Seiring dengan berbagai perkembangan dan masalah sosial, ekonomi dan politik yang kompleks dewasa ini yang mempengaruhi perilaku altruistik secara individual maupun kolektif, ada baiknya saya mencermati aspek intrinsik dan normatif yang menjadi fondasi awal dari filantropi Islam. Narasi-narasi besar dan konsepsi-konsepsi spiritualitas yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadis telah menjadi landasan etis kaum Muslim untuk membangun semangat filantropisme. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menginspirasi kaum Muslimin untuk memformulasikan tindakan kebajikan dalam bentuk aktivisme yang bersifat filantropik. Yang saya maksud dengan filantropi dalam makalah ini mencakup aspek kedermawanan, gotong royong, saling membantu, kebajikan dan kepedulian sosial, solidaritas ekonomi dan lain-lain. Al-Qur’an telah menempatkan semangat ‘beramal salih’ dalam pengertian sosiologis dan sekaligus sebagai relasi horisontal kemanusiaan sebagai satu narasi yang senantiasa berhimpitan dengan ibadah, spiritualitas, dan relasi vertikal ketuhanan.
Islam membolehkan kaum beriman untuk berburu kekayaan secara wajar dan pada saat yang sama memerintahkan untuk membelanjakan kekayaan yang telah diperoleh untuk berbagai hal yang bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliki kekayaan tetapi juga bagi lingkungan di sekitarnya. Kekayaan dalam bentuk harta benda harus diperoleh dengan kerja keras, dan kaum beriman diminta untuk bertebaran di muka bumi dalam mencari rejeki. Tetapi bahaya menumpuk-numpuk kekayaan juga begitu jelas menjadi larangan al-Qur’an. Banyak perintah dalam al-Qur’an agar kaum beriman dapat memanfaatkan potensi alam yang dimiliki dan mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi, tetapi juga diingatkan keutamaan untuk menghindari kecenderungan eksploitatif dan koruptif. Membantu sesama, membebaskan kaum miskin, menyelamatkan anak-anak yatim yang lemah, menjaga kelestarian lingkungan dari kerusakan, membagikan kelebihan harta kepada orang-orang yang membutuhkan adalah beberapa topik yang menjadi bagian dari narasi-narasi al-Qur’an yang bernuansa filantropistik. Hal yang sama juga banyak disinggung dalam berbagai hadis maupun pandangan para ulama yang menekankan pentingnya peran aktif kaum beriman dengan semangat spiritualitas dalam melakukan perubahan dengan mendorong segala sesuatu yang masuk dalam kategori al-adl, al-ma’ruf dan al-khayr dan menghindari al-fasad, al-bathil dan al-munkar.
Ada semangat yang bernuansa ‘kapitalistik’ dalam ajaran Islam yang dibatasi oleh prinsip-prinsip moralitas yang menjunjung rasa dan tindakan berkeadilan. Inilah yang ingin saya sebut dengan ‘dimensi etik’ ajaran Islam yang telah menjadi rujukan kaum Muslim di berbagai belahan dunia, baik ketika mereka menjadi mayoritas maupun minoritas, apapun mazhab atau aliran fikih mereka. Fikih zakat kaum Muslim di berbagai negara, dan khususnya di Indonesia, bisa berbeda-beda. Tetapi semangat etisnya yang berada di balik praktik filantropi mereka berada dalam semangat yang sama. Namun, tidak sedikit masyarakat yang menunaikan zakat dan sedekah mereka tanpa terlalu pusing dengan rumusan fikih yang detail dan rijid, termasuk dalam hitungan-hitungannya. Bila seseorang ingin berzakat harta atau bersedekah, maka ia mengeluarkannya dengan jumlah yang mereka mau tanpa terpaku dengan konsep dasar fikih tentang prosentase zakat. Konsep dasar yang melatar belakangi para filantropis itu tidak lain adalah kesadaran etis manusia sebagai mahluk sosial.
