Kapitalisme dan Sosialisme: Dua Kutub Besar Sistem Ekonomi
Kapitalisme, Sosialisme, Ekonomi Islam–Mendayung antara dua karang, itulah perumpamaan indah Bung Hatta saat menjelaskan politik internasional Indonesia. Pada tahun 1948, politik internasional terbagi ke dalam dua kutub, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Merespon hal itu, Bung Hatta berpidato dengan tema tersebut. Dari pidato tersebut, lahirlah konsep politik bebas aktif, di mana Indonesia tidak berpihak pada blok barat atau blok timur. Di mana secara ekonomi, blok barat yakni Amerika Serikat identik dengan kapitalisme, dan Uni Soviet dengan komunisme.
Dalam buku Identitas Politik Umat Islam, Kuntowijoyo mencoba mengulas konsep ummatan wasathan QS. Al Baqarah: 143. Dalam sistem ekonomi, Kuntowijoyo mengutip Dawam Rahardjo yang meminjam istilah Bung Hatta untuk menggambarkan ekonomi Islam. Menurut Dawam, ekonomi Islam itu bagaikan mendayung antara dua karang. Pengertian berdiri di tengah tidak bisa sekadar dimaknai secara negatif, bukan kapitalis dan bukan sosialis. Namun dalam Islam, ada yang merupakan hak individu, ada juga yang hak kolektif yang diatur negara.
Hakikat Ekonomi Islam
Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai relasi ekonomi Islam dengan sosialisme dan kapitalisme, saya ingin mencoba menggambarkan hakikat ekonomi Islam tersebut. Menurut Tariq Ramadhan, cucu dari pendiri Ikhwanul Muslimin Hasan Al Banna, ekonomi Islam itu adalah penerapan etika Islam dalam ilmu ekonomi. Bagi saya ini adalah definisi sederhana yang paling mudah dipahami.
Dalam beberapa aspek, ekonomi Islam tidak menawarkan teori baru. Misalnya soal hukum penawaran dan permintaan. Dikisahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW, harga barang-barang naik. Seorang sahabat meminta Nabi Muhammad SAW agar melakukan intervensi pasar agar harga turun. Nabi menolak mengatakan bahwa Allah SWT yang menaik turunkan harga. Hal ini sejalan dengan teori Adam Smith tentang harga yang ditentukan oleh adanya invisible hand.
Pada aspek lain, ekonomi Islam menawarkan rambu-rambu dan batasan yang tidak ditetapkan pada sistem ekonomi mainstream. Misalnya dalam ekonomi konvensional, tujuan dari kegiatan ekonomi adalah meraih kepuasan (utility) maksimal. Tidak disebutkan dengan jelas batasan terkait ini. Jikapun ada, maka batasannya menurut hukum positif. Misalnya kita dilarang mengonsumsi narkoba karena melanggar undang-undang.
Dalam ekonomi Islam, batasan yang digunakan dalam meraih kepuasan maksimal adalah halal dan haram. Silahkan anda mengonsumsi apapun untuk meraih kepuasan asal barang yang anda konsumsi adalah halal. Halal di sini bisa berupa zatnya atau cara mendapatkannya. Inilah kenapa ekonomi Islam disebut juga ekonomi normatif, karena mempunyai landasan norma yang jelas.
Selanjutnya, ekonomi Islam juga mengatur mengenai transaksi ekonomi yang dilarang. Dalam ekonomi konvensional, tentu ada transaksi-transaksi yang terlarang. Misalnya monopoli, dumping, penipuan dan segala transaksi yang dilarang dalam hukum positif negara. Dalam ekonomi Islam, ada tiga transaksi utama yang terlarang, maisir (judi), gharar (ketidakjelasan) dan riba (rente). Jika dalam transaksi ekonomi Islam mengandung unsur tersebut, maka transaksi tersebut dilarang.
Norma-norma Pembentuk Ekonomi Islam
Ciri ekonomi Islam yang lainnya adalah soal sumber dan khazanah pemikiran. Ekonomi Islam menjadikan Al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai sumber utama yang otoritatif bagi pembentukan norma ekonomi. Ekonomi Islam juga mencoba kembali khazanah-khazanah klasik yang ditulis ulama muslim tentang ekonomi. Ditemukanlah pemikir-pemikir seperti Abu Yusuf, Abu Ubaid, Al Maqrizi, Yahya bin Umar, Ibnu Taimiyah, Al Ghazali, Ibnu Khaldun dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap khazanah klasik tersebut, lagi-lagi hasilnya sama. Ada yang cocok dengan ilmu ekonomi modern, ada juga yang berbeda. Untuk apa khazanah tersebut dikumpulkan? Pertama untuk menunjukan bahwa para pemikir muslim terdahulu juga punya gagasan ekonomi, bukan hanya cendekiawan barat saja. Kedua untuk mengetahui bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi umat Islam pada masa lalu.
