Bagi umat muslim perkawinan merupakan manifestasi kehendak dan tujuan ilahi berdasarkan kepentingan dan kasih sayang antara pasangan suami istri. Etika seksual Islam juga dibahas salah satunya dalam ayat berikut:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-nya diantaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. 30:21)
Etika Seksual Islam dan Perkawinan
Perkawinan adalah jembatan menjalin hubungan lebih mendalam antara laki-laki dan perempuan, saling mendalami satu sama lain, sehingga menemukan sebuah keserasian sebagai pendalam hubungan. Sebagai sarana untuk kesempurnaan beribadah kepada Allah, karena lelaki maupun perempuan membutuhkan teman dalam keseharian.
Selain itu, kebutuhan seksual juga menjadi suatu yang tidak dapat dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, sarana menghasilkan keturunan. Seks menjadi suatu kebutuhan dan bukan hal yang tabu untuk dibahas. Seks merupakan dorongan naluri alamiah dari setiap manusia/insan, sehingga tidak bisa dipungkiri seks adalah kebutuhan utama untuk memuasakan naluri almiah itu.
Seks dikenal berabad-abad bahkan sejak Adam-Hawa. Para pemikir kebebasan menganggap seks yang melalui pernikahan adalah seks tradisional. Sedangkan seks gaya baru atau modern tidak memiliki sayarat-syarat keagamaan, asal tidak merugikan orang lain boleh untuk dilakukan.
Semakin pesatnya perkembangan zaman dan era kemajuan teknologi, seks menjadi konsumsi yang tak terkendalikan lagi. Bahkan menghalalkan segala cara tanpa ikatan pernikahan. Para pemikir modern dari Barat mengangap seks tidak harus melalui etika-etika agama seperti pernikahan, karena seks adalah naluri alamiah yang tidak seharusnya dihalangi hanya karena syarat pernikahan.
Hal inilah yang disebut sebagai seks gaya baru atau seks baru, yang membawa semangat kebebasan. Era digital sekarang seks menjadi kensumsi bebas tanpa mempertimbang usia kewajaran. Anak-anak bisa saja mengaksesnya melalui media sosial atau internet. Pertanyaan kita bagaimana pandangan moralitas Islam tentang ini? Bagaimanakah etika seksual Islam? Apakah yang diajukan para pakar pemikir Barat tentang seks bebas itu tidak bisa dibantah?
Seks Baru: Etika Seksual dalam Pandangan Pakar Modern
Di era perkembangan zaman ini, seks menjadi konsumsi yang sudah masuk pada tataran tidak wajar. Para pendukung seks bebas itu mendasarkan argument mereka pada tiga premis:
- Kebebasan harus dijamin bagi setiap individu selama ia tidak melanggar kebebasan orang lain;
- Semua keinginan dan sikap seksual yang merupakan pembawaan haruslah dipupuk secara bebas dan diusahakan pemenuhannya tanpa halangan atau kekangan. Karena, menghalangi atau memfrustasikan akan menimbulkan kekacauan pada ego;
- Setiap dorongan alami akan mereda setelah dipenuhi dan akan memberontak serta menimbulkan ekses bila dikenai kekangan moral yang negatif atau larangan yang salah kafrah.
Seks gaya baru merupakan seks bebas yang hanya mempertimbangkan tiga hal diatas, apapun caranya seks tidak bisa dihalangi. Asal tidak merugikan orang lain maka diperbolehkan, inilah kemudian yang dipegang barat sebagai etika seks. Inilah yang kemudian memperngaruhi gaya berpakaian, tingkahlaku dan sebagainya.
Penganut kebebasan seks memberikan argumen bahwa ketidakstabilan emosi ditimbulkan oleh diskriminasi terhadap naluri alamiah dan dorongan nafsu. Sehingga hanya sebagian saja yang dipenuhi sedangkan yang lain tetap mengalami frustrasi. Argumen ini ingin mengatakan bahwa jangan ada batasan untuk setiap orang memenuhi nafsu yang merupakan naluri alamiahnya.
Argumen yang Tidak Dapat Dipertahankan
Argumen di atas adalah tumpuan dasar moralitas seks baru yang diusulkan itu. Melalui penyelidikan yang lengkap serta evaluasi yang menyeluruh atas ketiga premis dasar yang mereka pegang dan tawarkan itu. Kita akan membuktikan bahwa argumen-argumen itu tidak dapat dipertahankan.
