Muhammad Abduh, bernama lengkap Muhammad ‘Abduh bin Hassan Khairullah, lahir di desa Mahallat Nashr, Gharbiyah, Mesir, pada tahun 1265 H / 1849 M, dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya bernama ‘Abduh bin Hasan Khairullah, merupakan seorang petani dan mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya adalah Junaidah Uthman, perempuan yang berasal dari suku Arab yang nasabnya sampai pada Umar Ibnu Khattab r.a.
Muhammad Abduh pernah menjabat sebagai dosen di Darul ‘Ulum dan Al-Azhar di tahun 1877 M. Pada tanggal 3 Juni 1899 M, Muhammad Abduh diangkat oleh pemerintah Mesir untuk memangku jabatan sebagai Mufti Mesir. Dan, ia bersama Jamaluddin al-Afghani sempat menerbitkan majalah al-urwatul wusqo di Paris, sebuah majalah yang menyuarakan kebangkitan Islam untuk melakukan perubahan (Hidayat, 2018, hlm. 371–373).
Pemikiran Muhammad Abduh
Banyak hal yang melatarbelakangi munculnya pemikiran pendidikan Muhammad Abduh, seperti adanya faktor situasi keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Adapun situasi pendidikan saat itu, hanya menggunakan metode hafalan saja, tanpa menelaah artinya. Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa betapa tradisionalnya sistem dan metode pengajaran di waktu itu.
Tetapi, setelah Muhammad Abduh melanjutkan sekolah di Al-Azhar, Muhammad Abduh bertemu dengan seorang yang bernama Jamaluddin Al-Afghani. Yang mana, metode pengajaran yang digunakan Jamaluddin Al-Afghani sangant menarik perhatian Muhammad Abduh. Metode pengajaran yang digunakan oleh Jamaluddin Al-Afghani adalah metode praktis yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi. Selain itu, ia juga mengajarkan pendidikan praktis, seperti pidato, menulis artikel, dan sejenisnya.
Keadaan lain yang memunculkan pemikiran pendidikan Muhammad Abduh adalah tentang sistem pendidikan. Sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional, baik dalam hal kurikulum maupun metode yang diterapkan. Sekolah-sekolah agama juga tidak memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu modern. Sebaliknya, sekolah-sekolah modern atau sekolah yang diselenggarakan pemerintah memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya, dan tidak memasukkan ilmu pengetahuan agama. Dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Sekolah-sekolah agama memproduksi para ulama dan tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung mempertahankan tradisi. Sedangkan sekolah-sekolah modern melahirkan kelas elite generasi muda pada abad kesembilan belas. Dari situlah Muhammad Abduh melihat betapa pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut (Supriadi, 2016, hlm. 44–45).
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan dalam pengertian luas, yang mencangkup aspek kognitif (intelligent qoutient), aspek afektif (emotional qoutient), dan aspek spiritual (spiritual qoutient). Ketiga aspek tersebut harus didapatkan oleh si pembelajar, tidak hanya menekankan satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya. Dengan tujuan yang demikian, Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa seimbang, baik akal maupun spiritual (Jamaludin & Dahari, 2014, hlm. 85). Singkatnya, pendidikan harus mampu melahirkan generasi yang pandai dalam urusan keduniaan dan juga perihal akhiratnya (agama).
Kurikulum Pendidikan
Secara tidak langsung, Muhammad Abduh merumuskan rincian kurikulum pendidikan menjadi tiga tingkatan, yakni tingkat sekolah dasar, menengah dan tingkat atas. Adapun kurikulum yang diajarkan di tingkat sekolah dasar mencakup kemampuan untuk membaca, menulis, berhitung (sampai tingkat tertentu), materi pelajaran agama dengan bahan-bahan akidah akhlak, fikih, dan akhlak yang berkaitan dengan halal haram, perbuatan bid’ah serta bahayanya dalam masyarakat, serta materi sejarah yang mencangkup sejarah nabi dan para sahabat, dan kesemuanya itu diberikan secara ringkas saja.
Selanjutnya, di tingkat menengah, kurikulum pendidikan mencakup materi manthiq atau logika dan dasar-dasar penalaran, akidah yang dibuktikan dengan dalil-dalil, fikih dan akhlak, yang cakupannya lebih luas dan ditekankan pada sebab, kegunaan, pengaruh, dan lain-lain, serta materi tentang sejarah Islam yang mencakup sejarah nabi, sahabat, serta penaklukan-penaklukan yang terjadi pada masa kerajaan dan dinasti-dinasti di dalam peradaban Islam.
Sedangkan di tingkat pendidikan atas, yang mana pendidikan pada tingkat ini setara dengan mahasiswa dan siap untuk menjadi pendidik atau golongan yang arif. Maka, kurikulum pendidikannya mencakup materi tentang tafsir, hadis, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan kitab Al-Ghazali (ihya ‘ulumuddin), usul fikih, sejarah nabi dan sahabat yang diuraikan secara rinci, sejarah peralihan penguasa-penguasaan Islam dengan menerangkan sebab-sebabnya, retorika dan dasar-dasar diskusi, serta ilmu kalam (Muqoyyidin, 2013, hlm. 300–302).
Ketiga jenjang pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum tersebut, merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkatan. Kurikulum yang demikian memberi arti bahwa yang dikehendakinya dari pemberian pelajaran tersebut adalah penanaman pengertian, contoh teladan, dan juga semangat. Dengan kata lain, kurikulum tersebut tidak hanya menjawab pertanyaan tentang bagaimananya, tetapi lebih dapat menjawab pertanyaan tentang mengapanya.
Metode Pendidikan dan Pengajaran
Dalam aspek metode pengajaran, Muhammad Abduh mengenalkan metode baru yang menekankan pada pentingnya memberi pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan. Di antara metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah metode menghafal, metode diskusi, metode teladan dan metode latihan (Jamaludin & Dahari, 2014, hlm. 91–93).
Namun, menurut Muhammad Mad’imarat, ia menyebutkan bahwa kosep pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh hanyalah sebuah ide, bukan fakta yang disusunnya dari hasil pengalaman atau percobaan yang dilakukan pada sebuah lembaga pendikan. Meskipun demikian adanya, konsep pendidikan yang disusun Muhammad Abduh menyiratkan adanya pemikiran dan ide-ide baru yang dinamis, sebuah terobosan di dunia pendidikan kala itu, yang sepantasnya dihargai dan disadari nilainya setelah ia wafat.
Refleksi
Berdasarkan uraian singkat pemikiran pendidikan Muhammad Abduh, ada baiknya jika gagasan tersebut diterapkan di berbagai lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Penerapan gagasan tentang tujuan pendidikan yang berusaha menyeimbangkan antara dunia dan akhirat (integrasi), kurikulum pendidikan sesuai dengan tingkatan umur seseorang serta mengkombinasikan berbagai macam metode pengajaran.
Menurut penulis sendiri, gagasan integrasi-interkoneksi tersebut sudah mulai diterapkan di hampir keseluruhan perguruan tinggi Islam di Indonesia, meskipun dengan penamaan berbeda di setiap perguruan. Contohnya, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terkenal dengan konsep integrasi-interkoneksi dari Prof. Dr. Amin Abdullah, sedangkan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang terkenal dengan konsep paradigma Ulul Albab, dan begitu pun di perguruan Islam lainnya di Indonesia, mempunyai nama berbeda namun satu esensi.
Daftar Referensi
Hidayat, A. (2018). Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh. Jurnal Mandiri: Ilmu Pengetahuan, Seni, dan Teknologi, 2(2), 369–384.
Jamaludin, J., & Dahari, D. (2014). Pembaruan Sistem Pendidikan Menurut Muhammad ‘Abduh. Jurnal Asy-Syukriyyah, 12(1), 72–97.
Muqoyyidin, A. W. (2013). Pembaruan Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh. Jurnal Pendidikan Islam, 28(2), 287–306.
Supriadi, S. (2016). Konsep Pembaruan Sistem Pendidikan Islam Menurut Muhammad ‘Abduh. Jurnal Kordinat, 15(1), 31–60.
Editor: Yahya