Namun, tentu saja spiritualitas Islam dan semangat filantropisme bukanlah sesuatu yang bersifat generik dan instan untuk dapat menjadi bagian dari kepribadian seseorang atau menjadi bagian dari karakter sebuah gerakan. Orang yang mengenal dan mengerti tentang Islam tidak selalu dapat menyelami ‘dimensi etik’ yang terkandung di dalamnya. Semangat etik Islam masih perlu dirumuskan melalui sebuah proses refleksi yang kuat yang menyentuh kesadaran spiritualitas dan pengalaman keagamaan. Nabi Muhammad Saw., sebagaimana diinformasikan dalam berbagai hadis, banyak sekali menyampaikan pernyataan yang melandasi moral filantropis manusia, yang kemudian menjadi ajaran yang diikuti oleh kaum Muslim hingga hari ini.
Ajaran Islam dan semangat filantropisme tentu banyak bertali temali dengan konsepsi ekonomi. Bila sekarang terjadi geliat tentang ‘ekonomi Islam’ yang cukup menggelora di berbagai negara, termasuk Indonesia, kita juga menyaksikan koinsidensi yang kuat berupa iringan penguatan euforia ekonomi Islam dan filantropi Islam secara bersamaan. Sejak beberapa abad yang lalu, para ‘ulama dan intelektual Muslim pun sudah mencoba merumuskan konsep-konsep ekonomi yang dikembangkan dalam tradisi Islam yang juga selalu bertali temali dengan filantropisme dan keadilan. Setidaknya, kita mengenal beberapa nama para sarjana Muslim yang dalam kajian menyinggung masalah kemiskinan, filantropi, kesejahteraan sosial, mekanisme pasar, dan lain sebagainya, seperti al-Amwâl fi al-Islâm karya Abu ‘Ubaid, al-Amwâl karya al-Dâwûdi, Al-Hisbah fî al-Islâm dan al-Siyâsah al-Shariah fî Islâh al-Rai wa al-Râiyah karya Ibnu Taymiyyah, Ahkâm al-Sulthâniyyah karya al-Mawardi, dan Risâlah fi Mahiat al-`Adl karya Ibnu Miskawayh, dan bahkan Ihyâ ‘Ulûmuddîn karya besar milik Imam al-Ghazali. Para sarjana Muslim di atas, sebagaimana terefleksikan dari judul karya yang mereka tulis, memiliki perhatian terhadap masalah-masalah sosial ekonomi dan bagaimana kebijakan dibangun. Keseluruhan karya-karya intelektual yang ditulis para ulama tersebut di atas mengedepankan satu dimensi etik dalam Islam, yaitu masalah keadilan. Dengan membincang keadilan itu pula hampir setiap karya mereka menyentuh satu pilar penting dalam Islam, yaitu zakat yang pembahasaanya kerap beriringan dengan masalah sadaqah (sedekah) yang saya sebut dalam makalah ini dengan istilah “filantropi Islam”.
Para ulama dan intelektual Muslim di awal abad kedua puluh pun harus menulis berbagai karya agar dapat menanamkan pemahaman keislaman yang lebih mendalam dan dapat menggerakkan masyarakat. Di awal abad ke duapuluh, Ahmad Dahlan dari Yogyakarta (Indonesia), pendiri gerakan Muhammadiyah, harus mengajarkan berkali-kali tentang semangat filantropi dan keadilan dari Surat al-Mâûn kepada murid-muridnya agar Islam dapat menjadi gerakan sosial. Dahlan mendirikan sekolah dan mendorong kalangan muda yang menjadi kadernya untuk mencari ilmu dan bertebaran dimana-mana, namun mereka diminta tetap dapat kembali menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah berikut semangat filantropi nya. Muhammad Fethullan Gülen dari Turki yang menjadi pelopor sebuah gerakan yang disebut hizmet (‘pelayanan’) harus menyampaikan banyak gagasan dalam ceramahnya yang kemudian banyak dibukukan untuk membangun kesadaran ‘etis’ baru seorang Muslim yang hidup di era modern (Ebaugh 2010). Ia mendorong para pengikutnya (kaum Muslimin) untuk belajar sains dan menjadi professional dan menjabat di berbagai posisi. Namun mereka diminta tetap menjadi seseorang yang memiliki semangat keberpihakan pada kemanusiaan. Setali tiga uang dengan fenomena di atas, Sayyid Qutb dari Mesir dan Ali Syariati dari Iran adalah beberapa nama lain dari para sarjana Muslim yang mengelaborasi dimensi etik Islam agar kesadaran tentang keadilan di kalangan Muslim semakin mengental. Para pemikir Islam komtemporer, juga tidak pernah lepas dari isu keadilan, seperti ketika Hassan Hanafi, Nasr Hami Abu Zayd, dan Asghar Ali Engineer. Karakter dari gagasan-gagasan tersebut, bila boleh saya sebut, memiliki nada-nada yang sangat ‘sosialistik’ dan masxis. Dengan berbagai kontroversinya, para intelektual Muslim memiliki perhatian yang sama tentang perlunya keadilan sosial.
