanyaan yang membuka wawasan baru terkait kebebasan beragama. Seru banget, karena permainan ini mudah diikuti oleh berbagai usia,” ungkapnya.
Sementara di sesi Alas Cerita Keberagaman, Fani menyebut pengunjung bisa berdiskusi tentang isu kesehatan mental, berpikir kritis, dan demokrasi melalui kartu refleksi. Fani menilai kegiatan ini sangat bermanfaat untuk memahami perspektif dan perbedaan pendapat orang lain.
Pengunjung lain, Rifaldo, juga berbagi pengalamannya mengikuti permainan ular tangga dan sesi diskusi. “Setiap sesi ular tangga memberi tantangan baru dan pertanyaan yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Ini memperluas wawasan saya tentang keberagaman,” katanya. Rifaldo juga merasa bahwa diskusi terbuka seperti ini sangat penting untuk memutus rantai konflik lintas generasi.
Di sesi Bioskop Rakyat, film dokumenter berjudul Beta Mau Jumpa diputar di tengah-tengah kerumunan pengunjung Pasar Bestari. Film berdurasi 35 menit ini mengisahkan upaya perempuan dan kaum muda untuk menjembatani perbedaan antara Kristen dan Muslim di Ambon pascakonflik 1999-2002.
Salah seorang pengunjung, Nisa mengapresiasi pesan film ini yang dianggapnya mampu menggambarkan realita keberagaman di Indonesia. “Dari segi filmnya sendiri bagus ya. Di Indonesia ini terdiri dari berbagai macam agama. Dengan adanya film itu, mengajarkan kita untuk toleransi,” ujarnya.
Selanjutnya, Malam Tari di Panggung Budaya menutup rangkaian acara festival pada hari ketiga. Terdapat enam penampil yang terdiri dari grup tari tradisional yang berasal dari berbagai daerah dan lembaga. Mereka adalah Tari Nusantara (PBA UIN Suka), Tari Montro (Vihara Karangjati), Tari Empar Etnis (Mahasiswa Sulawesi), Tari Ronggeng (Mahasiswa Bekasi), Tari Gugur Gunung (FISHUM UIN Suka), dan Tari Bhinneka Tunggal Ika (MLKI).