Isu lingkungan merupakan suatu permasalahan yang jika dibicarakan tidak akan ada habisnya. Dimulai dari skala global hingga nasional, posisi isu lingkungan masih berada pada peringkat rendah untuk dibahas, khususnya di Indonesia.
Kesadaran akan kehadiran isu ini pun sepertinya belum begitu menarik perhatian generasi muda yang digadang-gadang sebagai generasi penerus bangsa. Jika dibandingkan dengan Denmark sebagai negara paling hijau sedunia, tentu saja Indonesia kalah.
Permasalahan Lingkungan di Indonesia
Permasalahan lingkungan di Indonesia tiap tahunnya berputar pada banjir, polusi udara, kerusakan hutan, dan sampah.
Seperti pada awal tahun 2020, ketika banjir besar melanda kota Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi yang menelan puluhan korban jiwa serta kerugian dengan jumlah yang besar. Atau kasus kebakaran hutan di Papua oleh perusahaan asing untuk perluasan lahan sawit yang baru terungkap pada November lalu.
Eksploitasi alam tidak hentinya dilakukan untuk tujuan korporasi dan investasi, menjadikan bumi sebagai korbannya. Lalu, apa hubungan antara alam dengan kaum perempuan?
Budaya patriarki menempatkan kaum laki-laki memiliki ‘hak istimewa’ terhadap perempuan. Dominasi tersebut tidak hanya dalam ranah personal saja, namun ke ranah yang lebih luas, seperti politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain.
Hubungan Antara Alam dan Kaum Perempuan
Perempuan dan alam bernasib sama, yakni sama-sama dieksploitasi. Budaya tersebut menempatkan perempuan layaknya objek yang tidak memiliki ‘hak istimewa’ apa pun.
Stereotip dan norma sosial yang berhasil dibangun, membentuk suatu standardisasi terhadap perempuan di mata publik. Kapitalisme dan patriarki layaknya saudara, terus menerus menempatkan perempuan dalam posisi rendah dan hanya sebagai penghasil pundi-pundi rupiah.
Ekofeminisme sebagai bentuk lain dari feminisme, hadir sebagai suatu paham yang menghubungkan keterkaitan antara perempuan dan alam. Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1974 oleh seorang feminis asal Perancis, Françoise d’Eaubonne, dalam bukunya Le Féminisme ou La Mort.
Ia menjelaskan bahwa perempuan tidak diberi hak untuk mengatur reproduksinya, dan sistem patriarki menginginkan agar reproduksi terus berlanjut.
Dalam keterbatasannya, perempuan masih dapat meraih emansipasi dengan cara menentang sistem patriarki melalui tindakan aborsi dan kontrasepsi (Asmari, 2018:131).
Ekofeminisme menggunakan prinsip dasar feminis tentang kesetaraan gender, penilaian kembali struktur non-patrialkal, dan pandangan dunia yang menghormati proses organik, koneksi holistik, dan manfaat intuisi dan kolaborasi.
Vandana Shiva, seorang pelopor ekofeminisme asal India, dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 2004 dengan judul Empowering Women, menuliskan bahwa wanita telah membayar harga tinggi. Layaknya bahan kimia untuk pertanian, wanita diremehkan.
Dipadukan dengan nilai-nilai patriarki, ‘perkembangan’ yang mendorong terjadinya devaluasi terhadap perempuan di bidang pertanian telah melahirkan kekerasan baru berupa pembunuhan janin perempuan. Diskriminasi gender bermutasi menjadi dispensabilitas perempuan di bawah ‘perkembangan’ yang mengecualikan dan merendahkan perempuan.
Ia percaya, bahwa kerusakan ekologi dan bencana industri mengancam kehidupan sehari-hari, dan pemecahan masalah ini telah menjadi tanggung jawab perempuan.
Biografi Vandana Shiva
Vandana Shiva ialah seorang aktivis lingkungan, feminis, filsuf, dan penulis. Ia lahir pada 5 November 1952 di Dehra Dun, Uttaranchal, India. Ayahnya ialah seorang konservator hutan dan ibunya seorang petani.
Ia mempelajari filsafat di Universitas Panjab, Chandigarh dan lulus pada tahun 1972. Kemudian melanjutkan gelar masternya untuk ilmu filsafat di Universitas Guelph, Ontario, dan gelar doktornya di Universitas Western Ontario.