Di Indonesia, dan juga di beberapa negara lainnya, kini ada persinggungan yang lebih kasat mata antara gairah gerakan ekonomi Islam dan semangat filantropisme. Ada relasi yang semakin kuat antara Islam dan ekonomi. Islam tidak hanya dirumuskan sebagai sebuah konsepsi ritual yang menenangkan batin penganutnya, tetapi sebagai sebagai cara pandang dunia yang menopang perilaku ekonomi mereka, mendorong kesejahteraan masyarakat dan menjadikan kelompok Muslim menjadi kelompok yang produktif dan unggul. Karena itulah, dalam studi-studi yang berkembang dewasa ini, perspektif studi agama, termasuk studi tentang masyarakat Muslim, diwarnai oleh kajian tentang relasi Islam dan ekonomi, di satu sisi, dan pergerakan filantropi dalam masyarakat Muslim, disisi lainnya (Fealy & White 2008). Dunia fashion kaum Muslim, khususnya di Indonesia, semakin dinamis dan menarik. Industri halal mulai bertebaran dimana-mana. Lembaga keuangan Islam mulai didirikan di berbagai perusahaan perbankan, negeri maupun swasta. Spiritualitas mulai berkelindan dengan ‘keuntungan’ material. Perusahaan milik negara, swasta, perusahaan multinasional yang beroperasi mulai menggunakan diksi-diksi Islam dan mendirikan yayasan-yayasan dan ujung-ujungnya, melakukan gerakan filantropi. Fenomena inilah yang kemudian mendorong para sarjana sosial-humaniora dan studi agama untuk menggunakan pendekatan baru yang disebut Brian S Turner dengan “the economic interpretation of religion” (Turner 2008: 32-33) “the business of spirituality” (Carrette and King 2005), “the economics of religion,” (Obadia and Wood 2011) atau menguatnya “spiritual economies” (Rudnyckyj 2010).
Dalam makalah ini saya akan mengaitkan tema “etika Islam dan semangat filantropisme” (Islamic Ethic and the spirit of philanthropism) ini dengan rumusan Max Weber dalam Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, sebuah karya yang ditulis oleh sosiolog Jerman, Max Weber pada abad ke dua puluh (sekitar tahun 1904-1905). Karya Weber ini mendiskusikan tentang dampak ajaran agama (khususnya di kalangan kelompok Prostestan Calvinis) terhadap gerakan ekonomi dan perkembangan kapitalisme. Weber berpendapat bahwa asketisme atau kesalihan Protestan (Protestant asceticism) memiliki dampak yang kuat terhadap cara kaum Calvinis berperilaku di dunia dan membentuk karakter kapitalisme di Eropa. Kendati tesis Weber hingga kini mulai banyak menuai kritik dan argumennya tentang ‘etika Protestan’ masih terus menjadi perdebatan (Bruce 1990), namun perlu diakui bahwa Weber memberikan kontribusi yang kuat untuk membangun perspektif dalam memahami semangat spiritualitas agama dan pengaruhnya di bidang ekonomi. Saya juga ingin menegaskan bahwa etika Islam dan semangat filantropisme setidaknya dapat menjadi bagian dalam cara memahami secara teoretis relasi antara spiritualitas, ekonomi-politik dan alturisme masyarakat Muslim di era modern yang tentunya semakin dinamis seiring dengan konteks sosial, ekonomi dan politik yang semakin kompleks.
