Jika ada satu daerah yang mungkin tak dikenal secara luas, maka daerah itu ialah Sulawesi Tengah (Sulteng). Jika orang luar ditanya tentang Sulawesi, maka yang terbayang adalah Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan suka Bugis-Makassarnya. Hal ini cukup dimaklumi. Sebab pamor Sulsel telah lama menasional. Apalagi semenjak tampilnya Jusuf Kalla sebagai wakil presiden selama dua periode. Adapun untuk Sulteng, putra daerahnya masih terbilang sedikit yang berkiprah di nasional. Hal ini, diakui tidak, berpengaruh pada familiaritas orang terhadap Sulteng.
Di periode kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, beberapa putra daerah Sulteng diberikan kesempatan untuk membantu beliau di pemerintahan. Ada Supratman Andi Agtas sebagai Menteri Hukum dan Abdul Kadir Karding sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia 2024-2025. Sementara untuk di legislatif, satu nama dapat yang kita sebut adalah Abchandra Akbar Supratman yang hari ini diamanahi legislatif sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kehadiran tokoh-tokoh ini diyakini memperkuat syiar Sulteng di nasional.
Nama yang disebut terakhir adalah representasi anak muda Sulteng di nasional. Kehadirannya telah menjadi angin segar bagi masyarakat Sulteng. Tidak hanya membuktikan bahwa Sulteng bisa berkiprah di nasional, tapi juga membuktikan bahwa anak mudanya juga punya daya saing tinggi. Semenjak menjabat sebagai Wakil Ketua MPR, telah banyak aksi dan program yang dilakukan dan diperjuangkannya. Dari mengadvokasi kasus pendidikan, menegakkan hukum, pengayaan wawasan kebangsaan bagi kaula muda dan distribusi bantuan sosial.
Hari ini kerja-kerja Akbar melampaui itu semua. Ia menangkap satu isu krusial yang mungkin jarang dilirik pemerintah Sulteng, baik di tahap eksekutif dan legistatif. Isu tersebut adalah isu budaya atau kearifan lokal (local wisdom). Perhatian penuh Akbar terhadap isu ini sangat nyata dan tidak sloganistik. Ia menampilkan kepedulian dan kecintaannya terhadap budaya tersebut dalam satu pagelaran akbar bernama Festival Tende. Acara ini telah sukses digelar untuk kedua kalinya dengan menghadirkan para tokoh nasional di kota Palu.
Filosofi Tende
Tende adalah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Sulteng. Bagi masyarakat Sulteng, tende telah menjadi lakon kehidupan sehari-hari. Secara kebahasaan, tende berasal dari bahasa Kaili yang artinya pujian. Di daerah lain seperti Medan, padanan kata yang pas untuk tende adalah umbang. Kehadirannya sama-sama untuk melempar pujian, entah kepada teman, pasangan dan atasan. Tradisi ini, jika diterapkan dalam batas wajar, memiliki nilai dan dampak yang sangat positif.
Dalam kehidupan sehari-hari, tende menjadi semacam pola interaksi antar masyarakat di Sulteng. Karena itu antar anggota masyarakarat terbiasa saling melempar pujian. Hari ini, lebih dari sekedar interaksi, tende telah menjadi satu strategi komunikasi. Ia digunakan untuk memuluskan misi sang pengucap. Baik ketika berhadapan dengan kekasih, aktor-aktor politik atau pengusaha. Dalam masyarakat Sulteng, tende amat sangat diperlukan dalam komunikasi. Sebab hanya dengan menggunakannya suasana percakapan dan pertemuan jadi lebih hangat dan harmoni.
