Fikih

Fenomena Marital Rape: Bagaimana Membangun Relasi Etis dalam Penikahan?

4 Mins read

Marital Rape | Dalam Islam, pernikahan selayaknya mendatangkan kebahagiaan dan kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Pernikahan sendiri bertujuan untuk memelihara keturunan, agama, maupun memenuhi kebutuhan biologis bagi setiap insan. Semua tujuan itu dimaksudkan agar setiap insan dapat merasakan ketenangan yang paripurna.

Namun demikian, tujuan yang mulia dari setiap pernikahan tidak selalu menghasilkan ketenangan. Misalnya soal hubungan seksual yang sejatinya menjadi jalan bagi terpenuhinya manfaat dan tujuan pernikahan, malah justru seringkali menjadi masalah yang tak jarang memicu keretakan dan ketidakharmonisan dalam ruang tangga.

Bila pernikahan dipahami sebagai sesuatu yang harus mendatangkan ketenangan, maka hal itu juga berlaku dalam hal hubungan seksual. Namun faktanya, hubungan seksual sering menjadi masalah lantaran ada anggapan bahwa dalam keadaan apapun, perempuan harus tunduk dan patuh melayani suami.

Artinya, ada anggapan bahwa dalam keadaan yang bahkan tidak nyaman sekalipun, perempuan tidak boleh menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual. Bila istri menolak, maka ia dianggap menentang suami dan melanggar prinsip yang telah digariskan oleh agama.

Pertanyaannya, bila hubungan seksual dilakukan dalam keadaan terpaksa, atau suami memaksa istrinya untuk melakukan hubungan kendati istri dalam kondisi tidak nyaman, apakah itu bisa dikategorikan sebagai perkosaan dalam pernikahan? Bagaimana sesungguhnya Islam mengatur relasi seksual antara suami dan istri?

Apa itu Marital Rape?

Banyak orang beranggapan bahwa tidak ada perkosaan dalam pernikahan karena istri merupakan hak suami. Istri juga menanggung kewajiban yang mutlak untuk melayani suaminya. Alasan utamanya karena suami-istri diikat dengan kontrak pernikahan dan dengannya, istri telah dianggap memberikan seluruh dirinya kepada suami.

Namun, pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual juga seringkali berdampak negatif bagi istri, baik itu dampak psikologis seperti trauma maupun dapat fisik yang dapat menciderai kondisi tubuh istri. Padahal, hubungan seksual dalam rumah tangga haruslah dilakukan atas dasar kesukarelaan dan tidak boleh ada unsur-unsur yang dapat melukai dan menciderai salah satu pihak.

Baca Juga  Tradisi-Tradisi yang Mempersulit Pernikahan, Harus Dimusnahkan

Karenanya, pemaksaan hubungan seksual terhadap istri juga bisa masuk dalam kategori pemeroksaan. Artinya, perkosaan tidak melulu terjadi di luar pernihakan, melainkan juga bisa terjadi oleh pasangan pernikahan. Kondisi itu disebut sebagai Marital Rape atau pemaksaan terhadap pasangan untuk mau melakukan hubungan seksual. Ini disebut sebagai perkosaan karena ada unsur-unsur ancaman dan paksaan yang sangat mendominasi.

Marital Rape merupakan perkosaan dalam pernikahan yang di dalamnya ada kekerasan terhadap istri dalam bentuk persetubuhan secara paksa yang dapat menyebabkan penderitaan. Beberapa jenis perkosaan yang dapat masuk kategori Marital Rape misalnya, berhubungan seksual karena terpaksa, adanya manipulasi, hubungan seksual secara tidak sadar, dan adanya ancaman. Semua itu masuk kategori kekerasan seksual karena berdampak negatif bagi istri.

Penolakan terhadap Marital Rape

Dalam konteks Islam, penolakan terhadap Marital Rape seringkali berasal dari pemahaman terhadap hadis yang menyebutkan bahwa istri yang menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual akan dilaknat malaikat sampai subuh.

Melalui pemahaman terhadap hadis di atas, banyak yang beranggapan bahwa tidak ada jenis perkosaan dalam ruang tangga. Seorang suami memiliki hak yang mutlak terhadap istrinya, karena istri adalah ladang garapan bagi suaminya. Hadis ini juga dipahami sebagai ketundukan total seorang istri terhadap suaminya.