Saya ingin menempatkan kedudukan filantropi Islam dalam dua konteks yang berbeda, yaitu ‘sebagai kritik’ dan tentunya ‘dalam kritik’. Ada dua buku yang menarik untuk saya paparkan secara singkat pada kesempatan kali ini, yaitu karya Charles Tripp, seorang Professor di University of London, berjudul Islam and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism yang diterbitkan Cambridge University Press, dan karya Timur Kuran, Guru Besar di Duke University, Amerika, berjudul Islam and Mammon: The Economic Predicament of Islamism yang diterbitkan oleh Princeton and Oxford University Press. Buku yang pertama setidaknya menggambarkan bagaimana konsep ekonomi Islam, yang di dalamnya terdapat banyak konsep-konsep tentang filantropi dan diskusi tentang keadilan, menjadi satu bentuk respons dan kritik terhadap kapitalisme. Para intelektual Muslim, termasuk mereka yang terlibat di dalam politik, mencoba ‘menantang’ kapitalisme dan terlibat dalam modernitas dengan menggunakan konsep-konsep yang diambil dari literatur keislaman. Sementara buku karya Timur Kuran lebih merupakan satu bentuk kritik terhadap gerakan ekonomi Islam, termasuk di dalamnya filantropi, sebagai satu imajinasi semata atau bahkan ilusi untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat modern. Banyak kelompok yang disebut ‘Islamist’ dengan berbagai diksi keislaman yang mereka pakai untuk kebangkitan ekonomi umat dan pada saat yang sama anti Barat, tetapi gagal dalam merealisasikan visi mereka.
Mungkin benar bahwa narasi-narasi yang dikemukan para intelektual Muslim tentang persoalan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tidak selalu mendapatkan hasil akhir yang sesuai harapan. Imajinasi atau proyeksi ekonomi Islam dan juga filantropi Islam yang dirumuskan oleh kalangan aktivis dan intelektual Muslim masih menjadi hiasan peradaban kapitalis global yang sangat dominan. Dulu, dan mungkin dalam beberapa hal sampai saat ini, wacana tentang ekonomi dan filantropi Islam masih menjadi narasi pinggiran dengan karakter anti-Kapitalisme dan ujung-ujungnya adalah anti Barat. Kini upaya-upaya untuk mewujudkan narasi keadilan Islam melalui gerakan ekonomi dan filantropi mulai terbentuk dan upaya yang dilakukan, menariknya, bukan dengan gerakan anti Barat, melainkan dengan merekonsiliasikan konsepsi dasar ekonomi dan moralitas ekonomi yang terdapat dalam literatur Islam, dengan konsepsi umum ekonomi yang berkembang secara linear dalam berbagai peradaban, termasuk di dunia Barat, yaitu Kapitalisme.
Oleh karena itu, beberapa konsep ‘baru’ menjadi pilihan wacana yang berkembang di Indonesia saat ini, yang tentunya berbeda dengan pilihan wacana di tahun 80an atau 90an yang masih diwarnai dengan gerakan anti Kapitalisme dan anti Sosialisme. Kaum Muslim saat ini, nampaknya juga merajut berbagai ideologi untuk merumuskan berbagai kemungkinan, yang tidak lagi clear cut atau bersikap hitam putih, tetapi merumuskan konsep yang berkembang secara paralel dan identik dengan ‘kapitalisme Islam’ (Islamic capitalism) dan ‘sosialisme Islam’ (islamic socialism). Hal ini nampaknya dimainkan oleh kelompok kelas menengah yang kini jumlahnya meningkat di beberapa negera dengan penduduk mayoritas Muslim, termasuk Indonesia. Kelas menengah memiliki peran yang sangat kuat dalam merumuskan konsep-konsep maupun strategi yang diambil dari tradisi Islam untuk meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat. Masyarakat Muslim di beberapa negara mulai melihat bahwa demokrasi dan kapitalisme—dengan berbagai dimensi negatif yang diasosiasikan dengannya seperti sekular, kerakusan, eksploitasi, dan pasar bebas—dianggap tetap akan memberikan dampak ekonomi dan politik yang kuat bila diambil dan dimodifikasi dalam masyarakat Muslim, khususnya kelas menengah. Hal inilah yang oleh Vali Nasr, seorang professor kelahiran Iran di salah stau perguruan tinggi di Amerika, dengan fenomena lahirnya kapitalisme Islam (the rise of Islamic capitalism) (Nasr 2010).
