Umat Islam di Tengah Polemik Perayaan Tahun Baru Masehi
Bukan umat Islam namanya jika kehabisan topik permasalahan untuk diperdebatkan. Setidaknya ini yang penulis lihat dalam percakapan warganet muslim di Indonesia. Dalam satu tahun berjalan ada saja momentum dimana sebuah polemik mencuat. Misalnya boleh atau tidak maulid Nabi Muhammad SAW, boleh tidaknya mengucapkan selamat natal, boleh tidaknya perayaan Isra dan Mikraj dll.
Yang sedang hangat hari-hari ini adalah seputar perayaan tahun baru masehi. Bolehkah umat Islam merayakan tahun baru masehi? Persoalan kemudian melebar menjadi apakah boleh seorang muslim membeli terompet untuk ditiup? Apakah merayakan tahun baru dan meniup terompet termasuk tasyabbuh yang dilarang agama?
Ragam Respon Umat Islam Menyikapi Perayaan Tahun Baru Masehi
Jangankan perayaan tahun baru masehi, tahun baru hijriyah saja masih menjadi polemik. Tentu mayoritas umat Islam menganggap bahwa peringatan tahun baru hijriyah adalah Islami. Peringatan tahun baru hijriyah harus disemarakkan dan disyiarkan sebagai bentuk salah satu identitas umat Islam.
Namun sebagian kelompok muslim ada yang mengharamkan dan membid’ahkan tahun baru hijriyah. Alasannya hari raya yang disyariatkan dalam Islam hanyalah Idul Adha dan Idul Fitri. Mengadakan peringatan selain dari dua hari raya ini adalah bid’ah walaupun isinya sesuai dengan ajaran Islam.
Jika dalam tahun baru hijriyah saja terjadi polemik antar sesama muslim, apalagi dalam perayaan tahun baru masehi yang merupakan tradisi umat lain. Penulis mencatat ada beragam respon umat Islam dalam menyikapi datangnya tahun baru Masehi. Keragaman respon ini melahirkan polemik yang cukup menarik untuk disimak.
Pertama, respon umat Islam adalah menolak secara mutlak perayaan tahun baru. Beredar foto di media sosial sebuah spanduk yang berisi himbauan untuk menyepikan malam tahun baru. Kelompok ini menganjurkan kepada umat Islam agar malam tahun baru di rumah saja seperti malam biasa.
Kedua, respon umat Islam adalah membuat kegiatan tandingan yang bernuansa Islami. Kelompok ini beranggapan jika masyarakat mengisi tahun baru dengan kegiatan hura-hura yang berisi penampilan musik, mengapa umat Islam tidak membuat acara pada waktu yang sama namun isinya zikir bersama dan tabligh akbar?
Ketiga, respon umat Islam adalah ikut merayakan tahun baru masehi dengan kegiatan yang bersifat hura-hura. Kelompok ini sekadar mencari kesenangan dan refreshing dari kesibukan sehari-hari. Cara yang mereka pilih adalah menenggelamkan diri dalam pesta bernuansa hedonisme dan kapitalisme.
Keempat, respon umat Islam adalah memanfaatkan momentum tahun baru untuk berbuat maksiat. Sudah bukan rahasia bahwa malam tahun baru banyak menjadi momentum muda-mudi untuk melakukan seks bebas, sebuah perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama. Tercatat dalam berbagai berita bahwa banyak kondom bekas bertebaran setelah malam pesta tahun baru.
Kita bisa menyebut bahwa respon pertama dan kedua dilakukan oleh umat Islam yang cukup menaati ajaran agama. Adapun respon ketiga dan keempat dilakukan oleh kelompok muslim yang sering disebut abangan. Walaupun abangan namun mereka masih termasuk umat Islam.