Dalam hal ini, pernikahan dipahami sebagai relasi kontrak yang primordial di mana seluruh tubuh istri diberikan kepada suaminya, sehingga tidak ada alasan apapun bagi seorang istri untuk tidak melayani suaminya. Ikatan ini juga mengindikasikan bahwa istri siap menjadi pelayan sepanjang hidup bagi suaminya.

Sebenarnya, penolakan terhadap Marital Rape bukan hanya umum terjadi di dunia Islam. Dalam konteks global, penolakan terhadap adanya perkosaan dalam pernikahan juga sudah ada sejak dulu. Misalnya, dikutip dari sumber magdalene.com, pada abad ke-17, hukum umum Inggris atau English common law memberi sanksi atas pemerkosaan terhadap perempuan. Namun, ada pengecualian jika terjadi dalam pernikahan karena status suami-istri memberi ruang pembelaan untuk pelaku.

Baca Juga  Berjabat Tangan Saat Idul Fitri: Antara Tradisi dan Syariat

Hakim dan juri pada masa itu, Lord Matthew Hale bahkan mengatakan: “Suami tidak bisa dituduh bersalah atas pemerkosaan kepada istri sahnya, karena ada consent yang mutual dan kontrak, istri telah memberikan dirinya kepada suami yang tidak bisa ditarik kembali.”

Penolakan terhadap adanya perkosaan dalam rumah tangga sebetulnya berakar kuat dalam budaya patriarti. Hal ini bisa dipahami karena tubuh perempuan dilihat sebagai komoditas yang dimiliki oleh suami.

Pernikahan dimaknai sebagai persetujuan yang mutlak untuk dapat memiliki istri sepenuhnya. Selain itu, banyak juga yang berasumsi bahwa perkosaan hanya ada di luar pernikahan, dan mengangap adanya perkosaan dalam ruang tangga adalah sesuatu yang mengada-ngada.

Membangun Relasi Etis

Pernikahan sejatinya bukan hanya relasi suami-istri yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spiritual dan doktrinal, lebih dari itu relasi dalam pernikahan juga dibagun berdasarkan nilai-nilai etis. Sebab, jalinan pernikahan tidak semata-mata urusan yang hanya berkaitan dengan agama, tetapi yang lebih penting dari itu adanya relasi antar manusia yang harus dijalin berdasarkan komitmen moral.

Membangun relasi seksual yang etis bagi suami-istri haruslah dimulai dari pemahaman yang baik terhadap makna dan tujuan pernikahan. Dalam hukum Islam, pernikahan dipahami sebagai suatu akad yang membolehkan suami memanfaatkan tubuh istri dan memberikan hak kepemilikan pada suami atas istri. Melalui definisi ini, ada kesan bahwa penolakan terhadap ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual sama halnya menentang hukum agama.

Padahal, bila makna pernikahan di atas dikembangkan, maka kebolehan memanfaatkan tubuh istri ini juga bisa berlaku sebaliknya. Seorang suami juga merupakan hak milik bagi istrinya. Sehingga suatu jalinan pernikahan merupakan kesaling memiliki satu sama lain sehingga hubungan seksual bisa dipahami sebagai kewajiban sekaligus hak bagi kedua belah pihak.

Baca Juga  Mengucapkan dan Menjawab Salam untuk Non-Muslim

Selain itu, definisi pernikahan ini sangat mungkin dikembangkan dengan mencaku pada rahmah dan kesempurnaan akhlak Islami, dan podasi moral yang sudah ditegaskan dalam al-Qur’an.

Sehingga relasi seksual bukanlah dibangun berdasarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, juga bukan semata-mata relasi pernikahan yang bersifat doktrinal-spiritual, tetapi ada unsur-unsur etis di mana keduanya saling memiliki hak yang sama sebagai implikasi etika Qur’ani.

Bila nilai-nilai etika Qur’ani ini diterapkan dalam relasi seksual suami-istri, seperti mengedepankan kebaikan, saling memberi kenyamanan, kemuliaan, kebahagiaan, dan cinta kasih, maka konsekuensi logisnya adalah suami-istri memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain.

Dengan demikian, setiap bentuk pemaksaan dalam rumah tangga, bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang melanggar prinsip etika agama, baik itu dilakukan oleh suami maupun istri. Karenanya, praktik hubungan seksual dalam pernikahan haruslah berdimensi etis, di samping berdimensi spiritual dan ibadah, di mana tidak ada ruang bagi siapapun untuk memaksa dan menyakiti.

Editor: Yahya

23 posts

About author
Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds