Opini

Etika Islam dan Semangat Filantropisme (1): Pendahuluan

5 Mins read

Pada tahun 2018, sebuah lembaga yang berbasis di Inggris bernama Charities Aid Foundation (CAF), memberikan sebuah ‘kejutan’ untuk masyarakat Indonesia. Hasil survey dan studi yang dituangkan dalam CAF Giving Index 2018 menempatkan Indonesia sebagai negara yang penduduknya paling dermawan di dunia. Posisi Indonesia (di peringkat 1), berada di atas beberapa negara besar dan maju seperti Australia (2), New Zealand (3), Amerika Serikat (4), dan Irlandia (5). Dua puluh besar peringkat negara-negara paling dermawan di dunia, ternyata tidak hanya menjadi milik negara-negara maju dan besar dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, tetapi juga dari negara-negara ‘kecil’ yang secara ekonomi belum masuk masuk dalam kelompok negara maju seperti Kenya (8), Maynamar (9), Haiti (14), Nigeria (16), dan Sierra Leone (20) (CAF 2018: 11).

Banyak kalangan yang tentunya merasa bangga dan gembira dengan kabar tersebut, tidak terkecuali di kalangan agamawan, masyarakat umum, para pengambil kebijakan, dan tentu saja para pegiat filantropi. Di kalangan Muslim, tidak sedikit yang mengaitkan kedermawanan orang Indonesia itu dengan posisinya sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Ajaran Islam dianggap telah memberikan kontribusi untuk menginspirasi kaum Muslim agar terus bersemangat melakukan tindakan kebajikan, berbagi dengan sesama, dan memperkuat solidaritas sosial. Kabar tersebut juga beriringan dengan praktik berderma di Indonesia yang faktanya memang terus meningkat, jumlah lembaga filantropi yang semakin banyak, dan jumlah dana zakat dan sedekah yang terhimpun juga lebih besar. Menurut laporan Badan Amil Zakat Nasional, penghimpunan dana-dana sosial di Indonesia, kendati belum optimal, tetapi terus meningkat setiap tahunnya.

Sebagai salah seorang pegiat lembaga filantropi Islam di Indonesia yang bernaung dalam persyarikatan Muhammadiyah, tentu saya secara pribadi turut merasa senang dan bangga. Meningkatnya budaya filantropi atau kedermawanan menunjukkan beberapa hal, antara lain: kemungkinan semakin halusnya budi pekerti masyarakat Indonesia, semakin meningkatnya ‘kesadaran etis’ Muslim untuk menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam aksi sosial yang lebih nyata, dan terbangunnya tradisi baru yang lebih positif dalam merespons berbagai masalah pembangunan sosial ekonomi. Saya yakin, akan ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari menguatnya tradisi filantropi Islam di Indonesia yang semakin memasyarakat dan pengelolaannya yang lebih tertata.

Baca Juga  Resensi Buku: Berlayarlah! Jangan Lupa Pulang

Tetapi sebagai seorang akademisi yang melakukan penelitian bertahun-tahun, saya juga mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik sikap masyarakat yang semakin dermawan. Apa makna simbolik yang berada di balik tradisi filantropi yang semakin menguat dalam sebuah bangsa? Mengapa organisasi filantropi Islam dan lembaga kemanusiaan semakin banyak? Mengapa pula kini semakin banyak relawan yang mau bekerja dan mendedikasikan waktunya dan tenaganya untuk lembaga filantropi dan kemanusiaan? Tentu akan ada banyak sejumlah jawaban yang bisa dirumuskan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawabannya bisa bernada negatif maupun positif, tergantung kepada pendekatan yang akan digunakan.

Pada kesempatan ini, saya mencoba membaca fenomena menguatnya filantropi Islam dalam dimensi etik keagamaan Islam dan menempatkan filantropi sebagai kritik terhadap pembangunan. Tidak dipungkiri, ada banyak kritik yang muncul terhadap fenomena filantropi secara umum, dan filantropi Islam, secara khusus, yang telah dirumuskan oleh para pengamat, ilmuwan, politisi, para pengambil kebijakan dan bahkan aktivis sosial. Bagi yang memiliki ‘rasa politik’ yang tinggi, filantropi Islam tidak lebih dari fenomena politik keagamaan, satu bentuk perilaku untuk memperkuat patronase politik-ekonomi keagamaan (Clark 2004). Secara sosiologis, filantropi Islam dilihat juga sebagai bentuk solidaritas sosial masyarakat atau satu gerakan untuk memupuk relasi-relasi sosial yang semakin renggang dalam masyarakat dan rasa solidaritas sosial yang semakin menipis (Tripp 2006). Dalam perspektif lain, ada pula yang menyajikan pendekatan perilaku ekonomi, yaitu munculnya kesadaran etis dari pelaku ekonomi untuk dapat lebih peduli pada masalah-masalah sosial dengan cara membagi sebagian keberhasilan mereka untuk kebahagiaan orang lain.

Dalam pidato kali ini, izinkan saya untuk menyajikan satu argumen tentang menguatnya tradisi filantropi Islam sebagai satu reaksi terhadap berbagai persoalan sosial-ekonomi yang semakin semakin kompleks, dan respons terhadap kebijakan negara serta ketidakadilan global yang semakin meluas. Sebagai sebuah praksis sosial, ekonomi dan bahkan politik, filantropi Islam telah menjadi sebuah alat untuk melakukan rekayasa sosial-ekonomi, instrumen untuk mengekspresikan sikap protes, menjadi bagian dari repertoire dan resistensi atau bahkan ‘perlawanan alternatif’, serta berperan sebagai ekspresi solidaritas sosial dan politik yang tidak hanya bersifat lokal atau domestik tetapi juga global.

