Perspektif

Efek Nasi Tumpeng Film The Santri

2 Mins read

Oleh: Wawan Kuswandi*

Efek nasi tumpeng dalam film The Santri membuat penggila khilafah terkapar berat. Film ini belum tayang di bioskop, namun trailernya yang sudah dirilis via YouTube langsung menuai protes keras.

Ketika adegan Wirda Mansyur (putri ustaz Yusuf Mansur) masuk ke gereja untuk memberikan nasi tumpeng kepada pastur yang memimpin ibadah jemaat. Salah satu pemrotes film ini adalah Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI), Hanif Alathas yang juga menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.Seketika itu juga, Tagar #BoikotFilmTheSantri menjadi trending topik di jagat twitter Indonesia.

Film The Santri merupakan hasil kerja bareng Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan sutradara muda pendatang baru berdarah Tionghoa Livi Zheng dan adiknya Ken Zheng.

Film bergenre drama religius ini, rencananya akan diputar di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat pada Hari Santri Nasional tanggal 20 Oktober mendatang.

Ketua Umum PBNU KH. Said Agil Siradj dalam film ini menjabat sebagai Executive Producer, sedangkan penata musiknya digarap komposer kenamaan Purwacaraka.

Toleransi Santri

Mengapa para penggila khilafah mengecam film ini? Menurut mereka, film The Santri tidak sesuai dengan kehidupan para santri di pesantren.

Pernyataan ini jelas ngawur bin ngaco. Kenapa begitu? Justru film ini seperti dikutip dari laman PBNU, berhasil mengangkat nilai dan tradisi pembelajaran di pondok pesantren yang berbasis kemandirian, kesederhanaan, toleransi, kecintaan terhadap tanah air serta sikap anti radikalisme dan terorisme.

Toleransi antarumat beragama bagi kaum khilafah dinilai sebagai ‘penyakit’ yang menakutkan. Padahal, sikap dan perilaku toleransi antarumat beragama, bagi muslim Indonesia merupakan kunci kehidupan yang super penting. Juga tidak terbantahkan karena dengan toleransi akan tercipta kedamaian, kenyamanan dan ketentraman hidup antarsesama makhluk ciptaan tuhan.

Baca Juga  Bagaimana Keluarga yang Ideal Menurut Islam?

Allah SWT dalam Surat Al Maidah, ayat 48 berfirman, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”

Makna ayat ini sangat jelas bahwa Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan yang berbeda-beda. Perbedaan itu merupakan hukum yang berlaku dalam kehidupan. Perbedaan adalah kehendak illahi yang akan mendorong manusia untuk menjaga kelestarian alam semesta. Oleh karena itulah, manusia wajib menyikapi perbedaan dengan bijak, bukan dengan memaksa orang lain agar berpikiran sama.

Allah SWT juga menyinggung soal perbedaan ini dalam Surat Yunus, ayat 99, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang beriman?

Intisari dari ayat ini ialah perbedaan mensyaratkan adanya ukhuwah bagi umat muslim agar pola kehidupan bisa berlangsung damai sekaligus masing-masing pihak yang berbeda dapat mencapai tujuannya secara kolektif.

Ibadah Muamalah

Sayangnya, kemungkinan besar para penggila khilafah tidak memahami tafsir kedua ayat itu. Mereka sangat kaku dalam menafsirkan ayat di Al Quran dan menjalankan syariat.

Mereka tidak bisa membedakan mana ibadah mahdhah (hubungan langsung dengan Tuhan) contohnya ibadah sholat dan mana ibadah muamalah (hubungan antarmanusia). Contohnya ialah soal berbagi makanan yang bernilai ibadah (saat adegan nasi tumpeng).

Penggila khilafah tidak akan pernah mau memahami bahwa memberikan nasi tumpeng merupakan wujud ibadah muamalah (antarmanusia).Mereka melihat adegan itu hanya sebatas nasi tumpeng dan orang yang menerima tumpeng (non muslim).

Baca Juga  Indeks Kota Islami: Islam bukan Definisi, tapi Indikasi

Mereka menilai, adegan pemberian nasi tumpeng merupakan sikap syirik yang tidak ada tuntunannya dalam ajaran islam. Orang yang menerima tumpeng (non muslim) dalam pemahaman khilafah adalah kafir. Mereka berpendapat bahwa semua ibadah muamalah harus diukur dengan ilmu fiqih.

Nah, berdasarkan penjelasan dua ayat dan dua perbedaan ibadah di atas, maka jelas sudah bahwa film The Santri justru memberikan pemahaman yang sangat luas tentang ajaran Islam yang Rahmatan Lil Alamin.

Umat muslim sebagai pelaksana ajaran Islam tentu berkewajiban memberikan kesejukan hidup antarsesama makhluk ciptaan Tuhan yang bukan hanya terbatas kepada manusia saja, tetapi juga kepada hewan, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa lainnya yang bertebaran di muka bumi. Semoga saja para penggila khilafah sembuh dari penyakit mabok agama setelah menonton film The Santri.

 

*Founder IndonesiaComment.ID

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds