Lingkungan hidup (ekologi) dalam sudut pandang geografis Indonesia telah menempatkan diri pada posisi sentral. Ia menjadi penentu dari keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia pada khususnya. Sebut saja sebagai tempat tinggal, bersujud, bercocok tanam, dan seterusnya dari kebutuhan multidimensial. Adalah benar bila dikatakan betapa ‘lingkungan hidup’ telah berkontribusi nyata bagi peradaban manusia di muka bumi ini.
Sayangnya, impian besar itu makin hari nampak makin jauh dari kenyataan kita. Problem-problem ekologis (baca: kerusakan lingkungan) belakangan bermunculan seiring dengan laju modernisasi-industrialisasi global. Walhi mencatat, pada tahun 2017 terdapat 302 konflik lingkungan hidup dan agraria, serta 163 orang dikriminalisasi dalam 13 provinsi di Indonesia. Demikian seterusnya grafik problem ekologis yang kian meningkat tajam hingga hari ini.
Apa faktornya? Saya akan memetakan faktor kerusakan lingkungan hidup sekurang-kurangnya pada dua penyebab utama. Pertama, masalah ekonomi-politik global, akibat paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme, setelah negara-negara maju di bagian Barat (diikuti Indonesia) mendirikan pabrik-pabrik industri yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Kedua, adalah kesalahan atau tepatnya ketidakpedulian manusia sendiri terhadap konservasi lingkungan. Poin kedua inilah yang menjadi bidikan utama tulisan ini. Dengan menempatkan fokus bahasannya pada paradigma ekologi-transendent; suatu praksis ‘keislaman’ yang senantiasa memandang konservasi lingkungan sebagai bagian dari komponen syariat Islam.
Watak teosentris nampaknya masih mengendap dalam benak masyarakat kita. Ketika kemudian dihadapkan dengan bencana alam, masyarakat kita mudah menyimpulkan bahwa semua kejadian tak lebih dan tak kurang merupakan sunnatullah yang telah digariskan oleh Tuhan Sang Pencipta alam. Alih-alih ingin menonjolkan sisi-sisi teologis dalam skalanya yang luas, padahal krisis ekologis, sebagaimana pandangan seorang filsuf Islam keturunan Persia, Sayyed Hossein Nasr (1976: 14), justru disebabkan oleh krisis spiritual manusia pada era modern ini.
Bagi Nasr, adanya berbagai kerusakan yang terjadi akibat kemajuan sains, teknologi, dan ekonomi kapitalis pada dasarnya berakar pada krisis spiritual. Sains, teknologi dan ekonomi yang merupakan kebutuhan manusia seharusnya tidak dipisahkan dari jangkauan spiritual sebagai chek and ballance.
Lanjut Nasr, oleh karena aspek spiritual ini dikesampingkan, akhirnya membuat manusia modern memandang bahwa dirinya bebas menggunakan aset-aset alam tanpa batas, sebagai identitas dari paradigma humanism-antroposentris. Pandangan macam ini yang dalam hemat saya akan melahirkan sikap eksploitatif terhadap Sumber Daya Alam (SDA) pada tahap berikutnya.
Konsepsi al-Quran tentang “khalifah fil ardhi” (pemimpin di muka bumi) sebenarnya telah mengkonfirmasi adanya tanggungjawab manusia terhadap alam/bumi sekaligus memanfaatkannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, dari yang bersifat profan hingga urusan-urusan sakral yang bersifat vertikal.
Dalam konteks ini, perangkat kekhilafahan yang melekat pada diri manusia di muka bumi memerlukan upaya rekonstruktif. Ia tidak cukup hanya dipahami secara legal-formal dalam kerangka trias politica, tapi juga harus dipahami secara ekologis-sehingga spektrum “khilafah” bisa menjangkau keterpeliharaan lingkungan hidup.
Hal ini akan segera memantik kesadaran baru bagi manusia untuk juga menjadi pemimpin bagi alam semesta, disamping bagi dirinya, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Sasaran tembaknya, manusia benar-benar merenungkan (tadabbur) hakikat penciptaan alam semesta berikut manfaat-manfaatnya terhadap kelangsungan hidup. Manusia akan menyadari tugas dan tanggungjawab dirinya terhadap alam sekitar.
Ali Yafie (1994: 10-15) dalam bukunya yang berjudul “Menggagas Fiqh Sosial” dengan cukup filosofis-progresif menulis, bahwa terdapat dua doktrin mendasar yang merupakan dua kutub dimana manusia hidup di muka bumi. Pertama, rabb al-‘alamin. Dalam hal ini, al-Quran telah menegaskan bahwa Allah SWT. sebagai Tuhan semesta alam, bukan Tuhan manusia dan sekelompoknya saja, sehingga baik manusia maupun alam adalah sama di hadapan-Nya.
Kedua, rahmatan lil alamin, artinya manusia diberikan amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam bingkai kasih sayang terhadap semesta alam. Suri tauladan seperti ini terekam jelas dalam ritual-ritual keagamaan. Dalam pelaksanaan ibadah haji, misalnya, seseorang yang berihram tidak boleh mencabut (mematikan) pohon dan tidak boleh membunuh binatang.
Catatan Ali Yafie ini bersenyawa dengan pandangan Nasr yang sesungguhnya bisa dikawinkan agar melahirkan suatu perangkat ilmiah baru dalam upayanya mewujudkan konservasi lingkungan.
Sebab problem ekologis hari ini tidak hanya membutuhkan penyelesaian secara teknis, ekonomis, politis, hukum, maupun sosial-budaya semata, tapi juga memerlukan upaya penyelesaian secara teologis, pemantapan spritual, dengan mengedepankan konsep fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah), sekaligus mengembalikan spirit keberislaman yang bukan saja fokus pada ritualitas keagamaan, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek nonritual, seperti memelihara lingkungan hidup, salah satunya.
Untuk itu, saya akan mengajukan tiga penawaran “epistem” sebagai langkah awal untuk menopang paradigma ekologi-transendent ini.
Pertama, otoritas keagamaan kita hendaknya menyegarkan kembali ayat-ayat ekologis yang terimplisit dalam teks-teks agama, dengan menggali makna konservasi lingkungan melalui pemahaman kembali karya tafsir dan fiqh secara tematik (mawdhu’i), menggunakan unit analisis metodologi yurisprudensial atau ushul fiqh. Sehingga konservasi lingkungan dapat diformulasikan secara ilmiah dalam diskursus ilmu-ilmu keislaman kontemporer.
Kedua, menyusun basic gerakan komunal melalui panggung-panggung agama, menjadi langkah strategis untuk menopang paradigma ini. Operasionalnya, kegiatan-kegiatan dakwah islamiah juga harus diorientasikan untuk membangkitkan kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup.
Pada konteks ini, perlu dilakukan indoktrinasi secara terus-menerus bahwa gerakan menjaga lingkungan hidup merupakan bagian integral dari konsep kekhilafahan manusia di muka bumi. Tentu saja, para ulama dan tokoh masyarakat seyogianya menjadi teladan dan panutan yang baik bagi segenap pengikut atau jamaahnya.
Materi dakwah yang mengusung pesan-pesan agama, seperti definisi dosa, maksiat, haram dan sejenisnya juga harus disematkan kepada para perusak lingkungan. Demikian halnya dengan pengertian tentang wajib, pahala, amal jariyah dan sejenisnya yang berdimensi kebaikan harus diperuntukkan bagi orang-orang yang senantiasa berikhtiar untuk melestarikan lingkungan.
Ketiga, sinergitas ulama, umara, cendikiawan, ekonom, geograf, dan para pakar lainnya harus diketengahkan guna menyumbang landasan epistemik sesuai dengan spesifikasi keilmuannya masing-masing. Upaya ini hendak mendialogkan kembali ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum, sehingga tercipta kesatuan ilmu yang integratif-interkonektif. Proyek keilmuan ini diharapkan menjadi solusi dari krisis ekologis yang diakibatkan oleh ketidakpedulian suatu ilmu terhadap ilmu yang lainnya.
Pada akhirnya, pembacaan saya bukan lagi pada historisikal dan definisi normatif atas syariat Islam. Melainkan lebih pada pembacaan eksistensial terhadap syariat dalam konteks masa kini, dihadapan krisis ekologi global.
Kini, problem lingkungan hidup bukan hanya merupakan masalah politis dan ekonomis, lebih jauh ia merupakan masalah teologis, mengingat dampak yang diakibatkannya memberi ancaman terhadap ritual keagamaan dan umat manusia secara keseluruhan. Disinilah paradigma ekologi-transendent menemukan momentumnya. Wallahu a’lam
Editor: Dhima Wahyu Sejati