Baca Juga  Arya Penangsang, Sunan Kudus, dan Lingkaran Politik Dinasti

Sejak peristiwa “11 September”, yaitu serangan terhadap “Menara Kembar” World Trade Center di New York dan Gedung Pentagon di Arlington, Virginia, Amerika Serikat, peta politik di dunia, khususnya dunia Islam, berubah drastis. Ada banyak implikasi dari serangan teroris tersebut terhadap perilaku negara dan masyarakat terhadap Islam dan kaum Muslim di hampir seluruh pelosok dunia. Gerakan ‘Counterterrorism’ yang disponsori negara-negara Barat di seluruh dunia sempat menggoncangkan aktivisme filantropi Islam yang mengurusi masalah kesehatan, pendidikan anak-anak, perdamaian dan sebagainya di berbagai negara yang dicurigai adanya kelompok-kelompok teroris, seperti Saudi, Palestina (termasuk Gaza), Kenya, Lebanon, Chad, Somalia, Nepal dan termasuk juga Indonesia. Gerakan “War on Terrorism financing” juga sempat membuat beberapa lembaga amal dan organisasi filantropi oleng akibat semakin sulitnya transfer uang antarnegara yang dilakukan organisasi-organisasi Islam (Benthall 2014). Tidak hanya itu, rekening dari beberapa organisasi dan yayasan amal juga dibekukan dan tidak sedikit organisasi-organisasi Islam di Amerika, Eropa dan negara-negara Timur Tengah serta Asia Tenggara juga dimasukan dalam daftar sebagai organisasi ‘teroris’ dan karena itu, transaksi keuangan sulit dilakukan.

Beberapa orang yang dianggap dicurigai bertentangan dengan “War on Terrorism financing”, khususnya versi Amerika, juga kena getahnya. Kita mungkin masih ingat bagaimana intelektual Muslim di Eropa, yang pernah hidup di Perancis dan sekarang menetap di Inggris untuk menjadi seorang Profesor Studi Islam dan Dialog Agama di Oxford University, Tariq Ramadan, beberapa kali dilarang masuk ke Amerika Serikat, sejak tahun 2003. Bahkan ketika ia mendapat tawaran tenure atau menjadi profesor tetap di Notre Dame University, South Bend, Indiana, tidak- tiba visa yang telah diperolehnya dibatalkan. Alasan yang muncul di permukaan adalah Tariq Ramadan dianggap telah memberikan sumbangan sebuah lembaga bernama Association de Secours Palestinien (Palestinian Aid Association — ASP) dari 1998 sampai 2002, sejumlah sekitar $1,487 (Rp. 20 juta). Lembaga kemanusiaan tersebut dituduh Amerika sebagai pendukung HAMAS pada tahun 2003, dan HAMAS disebut Amerika sebagai organisasi teroris. Dalam satu artikel yang dimuat di blog milik Oxford University Press, Tariq Ramadan mengaku:

Baca Juga  Perang Israel-Iran dan Masa Depan Dunia Islam

“I donated to these organizations for the same reason that countless Europeans — and Americans, for that matter — donate to Palestinian causes: not to help fund terrorism, but because I wanted to provide humanitarian aid to people who desperately need it”.

(Saya menyumbang kepada organisasi- organisasi ini dengan alasan yang sama sebagaimana kebanyakan orang-orang Eropa atau Amerika— menyumbang untuk orang-orang Palestina, bukan untuk mendanai terorisme, melainkan karena ingin memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat yang sangat membutuhkannya).

Nampaknya euforia gerakan anti pembiayaan terorisme, meskipun hingga kini masih berjalan dan dijalankan oleh berbagai lembaga pemerintah maupun lembaga riset, tidak serta merta menghentikan laju gerakan filantropi Islam. Bahkan, tidak sedikit organisasi yang pernah dan masih dianggap radikal kemudian dijadikan mitra oleh lembaga-lembaga humaniter dunia dalam menjalankan misi kemanusiaan di daerah-daerah yang ‘rawan’, seperti di Pakistan, Afghanistan, Syria, Turki dan Palestina, dan beberapa negara di Afrika.

Di balik hirup pikuk tentang pengelolaan dana kemanusiaan Islam di tingkap global, kini jumlah lembaga filantropi Islam di Indonesia semakin bertambah. Lembaga filantropi Islam bahkan mendapatkan dukungan legalitas dari negara baik melalui Kementerian Sosial maupun Kementerian Agama dan dipayungi oleh undang-undang. Peran-peran lembaga amil zakat juga terus meningkat. Meskipun kerja-kerja lembaga amil zakat dalam tradisi baru filantropi masih jauh dari sempurna, tetapi mereka telah menjadi ‘mitra’ pemerintah dalam berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai jaringan pengaman sosial (social security net). Tidak hanya itu, meningkatnya gairah gerakan filantropi Islam di Indonesia, menjadikan kerja organisasi kemanusiaan yang menjalankan misi penanggulangan dan tanggap darurat bencana di dalam dan di luar negeri semakin kelihatan kuat di mata publik dan pemerintah.

Editor: Soleh

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *