IBTimes.ID – Muhammadiyah mendorong dialog intensif antara Sunni dengan Syiah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen untuk saling memahami persamaan dan perbedaan.
“Komitmen untuk membangun kesadaran historis bahwa selain konflik, Sunni dan Syiah memiliki sejarah kerjasama yang konstruktif dalam membangun peradaban Islam,” begitu bunyi Rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 2015.
Di sisi lain, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Muhammadiyah juga mengakui bahwa Syiah memiliki keragaman. Sehingga, Muhammadiyah membuat tolak ukur pemahaman keislaman. Jika keluar dari tolak ukur tersebut, maka seseorang telah keluar dari koridor keislaman. Tolak ukur itu ada empat. Antara lain:
Pertama, hanya Nabi Muhammad yang memiliki predikat maksum. Kedua, Nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya sebagai khilafah. Sehingga kekhalifahan Abu Bakar hingga Ali adalah sah.
Ketiga, tidak mengkultuskan satu atau lebih sahabat nabi. Semua sahabat nabi adalah manusia-manusia yang terhormat tanpa perlu dikulutuskan sebagiannya. Keempat, menerima Alquran dan al-Sunnah al-Maqbulah sebagai sumber ajaran Islam. Tidak hanya hadis dari jalur Ahlul Bait.
Jika ada kelompok yang tidak sesuai dengan tolak ukur di atas, berarti ia tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti yang dipahami oleh Muhammadiyah. Kendati demikian, tidak berarti kelompok yang berbeda itu harus dimusuhi atau dimusnahkan. Muhammadiyah sejak berdiri telah terbiasa dengan berbagai perbedaan.
Menurut Muhammadiyah, Syiah kini telah menjadi beberapa sekte. Ada Syiah Kaisaniyyah, Syiah Imamiyyah (Rafidhah), Syiah Ghulat, Syiah Ismailiyyah, Syiah Zaidiyyah, dan lain-lain. Syiah merujuk pada keyakinan, cara pandang, dan pola pikir yang mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap suatu informasi, menentukan pemahaman, dan mewarnai penafsiran orang terhadap sebuah peristiwa.
Syiah awalnya merujuk pada kelompok sahabat yang berpihak, mendukung, serta setia berjuang bersama Ali bin Abi Thalib selama pertikaian berlangsung pasca wafatnya Utsman bin ‘Affan dan seterusnya.
Adapun secara bahasa, Syiah setidaknya memiliki empat makna. Antara lain kelompok yang terpecah-pecah, keluarga dan keturunan, pemeluk agama atau umat (ahl al-millah), dan aneka ragam tendensi yang keliru (al-ahwa’ al-mukhtalifah).
Syiah juga memiliki makna sebagai pengikut. Hal itu bisa dilihat dari hadis berikut.
عَنْ مِقْسَمٍ أَبِي الْقَاسِمِ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ قَالَ خَرَجْتُ أَنَا وَتَلِيدُ بْنُ كِلَابٍ اللَّيْثِيُّ حَتَّى أَتَيْنَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَهُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ مُعَلِّقًا نَعْلَيْهِ بِيَدِهِ فَقُلْنَا لَهُ هَلْ حَضَرْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يُكَلِّمُهُ التَّمِيمِيُّ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ نَعَمْ أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ يُقَالُ لَهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ فَوَقَفَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُعْطِي النَّاسَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ قَدْ رَأَيْتَ مَا صَنَعْتَ فِي هَذَا الْيَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَلْ فَكَيْفَ رَأَيْتَ قَالَ لَمْ أَرَكَ عَدَلْتَ قَالَ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ وَيْحَكَ إِنْ لَمْ يَكُنْ الْعَدْلُ عِنْدِي فَعِنْدَ مَنْ يَكُونُ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ قَالَ لَا دَعُوهُ فَإِنَّهُ سَيَكُونُ لَهُ شِيعَةٌ يَتَعَمَّقُونَ فِي الدِّينِ حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهُ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ يُنْظَرُ فِي النَّصْلِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ ثُمَّ فِي الْقِدْحِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ ثُمَّ فِي الْفُوقِ فَلَا يُوجَدُ شَيْءٌ سَبَقَ الْفَرْثَ وَالدَّمَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ أَبُو عُبَيْدَةَ هَذَا اسْمُهُ مُحَمَّدٌ ثِقَةٌ وَأَخُوهُ سَلَمَةُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمَّارٍ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلَّا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ وَلَا نَعْلَمُ خَبَرَهُ وَمِقْسَمٌ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَلِهَذَا الْحَدِيثِ طُرُقٌ فِي هَذَا الْمَعْنَى وَطُرُقٌ أُخَرُ فِي هَذَا الْمَعْنَى صِحَاحٌ وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.
Dari Miqsam Abu al-Qasim, budak Abdullah bin al-Harits bin Naufal, dia berkata: Aku keluar bersama Talid bin Kilab al-Laitsi hingga kami mendatangi ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash yang ketika itu sedang tawaf di Baitullah dengan menenteng kedua sandal di tangannya, lalu kami berkata kepadanya: Apakah kamu hadir saat Rasulullah saw diajak bicara oleh al-Tamimi pada perang Hunain? Ia lantas menjawab: Ya, ketika itu ada seorang lelaki dari bani Tamim yang biasa dipanggil Dzu al-Khuwaishirah datang dan berdiri di depan Rasulullah saw yang saat itu sedang memberikan sesuatu kepada orang-orang, kemudian dia (Dzu al-Khuwaishirah) berkata: Wahai Muhammad, apa kamu melihat apa yang telah kamu perbuat pada hari ini?
Rasulullah saw menjawab: Ya, lalu apa yang kamu lihat? Ia menjawab: Aku tidak melihatmu berlaku adil. Dia (‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash) lalu berkata: Rasulullah saw pun marah mendengar pernyataannya itu seraya berkata: Celakalah kamu, jika keadilan tidak ada pada diriku, lalu ada pada siapa? Kemudian ‘Umar bin al-Khatab berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah lebih baik kita membunuhnya saja? Beliau menjawab: Tidak, biarkanlah ia, sebab sungguh ia akan mempunyai sebuah kelompok yang terlalu mendalam dalam urusan agama hingga mereka keluar daripadanya sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, ia dicari-cari di bagian depannya tidak ada, di bagian tengahnya juga tidak ada, dan di bagian belakangnya juga tidak ada, dan ternyata ia telah meluncur menembus ulu hati dan mengucurkan darah segar [H.R. Ahmad].
Dalam Lisan al-‘Arab, Syiah diartikan dengan pengikut atau pembela sesorang. Raghib al-Ashfahani mengartikan Syiah sebagai pendukung yang aktifitasnya memperkuat dan menyebarkan pengaruh seseorang.
Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2021