Ketertarikannya pada lingkungan bermula ketika ia pulang ke rumahnya, saat ia menemukan hutan yang sering ia kunjungi ketika kecil berubah menjadi kebun apel. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kembali ke India dan bekerja di Indian Institute of Science dan Indian Institute of Management.
Pada tahun 1982, ia mendirikan Research Foundation for Science, Technology and Ecology (RFSTE). Vandana Shiva merupakan salah satu pemimpin dan anggota dewan Forum Internasional tentang globalisasi, anggota komite ilmiah Fundacion IDEAS, dan anggota Organisasi Internasional untuk Masyarakat Partisipatif.
Selain menjadi aktivis, ia juga aktif menulis, beberapa bukunya ialah, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India (1988), Ecofeminism yang ia tulis bersama Maria Mies (1993), Tomorrow’s Biodiversity (2000), Earth Democracy; Justice, Sustainability, and Peace (2005), Soil Not Oil (2008), Staying Alive (2010), Making Peace with the Earth (2013), dan masih banyak lagi.
Pada tahun 1993, ia menerima Right Livelihood Award dan dinobatkan sebagai “Alternative Nobel Prize”.
Ekofeminisme dalam Perspektif Vandana Shiva
Dalam bukunya Ecofeminism yang ia tulis bersama Maria Mies, ia menulis bahwa kekerasan terhadap perempuan sama tuanya dengan patriarki. Patriarki tradisional telah membentuk pandangan dunia dan cara berpikir kita. Dunia sosial dan budaya kita atas dasar dominasi perempuan, dan penolakan atas kemanusiaan, serta hak mereka atas kesetaraan.
Shiva percaya terdapat hubungan antara bertambahnya tingkat kekerasan, kebijakan ekonomi yang tidak adil, dan intensifikasi kejahatan terhadap perempuan. Ia sadar dengan adanya bias gender di budaya tradisional dan organisasi sosial kita.
Dampak dari bencana ekologi dan kerusakan terhadap perempuan lebih parah dibandingkan laki-laki, dan juga perempuan merupakan yang pertama kali melakukan protes terhadap kerusakan lingkungan.
Sebagai seorang aktivis, ia yakin bahwa sains dan teknologi buta gender. Kita juga masih dapat melihat hubungan dominasi eksploitasi antara manusia dan alam, serta hubungan eksploitasi dan opresif antara laki-laki dan perempuan yang berlaku di sebagian besar masyarakat patriarkal terhubung satu sama lain.
Budaya patriarki kapitalis atau peradaban modern ini didasarkan pada satu yang selalu dianggap superior, berkembang, dan maju dibanding yang lain. Alam berada di bawah manusia, perempuan di bawah laki-laki, konsumsi di bawah produksi, dan lokal di bawah global.
Kaum feminis telah lama mengkritisi hal ini, terutama pembagian struktural antara manusia dan alam yang dipandang sebagai suatu analogi antara laki-laki dan perempuan. Alih-alih mencoba mengatasi hierarki ini, perempuan harus mengakhirinya.
Aliran dominasi ilmu pengetahuan modern dipercaya sebagai proyeksi dari Barat, yang berorientasi pada laki-laki dan patriarkal. Ia mencirikan tradisi patriarki Barat dari revolusi ilmiah sebagai reduksionis, karena :
- mengurangi kapasitas manusia untuk mengetahui alam, baik dengan mengecualikan para pengetahu dan cara untuk mengetahui, dan
- dengan memanipulasinya sebagai suatu materi yang tidak aktif dan terfragmentasi, kapasitas alam untuk regenerasi dan pembaruan kreatif berkurang.
Perspektif feminis dapat melampaui kategori patriarki yang menyusun kekuasaan dan makna di alam dan masyarakat. Hal tersebut lebih luas dan lebih dalam karena menempatkan produksi dan konsumsi dalam konteks regenerasi. Tidak hanya mengaitkan isu-isu yang selama ini dianggap terpisah, seperti mengaitkan produksi dengan reproduksi, tetapi lebih signifikan lagi, dengan menghubungkannya.
Feminisme ekologis menciptakan kemungkinan untuk memandang dunia sebagai subjek aktif, tidak hanya sebagai sumber daya untuk dimanipulasi dan disesuaikan.
Editor: Lely N