Memaknai Pergantian Tahun Baru Masehi dengan Tepat
Menurut penulis, umat Islam mesti mencoba keluar dari polemik perayaan tahun baru Masehi yang sudah menjadi ritual tahunan. Tak dapat dipungkiri bahwa kalender Masehi dibuat dan disusun bukan oleh umat Islam. Kalender umat Islam adalah kalender hijriyah yang berdasarkan peredaran bulan, karena itu disebut juga kalender qomariyah.
Dalam QS. Al Baqarah: 189 Nabi Muhammad SAW ditanya oleh sahabat tentang fase-fase bulan. Allah SWT memerintahkan agar Nabi Muhammad SAW menjawab bahwa fase-fase bulan itu adalah penanda waktu bagi manusia dan untuk haji. Ayat ini menjelaskan pentingnya penampakan bulan untuk menjadi basis dari kalender hijriyah yang juga menjadi penentu waktu ibadah.
Lantas apakah jika kalender yang diadopsi umat Islam berdasarkan peredaran bulan, maka menjadi terlarang bagi kita untuk menggunakan kalender yang berbasis peredaran matahari? Dalam QS. Yunus: 5 Allah SWT berfirman: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Dalam QS. Ar-Rahman: 5 Allah SWT berfirman: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dua ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa baik bulan maupun matahari adalah sama-sama makhluk Allah SWT yang diciptakan guna memudahkan manusia mengetahui pergantian bulan dan tahun. Karena itu menurut sains dan alquran tidak ada masalah dengan kalender berbasis peredaran matahari (syamsiyah) maupun bulan (qomariyah).
Tinggal yang perlu dilakukan umat Islam adalah mendesakralisasi kalender Masehi yang pada awalnya memang kental dengan unsur pagan Romawi. Menurut penulis hari ini kalender Masehi memang sudah bersih dari unsur sakral menjadi sesuatu yang profan belaka. Memang nama-nama bulan dan hari dalam bahasa Inggris diambil dari nama para dewa. Adapun hari dalam bahasa Indonesia sudah diambil dari bahasa Arab, kecuali minggu yang juga disebut ahad.
Menurut penulis tidak perlu juga diubah selama memang unsur sakralitasnya sudah hilang. Seperti halnya logo Ganesha pada Institut Teknologi Bandung tidak membuat para mahasiswanya menjadi musyrik. Yang perlu dilakukan oleh umat Islam adalah memanfaatkan perhitungan kalender yang ada guna kepentingan dan kemaslahatannya. Dalam QS. Al Hasyr: 18 Allah SWT memerintahkan manusia agar bertakwa dan memperhatikan yang telah dilakukan hari kemarin untuk hari esok.
Hal ini relevan dengan budaya membuat resolusi pada awal tahun untuk diwujudkan pada tahun tersebut. Momentum pergantian tahun baru masehi bisa dimanfaatkan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan setahun ke belakang dan membuat resolusi setahun ke depan. Tentu dengan tekad akan mewujudkannya dengan sungguh-sungguh.
Soal hukum meniup terompet yang juga menjadi polemik penulis cenderung melihat dari kacamata maslahat dan mudharat, bukan tasyabbuh. Jika terompet dikatakan tasyabbuh dengan yahudi, maka harusnya berlaku juga untuk baju koko yang asalnya dari China, bukan Islam. Berlaku untuk sarung yang asalnya dari Hindu, bukan Islam. Bahkan istilah surga dan neraka berasal dari agama Hindu. Dalam Islam yang benar adalah jannah dan Naar.
Soal terompet walaupun ada dalam yahudi, tapi lagi-lagi penulis melihat sudah mengalami desakralisasi. Unsur sakralnya sudah hilang, dari ajaran yahudi menjadi produk kapitalisme semata. Kalau mau beli silahkan, namun kalau merasa mubadzir untuk membelinya ya tidak usah membeli. Penulis berpendapat membeli terompet mubadzir karena baru beberapa kali ditiup biasanya sudah rusak. Itu pengalaman penulis waktu kecil.