Norma yang digali dari Al Qur’an dan sunnah, serta kumpulan khazanah keilmuan dari para ilmuwan muslim masa lalu, itulah yang kita sebut hari ini dengan ekonomi Islam.
Berbagai Pendapat Tentang Ekonomi Islam
Lantas apakah ekonomi Islam berbeda sepenuhnya dari kapitalisme dan sosialisme? Ataukah ada perbedaan dan persamaan dengan dua sistem ekonomi tersebut? Jawaban pertanyaan ini ada beberapa pendapat.
Pertama, disebut mazhab mainstream. Menurut mazhab ini, ekonomi konvensional yang tidak bertentangan dengan Islam bisa kita adopsi. Yang membedakan ekonomi konvensional dengan Islam adalah norma dan etika hukumnya. Jelas dari uraian sebelumnya, bisa diketahui bahwa saya adalah penganut mazhab ini. Pakar ekonomi Islam yang menjadi tokoh mazhab ini di antaranya Umer Chapra, Nejatullah Shiddiqi, M. Abdul Mannan.
Kedua, disebut mazhab Iqtishaduna atau Baqir Ash Shadr. Baqir Ash Shadr adalah pemikir asal Iran yang menulis buku berjusul Iqtishaduna, artinya ekonomi kami. Selain Iqtishaduna, Baqir juga menulis buku lain seperti falsafatuna, filsafat kami. Jika mazhab mainstream tidak mempermasalahkan filsafat ilmu ekonomi konvensional asal tak melanggar syariah, mazhab iqtishaduna menegaskan bahwa ekonomi Islam berdiri sendiri di luar kapitalisme dan sosialisme. Ekonomi Islam mempunyai falsafah sendiri yang berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme.
Ketiga, disebut mazhab alternatif kritis, tokohnya adalah Timur Khuran. Menurut mazhab ini, setiap sistem ekonomi perlu mendapat kritik. Bukan hanya kapitalisme dan sosialisme, ekonomi Islam sendiri tetap perlu terus menerus dikritik. Karena ekonomi Islam bukanlah Islam itu sendiri. Jadi jika ada di antara kita yang selalu mengkritik sistem-sistem ekonomi, mungkin dia penganut mazhab ini.
Kapitalisme dan Sosialisme dengan Ekonomi Islam: Sama atau Beda?
Jadi jika saya ditanya, apakah ekonomi Islam sama atau berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme? Maka saya akan jawab ada samanya ada juga bedanya. Dalam matematika, ada pembahasan tentang himpunan. Salah satu alat untuk membaca himpunan adalah diagram Venn. Bayangkan ada sebuah persegi empat yang disebut himpunan semesta. Ada tiga lingkaran : A: kapitalisme, B: ekonomi Islam, C: sosialisme. Lingkaran B mempunyai irisan dengan lingkaran A dan lingkaran C. Begitulah gambarannya.
Yang jelas, ekonomi Islam berusaha mengambil yang baik dari kapitalisme dan membuang yang buruknya. Begitupun dari sosialisme, ambil yang baiknya dan buang yang buruknya. Sebagian menyebut metode ini dengan eklektisme. Persoalan selanjutnya yang tak boleh dilupakan adalah, bagaimana ekonomi Islam bisa berkontribusi bagi kemajuan bangsa?
Jika kita perhatikan, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dengan paham agama bangsa tersebut. Amerika Serikat maju dengan kapitalisme, di mana akar kapitalisme adalah ajaran Protestan. Jepang maju karena agama Tokugawa menurut Robert N. Bellah. China maju karena ajaran konfusianisme. Tentu Indonesia harus maju juga dengan ajaran Islam. Sayangnya menurut Muhammad Abduh, aku melihat Islam di Paris, namun tidak melihat muslim. Aku melihat muslim di Mesir, namun tidak melihat Islam.
Agar kita bisa menjawab kritik Abduh tersebut, maka umat Islam harus mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, yakni yang bersifat ritual dan substantif secara simultan. Iman dan ilmu, syariat dan hakikat, fikih dan tasawuf, dunia dan akhirat, jangan kita pisahkan.