Bayangkan jika dunia berbalik arah, di mana hanya pria yang hidup dengan ancaman setiap hari, di mana kekerasan terhadap mereka diterima begitu saja. Sayangnya, dalam kenyataannya, perempuanlah yang harus bertahan hidup dalam bayang-bayang ancaman, dan femisida adalah salah satu dari ancaman itu. Sejak zaman awal patrilineal, sejarah sudah menunjukkan kepada kita bahwa Laki-laki selalu mempertahankan tahtanya dan mereka sudah jauh berpikir untuk membuat perasaan Perempuan merasa tergantung.
Akibat maskulinitas rapuh, perempuan dianggap parasite dan menuntut tunduk pada hukum-hukum maskulin. Femisida adalah istilah yang merujuk pada pembunuhan perempuan yang dilakukan karena mereka adalah perempuan. Ini berbeda dari pembunuhan biasa karena dimotivasi oleh kebencian terhadap perempuan misogyny, ketidaksetaraan gender, keinginan untuk mengontrol atau mendominasi perempuan.
Istilah Femisida Mulai Muncul
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh feminis seperti Diana Russell pada tahun 1976 untuk menyoroti sifat gender-spesifik dari kekerasan terhadap perempuan. Tetapi, jika dilihat maraknya kasus femisida yang terjadi, femisida bukan hanya sekedar pembunuhan terhadap perempuan, tetapi lebih pada pembunuhan yang berakar dari pandangan misoginis (kebencian terhadap perempuan) dan ketidaksetaraan sosial.
Di zaman sekarang banyaknya kasus-kasus di sosial media yang viral atas permasalahan dalam hubungan berpasangan. Entah meliputi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) ataupun kekerasan seksual yang dilakukan oleh lawan jenis. Jika dilihat dari aspek sosial latar belakang terjadinya femisida ini kepada pasangan ialah munculnya rasa kecemburuan yang berlebih sehingga bisa menimbulkan amarah yang tidak terkontrol.
Dalam ilmu filsafat, Femisida ini dianalisis sebagai puncak dari sistem patriarki. Dimana budaya yang toxic yang membenarkan dan mendukung tindakan kekerasan kepada Perempuan, dan menempatkan perempuan hanya sebagai objek pemuas nafsu untuk laki-laki, sehingga ketika perempuan melawan dan gagal memenuhi ekspektasi gender perempuan akan menjadi target kekerasan.
Novel Perempuan Titik Nol
Dalam kutipan buku Nawal El Saadawi yang berjudul perempuan titik nol. Firdaus sebagai tokoh utama perempuan di novel ini. Singkat cerita Firdaus yang menunjukkan bagaimana kondisi masyarakat tempat ia tinggal dimana patriarki yang kejam, eksploitasi dan kekerasan sistemik terhadap perempuan dapat mendorong mereka ke titik tanpa harapan. ‘
Masyarakat di tempat Firdaus tinggal sangat menormalisasi penindasan melalui kekerasan domestik, pemerkosaan, pelacuran, serta pembunuhan kepada perempuan hanya karena menolak dominasi laki-laki. Firdaus dihukum mati meskipun dia bertindak untuk mempertahankan martabatnya. Ini menggarisbawahi bagaimana sistem hukum sering kali gagal melindungi perempuan atau bahkan menghukum mereka yang mencoba melawan penindasan. Akhirnya Firdaus tidak memilih untuk tunduk pada sistem patriarki meskipun dia sudah tau bahwa konsekuensinya adalah kematian.
Kasus Femisida Merajalela
Ketika kasus femisida ini sudah merajalela Masyarakat yang dongo hanya menggiring stigma terhadap korban saja tidak pada pelaku. “Apa yang kamu lakukan sampai menyebabkan itu semua terjadi?”. Tetapi, dibalik itu banyak juga pasangan yang meromantisasi kekerasan biasanya demi mempertahankan hubungannya yang terhitung sudah bertahun-tahun itu.
Menurut Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul The Second Sex femisida dapat dipahami sebagai konsekuensi ekstrem dari pandangan yang mengobjektifikasi perempuan. Menurutnya, kekerasan pada perempuan terjadi karena struktur sosial yang memperkuat hierarki gender. Simone juga percaya hanya melalui perjuangan kolektif dan pemahaman kritis terhadap akar penindasan. Perempuan dapat mencapai kebebasan yang eksistensial. Femisida juga terbagi beberapa macam salah satunya ialah Honor Killing yaitu pembunuhan demi menjaga kehormatan suatu keluarga atau komunitas.
Kasus di Sulawesi Selatan
Di daerah Sulawesi Selatan tahun 2020 seorang perempuan dibunuh oleh keluarganya sendiri. Diketahui ia telah menjalin asmara dengan laki-laki yang sudah berkeluarga, demi menjaga kehormatan keluarga. Ayah korban rela membunuh anak kandungnya guna menutupi aib yang telah dibuat oleh putrinya. Ia melakukan hal tersebut karena adanya dorongan norma patriarki yang ada pada masyarakat.
Setiap nyawa yang hilang karena kekerasan berbasis gender adalah pengingat tragis bahwa kita belum mencapai keadilan sejati. Namun, di balik setiap tragedi ada peluang untuk bangkit, bersuara, dan bertindak. Perubahan dimulai dari keberanian untuk melawan ketidakadilan, dimulai mendengar mereka yang terbungkam, dan dari keyakinan bahwa dunia yang lebih aman dan setara bukanlah utopia, melainkan tujuan yang dapat kita capai bersama. Akhir dari femisida adalah awal dari peradaban yang lebih manusiawi.
Katakan tidak pada kata-kata “Kalau sama dia sakit. Tapi kalau nggak sama dia lebih sakit.” Come on girls, kita akan dapat cinta yang setara atas diri kita yang berharga. Jalaludin Rumi pernah berkata “Cinta yang sejati ialah yang tidak pernah menyakiti dan membawa kedamaian”. Dalam pandangan Plato. Cinta yang sejati berfokus pada kebaikan dan keabadian jiwa, bukan pada hasrat yang fana.
Editor: Assalimi