Sementara di sisi yang lain, ideologi dan terutama rezim politik di dunia Islam juga sangat beragam. Imajinasi tentang pemerataan ekonomi dan kesejahteraan begitu kuat, namun fakta di lapangan, ideologi politik sosialisme sekular yang menjamur dan menguat di beberapa negara seperti Mesir, Iraq, Syria, Iran, dan lain-lain malah berhimpitan dengan rezim otoritaris dan despotik, yang menyebabkan imajinasi tentang pemerataan dan kesejahteraan kembali menjadi kabur alias tidak jelas. Tak heran, diksi-diksi untuk menyertakan moral Islam dalam ekonomi dan kehidupan sosial-politik hidup kembali, khususnya dalam mengkritik kapitalisme. Inilah yang menjadi respons Sayyid Qutb terhadap Gamal Abdel Nasr, Ali Syari’ati terhadap Syah Iran dan lain-lain. Ada banyak keinginan kelompok Muslim melalui konsep ‘ummat’ untuk memperkuat kembali tentang fungsi sosial (wazifah ijtima’iyyah) dari harta benda, solidaritas sosial (al-tadamun al-ijtima’i), saling membantu (al-ta’awun) dan bertanggung jawab secara sosial (al-takaful al-ijtima’i) (Tripp 2006: 56 & 92).
Dalam himpitan dua ideologi besar ini, sebagian kaum Muslim membangun apa yang disebut oleh Piere Bourdieu dengan ‘habitus’ berupa ‘ruang baru’ untuk menerjemahkan Islam dalam ruang kapitalisme dan sosialisme. Gerakan filantropi Islam yang berkembang dewasa ini nampaknya tidak lepas dari pergulatan yang terjadi antara Islam, semangat kapitalisme dan sosialisme, dan bermutasi menjadi apa yang ingin saya sebut “Islamic-philanthro-capitalism” dengan berbagai derivasinya, termasuk “Islamic philanthropreneurship”. Kaum Muslim mecoba merumuskan kembali makna kapitalisme dan makna Islam, dan mencoba memberikan dimensi moralitas keagamaan terhadap kapitalisme (Ozlem 2014: 145). Mereka menggeser paradigma lama dalam mendorong manusia untuk membangun kesejahteraan masyarakat dari konsep al-‘abd (hamba) kepada al-fard (individu manusia), dari konsep al-ummah (dalam makna yang terbatas kepada kelompok Muslim semata) menjadi al-mujtama’ (masyarakat umum) agar konsep-konsep kesejahteraan dalam Islam bisa dikembangkan (Tripp 2006: 69). Dalam konteks inilah konsep dasar yang menjadi fondasi ajaran Islam seperti zakat dan shadaqah ditempatkan, yaitu untuk mereduksi apa yang disebut dengan ketidakadilan (zulm). Kelas menengah Muslim dan perkotaan di Indonesia, dan juga di beberapa negara lainnya, nampaknya memiliki posisi dan peran penting dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir dalam merumuskan konsep-konsep baru dari filantropi Islam dan mentransformasikan gagasan sederhana dari zakat dan sedekah menjadi sebuah gerakan sosial kemanusian (Latief 2014) dan memperkuat apa yang disebut dengan ‘Islam sosial’ (social Islam) (Wiktorowicz & Farouqi 2000) atau ‘jihad sosial’ (social jihad) (Flanigan & Abdel-Samad 2009).
Bagian pertama artikel ini: https://ibtimes.id/etika-islam-dan-semangat-filantropisme-1-pendahuluan/
Editor: Soleh

