IBTimes.ID – Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa pada Musyawarah Nasional (Munas) XI yang digelar di Jakarta menetapkan lima fatwa baru. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah Fatwa tentang Pajak Berkeadilan, yang secara tegas menyatakan bahwa bumi dan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal (non-komersial) tidak layak dikenakan pajak secara berulang.
Dilansir dari Kumparan.com pada (24/11/2025), Ketua Komisi Fatwa Steering Committee (SC) Munas XI MUI, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, menjelaskan bahwa fatwa ini lahir sebagai respons syariat terhadap keresahan masyarakat akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta jenis pajak lain yang dianggap tidak adil.
“Fatwa ini diharapkan menjadi rujukan untuk memperbaiki regulasi perpajakan sehingga lebih mencerminkan rasa keadilan,” ujar Prof Ni’am.
Menurut Guru Besar Fiqih UIN Jakarta ini, pajak dalam pandangan Islam hanya boleh dipungut dari harta yang bersifat produktif atau termasuk kebutuhan sekunder dan tersier. Sedangkan kebutuhan pokok masyarakat (dharuriyyat), seperti tempat tinggal yang dihuni sendiri dan sembako, tidak boleh dibebani pajak ganda atau pajak sama sekali.
“Pajak itu pada dasarnya hanya boleh diambil dari orang yang mampu secara finansial. Secara syariat, batas minimal kemampuan itu setara dengan nishab zakat maal, yaitu 85 gram emas. Ini bisa dijadikan acuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),” jelas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah Depok tersebut.
Dalam fatwa tersebut, MUI menetapkan sejumlah ketentuan hukum, di antaranya:
- Negara boleh memungut pajak hanya jika kekayaan negara tidak cukup untuk kesejahteraan rakyat, dengan syarat pajak penghasilan hanya dikenakan pada warga yang mampu (minimal setara nishab zakat 85 gram emas).
- Objek pajak hanya harta produktif atau kebutuhan sekunder/tersier.
- Pajak harus digunakan untuk kepentingan publik dan dikelola secara amanah, transparan, serta berkeadilan.
- Kebutuhan primer (termasuk rumah tinggal dan sembako) dilarang dikenai pajak berulang atau pajak sama sekali.
- Pajak yang tidak sesuai ketentuan syariat hukumnya haram.
- Zakat yang telah dibayarkan umat Islam dapat menjadi pengurang kewajiban pajak.
MUI juga memberikan enam rekomendasi konkret, antara lain:
- Meninjau ulang beban pajak progresif yang dirasakan terlalu berat.
- Mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dan memberantas mafia pajak.
- Pemerintah dan DPR wajib mengevaluasi peraturan perpajakan yang tidak adil dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
- Kementerian Dalam Negeri dan pemda diminta mengevaluasi PBB, PPn, PPh, PKB, hingga pajak waris yang sering dinaikkan tanpa mempedulikan rasa keadilan masyarakat.
- Pengelolaan pajak harus amanah dan berorientasi pada kemaslahatan umum.
Selain fatwa pajak, Munas XI MUI juga menghasilkan empat fatwa lain, yaitu:
- Kedudukan Rekening Dormant dan Perlakuan Terhadapnya
- Pedoman Pengelolaan Sampah di Sungai, Danau, dan Laut untuk Kemaslahatan
- Status Saldo Kartu Uang Elektronik yang Hilang atau Rusak
- Kedudukan Manfaat Produk Asuransi Kematian pada Asuransi Jiwa Syariah
Fatwa-fatwa ini diharapkan menjadi panduan umat Islam sekaligus masukan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang lebih berkeadilan dan sesuai nilai-nilai syariat.