Para penentang moralitas seksual tradisional mengatakan bahwa konsep-konsep lama itu menghasilkan hal-hal berikut:
- Rasa memiliki kaum pria atas istri mereka;
- Kecemburuan kaum pria;
- Kepentingan kaum pria untuk menegakkan hak keayahannya (paternitas) atas anak;
- Asketisisme (kepertapaan) dan monatisisme (kebiaraan) yang didasarkan pada anggapan berdosanya dan kejinya hubungan seks;
- Rasa kotor atau tidak suci pada kaum wanita yang timbul karena mengalami haid;
- Pemantangan pria dari hubungan seks dengan wanita yang sedang haid;
- Hukuman-hukuman yang keras oleh kaum pria atas kaum wanita sepanjang sejarah;
- Tetap tergantungnya kaum wanita secara ekonomi pada kaum pria.
Mereka mengklaim bahwa keadaan di atas ada kaitannya dengan moralitas konvensional, yang menunjukkan ada kekangan sosial dan individual yang penuh tahayul. Mereka beranggapan pendapat-pendapat itu harus dirubah dengan menggantinya dengan nilai-nilai serba bebas yang modern.
Para pemikir modern ini mengemukakan istri-istri modern tidak dapat diperlakukan sebagai barang milik yang bergerak. Senada dengan itu mereka menganggap ada semacam pengekangan memperbudak dan memperlakukan wanita secara buruk dan membuat mereka tergantung pada pria, sudah buka masanya. Karena wanita telah memperoleh kembali kebebasan sosial ekonominya.
Tinjauan Moralitas Islam
Seks bebas ditawarkan tidak memilki latar belakang yang jelas, apakah itu membebaskan hak asasi seseorang atau malah membuat orang menjadi semakin ketergantungan sehingga menghalalkan segala cara. Islam membuat seks menjadi sunah yang diajarkan tapi tetap pada koridor-koridor aturan—hanya boleh setelah menikah—dengan tetap mempertimbang kondisi. Biasanya kaum wanita ada masanya tidak bisa melakukan.
Para moralis tradisional non-Islam memandang seks dan cinta sebagai manifestasi dari suatu kejahatan yang menjijikkan, harus dijauhi. Sebaliknya masyarakat modern cenderung menganggap seks bebas bukan saja sesuatu yang baik tetapi juga patut dihormati. Tak kita sadari pemahaman itu sudah meluas diseluruh dunia bahkan Indonesia.
Pemahaman yang keliru ini yang membuat orang ketergantungan dengan seks, bukan karena pengekangan yang ditujukan oleh pemikir Barat terhadap pandangan Islam. Kekerasan seksual yang banyak terjadi adalah bermuara pada kebebasan seks, dengan berbagai macam argumen bahwa itu hak setiap individu maka itu menjadi sesuatu yang dianggap bukanlah akar permasalahan.
Untuk itu kita mulai mencari atau membaca ulang etika-etika atau etika seksual Islam. Moralitas Islam dalam hal ini dapat dipahami dengan pokok-pokok berikut:
- Moralitas Islam dan keselarasannya dengan tuntutan-tuntutan objektif pertumbuhan alami seksualitas sebagai bagian dari naluri dan potensi bawaan manusia;
- Penindasan dorongan seks manusia;
- Keserbabolehan seksual modern sebagai pokok penyelewengan atau penyimpangan perilaku seksual manusia, yang mencegah pertumbuhan naluri dan potensi individu yang alami secara harmonis;
- Sikap demokratis terhadap perilaku seksual;
- Moralitas seksual sebagaimana dibandingkan dengan perilaku etika umum dalam bidang ekonomi dan politik;
- Cinta dan kondisi keputusasaan dimana ia hanya tinggal menjadi kerinduan saja; dan
- Cinta dan pertumbuhan yang harmonis dari keperibadian manusia. (murtadha muthahhari)
Bahwa naluri manusia yang alami adalah suatu yang harus dijaga dan dipupuk, bukan ditolak, haruslah diakui. Kita juga perlu menyusun konsep yang lebih luas dari ketentuan yang sederhana tentang baik dan buruk.
***
Pendekatan Islam mempertimbangkan kebutuhan yang menyeluruh dengan mempertimbangkan kepribadian yang sehat sebagai suatu tuntutan. Premis-premis yang diakui Islam meliputi posisi faktual bahwa setiap bagian tubuh manusia mempunyai tujuan dan fungsi khusus. Kebutuhan biologis juga adalah naluri almiah yang harus dipenuhi dan dipupuk dengan batasan tertentu. Sesuai dengan itu, kehendak manusia, kemanpuan intlektual, dan segi-segi spiritual juga harus pula ditingkatkan.
Sesungguhnya al-Qur’an penuh dengan contoh yang menekankan penghalusan pribadi manusia. Umpamanya ketika ia menegaskan bahwa seorang pribadi saleh dan takwa adalah orang yang telah mampu memperhalus, mendisiplinkan, dan menyucikan insting-insting dan nafsu-nafsu alamiah (qad aflaha man zak-kaaha).
Editor: Nabhan