Etika bagi mayoritas pakar, adalah kumpulan asas atau nilai-nilai yang berkaitan dengan sopan santun yang ada di masyarakat. Sedangkan pengertian etika diniyah lebih luas lagi maknanya, karena mencakup beberapa hal yang tidak bersifat lahiriah. Berkaitan dengan sikap batin dan pikiran, dapat juga diistilahkan dengan a’mal a’-qulub.
Etika diniyah mencakup banyak aspek, dimulai dari hal yang berkenaan dengan etika terhadap Allah swt. sampai etika terhadap makhluk atau barang yang tidak bernyawa sekalipun.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, etika pada dasarnya berkaitan dengan tingkah laku yang bersifat lahiriah dan yang tercermin. Setidaknya terdapat pada aspek pakaian, pergaulan, ucapan, dan sikap. Berikut akan dipaparkan sedikit dengan domain-domain diatas, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan di kampus.
Etika Berpakaian
Pada dasarnya manusia memang mudah sekali untuk menjustifikasi sesuatu dari aspek luarnya atau yang terlihat oleh mata telanjang (empiris). Begitupun dengan pakaian adalah sesuatu yang paling dahulu terlihat pada penampilan. Tidak jarang juga dari kita sering melihat kualitas suatu kampus berdasarkan pakian yang digunakan oleh mahasiswanya.
Dalam hal ini, agama menegaskan bahwa pakaian, selain berfungsi sebagai penutup aurat dan hiasan, juga berfungsi sebagai pelindung dari sengatan panas dan dingin. “…..dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan” (QS. An-Nahl [16]: 81).
Di samping itu, ia juga befungsi untuk menunjukkan identitas yang membedakan seseorang atau kelompok dengan orang atau kelompok lain. “…..Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu” (QS. Al-Ahzab [33]: 59).
Hal ini memang sering disinggung, karena setiap agama ataupun kelompok etnis, memiliki identitas masing-masing dalam berpakaian. Mungkin bisa juga termasuk pada sebagian orang yang menilai kualitas kampus berdasarkan pakaian mahasiswanya.
Etika kampus yang Islami, menuntur warganya untuk berpakaian secara terhormat, memenuhi keseluruhan fungsi-fungsi hijab yang ada dalam Al-Qur’an, atau setidaknya dapat menutup aurat dan lekuk tubuh.
Namun tidak dapat dipungkiri, dewasa ini masih banyak sekali pendapat yang dipersoalkan perihal batasan aurat yang dikemukakan oleh cendikiawan maupun ulama, walaupun kesemuanya sependapat tentang kewajiban menutupnya. Betapapun batasan yang ditetapkan, namun yang pasti pakaian merupakan salah satu hal pokok yang berkaitan dengan etika keagamaan yang harus tercermin dalam lingkup kampus yang Islami.
Tata Pergaulan
Secara umum, tata pergaulan juga memang tidak bisa dilepaskan dengan aspek sopan santun. Agama menuntut dari setiap ummat Islam agar memiliki rasa saling menghormati dan kasih sayang kepada siapapun.
Salah satu wujud dari sikap saling menghormati adalah meminta izin kepada dosen untuk masuk dan keluar ruangan perkuliahan. Beberapa ayat Al-Qur’an menggarisbawahi tentang hal ini, diantarnya adalah “Hai orang-oeang yang beriman, janganlah kamu memasuki yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur [24]: 27). Tetapi perizinan juga tidak harus diucapkan dengan salam.
Beberapa ulama berpendapat bahwa dalam situasi zikir dan belajar (perkuliahan), seseorang tidak dianjurkan untuk membaca salam karena hukum menjawab salam adalah wajib. Ketika menjawab salam dimungkinkan akan menimbulkan kehilangan konsentrasi atau kondusifitas selama proses belajar mengajar berlangsung. Maka dalam kondisi seperti ini, kita dicukupkan hanya dengan mengetuk pintu, anggukan kepala, atau mengangkat tangan yang berfungsi sebagai pengganti salam.
Dalam pergaulan juga Islam mengajurkan agar manusia menjauhkan dari hal-hal yang mendekatkan kepada zina. Dengan dilarangnya bagi yang bukan mahram untuk berduaan, apalagi di tempat-tempat yang dapat mengundang munculnya perbuatan zina. Maka sangat diperlukan rambu-rambu pembatas pada kegiatan yang mengundang hal yang tidak diperkenankan agama.
Etika kampus Islami sangat harus mempunyai aturan pembatasan-pembatasan tersebut. Namun pembatasan yang dimaksud tidak harus memisahkan perempuan dan laki-laki dalam kelas. Meski begitu diperlukan adanya peraturan yang dapat menjamin terlaksananya jiwa dan tujuan kaidah keagamaan itu sendiri.
Dalam hal ini, kampus tidak memperkenankan perempuan dan laki-laki duduk berdampingan, kecuali dalam kondisi yang tidak terelakkan. Mungkin berduaan tersebut karena ada urusan mendesak atau sebagainya, maka berlaku kaidah al-dharurah wa al-hajah tubih al-madhurah (kondisi darurat atau kebutuhan yang mendesak dapat mengakibatkan dibolehkannya melakukan hal yang terlarang).
Lebih dari itu, tidak dapat dibenarkan membiarkan kedua lawan jenis berduaan ditempat tersembunyi, walaupun tempat tersebut masih dalam lingkungan kampus. Jika perempuan dan laki-laki bersenda gurau sampai menggunakan tangan, terlebih berpegangan yang diduga dapat menodai muru’ah.
Percakapan
Menurut Tafsir Al-Mishbah yang dikarang Quraish Shihab, Allah berfirman: “…..hendaklah mereka mengatakan perkataan yang benar” (QS. An-Nisa [4]: 9). Dalam ayat ini tidak hanya menuntut seorang muslim untuk mengucapkan kata-kata yang benar, tetapi juga kata-kata yang baik, indah, dan tepat sasaran.
Ketepatan sasaran dalam penyampaian, tidak terbatas hanya pada kesesuaian kandungan pembicaraan terhadap mitra bicara. Tetapi juga kesesuaian gaya bahasa, cara penyampaian, dan volume suara.
Agama memang tidak melarang seseorang untuk berpendapat, berbicara maupun bertanya. Hanya terkadang seseorang jika sudah merasa memiliki jam terbang yang tinggi menjadi pemateri dalam diskusi ataupun seminar, memungkinkan akan timbul rasa sombong dengan meninggikan suara dan mempertinggi gaya bahasa yang tidak sesuai dengan mitra bicaranya, hanya untuk menunjukkan kehebatan dirinya melalui percakapan.
Oleh sebab itu, etika keilmuan agama Islam di samping mencela seseorang yang berbicara menyangkut persoalan yang tidak diketahuinya, juga mencelanya bila berbicara menyangkut persoalan-persoalan yang tidak bermutu atau tidak relevan.
Dalam kasus diperkuliahan memang sering terjadi ketika seseorang menjawab tidak sesuai dengan otoritas keilmuannya, secara tidak sadar hal tersebut malah akan menimbulkan kebingungan karena ketidakjelasan dari jawaban yang tidak dilandasi dengan ilmu yang memadai.
Karena itu, dinilai tercela dalam pandangan etika keagamaan menjawab suatu pertanyaan tanpa izin seseorang yang dianggap lebih mengetahui dan yang kebetulan atau dengan sengaja datang ke majelis ilmu itu. Etika ini disamping menekankan sisi otoritas keilmuan, juga menegaskan adanya pengakuan terhadap para ahli dalam bidang-bidang ilmu tertentu.
***
Maka yang diharapkan adalah setiap ilmuwan hendaknya mengetahui dasar-dasar pandangan agama terhadap disiplin ilmunya, sebagaimana diharapkan dari ulama agar memiliki pula dasar-dasar pengetahuan umum, dan dari keduanya diharapkan pengamalan ilmu sesuai dengan petunjuk Ilahi.
Editor: Nabhan