Di Islam budaya pujian-pujian telah menjadi satu pembahasan yang menarik. Kalimat hamdalah yang biasa kita ucapkan adalah bagian pujian terhadap Tuhan. Begitupun dengan salawat. Ia dihadirkan untuk memuji Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat Arab juga dikenal apa yang disebut sebagai syair. Fungsinya secara sosial tidak jauh berbeda dengan tende, yakni melempar pujian terhadap sosok yang dikagumi dan sosok yang ingin didekati. Jadi tende sebenarnya memiliki akar historis yang kuat, khususnya jika kita melihat presentase masyarakat Sulteng yang mayoritasnya adalah muslim. Fakta kultural lain yang mungkin menjadi faktor menguatnya budaya tende di Sulteng adalah banyaknya keturunan Arab. Mereka adalah masyarakat yang terbiasa dengan tradisi saling memuji.
Budaya di Persimpangan Jalan
Harus diakui, modernitas telah memberikan banyak perubahan terhadap kehidupan manusia. Dari kehidupan yang perlahan individualis, cara pandang yang materialistik dan mengendurnya apresiasi terhadap budaya atau tradisi lokal. Atas nama kemajuan budaya dianggap sebagai sesuatu yang kolot, kuno dan terbelakang. Pelebelan ala modernitas ini banyak menghancurkan sendi-sendi budaya dalam kehidupan masyararakat Indonesia, tak terkecuali di Sulteng.
Indonesia adalah negeri dengan kebudayaan yang beragam dan kaya. Ia terdiri dari berbagai macam agama, etnis, suku, budaya dan bahasa. Namun hari ini keberadaan bahasa dan budaya tersebut menjadi terancam seiring dengan mewabahnya modernitas. Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2019, jumlah bahasa daerah di Indonesia sekitar 817. Namun di antara angka itu tidak sedikit bahasa daerah yang menghadapi masa kritis. Yakni 21 kategori rentan, 3 mengalami kemunduran, 29 terancam punah, 8 kritis dan 5 punah. (Yonantho: 2025)
Angka-angka itu sebenarnya telah lama dilansir. Maka hari ini penurunan dan kepunahannya boleh jadi lebih drastis. Pemerintah, baik nasional dan daerah, seyogianya perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan budaya dan bahasa daerah dari ancaman kepunahan. Anak-anak muda sebagai generasi pelanjut harus mulai diakrabkan dengan budaya dan bahasa daerah mereka. Stigma-stigma negatif seperti kuno, terbelakang dan tidak gaul saat menggunakan bahasa daerah harus dikikis. Kepercayaan diri generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah harus dibangun dan dibentuk.
Akbar dan Syiar Budaya Sulteng
Hari ini Akbar, sebagai perwakilan Sulteng dari legislatif, telah memulainya. Festival Tende yang digelarnya adalah langkah nyata untuk melestarikan dan mengenalkan budaya lokal kepada generasi muda. Acara ini dikemas dengan begitu kreatif dan menarik. Dalam acara megah ini, selain mengajak artis-artis nasional, Akbar juga melibatkan para influencer dan konten kreator lokal. Dengan strategi semacam ini, Akbar melakukan dua langkah yang berarti. Pertama, ia ingin budaya Sulteng dikenal di nasional lewat keterlibatan artis-artis papan atas. Kedua, ia ingin menegaskan, bahwa salah satu peran penting yang harus diemban oleh konten kreator lokal adalah menjaga dan mengenalkan budayanya.
Di samping itu, cara lain yang digunakan oleh Akbar untuk mensyiarkan local wisdom Sulteng adalah dengan mengundang tokoh-tokoh nasional dari daerah lain. Di acara ini Akbar mengundang tokoh-tokoh seperti Raffi Ahmad (Artis dan Utusan Khusus Presiden Indonesia Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni), Kawendra Lukistan (DPR RI Dapil Jawa Timur), Vasko Ruseimy (Wakil Gubernur Sumatera Barat) dan Akhmad Syukri Nazry Penarik (Wali Kota Sibolga) dan tokoh-tokoh lainnya. Usaha menggelar Festival Tende dan menghadirkan tokoh-tokoh nasional tersebut adalah kerja nyata Akbar untuk melestarikan dan menasionalkan budaya Sulteng.
Catatan Penutup
Langkah yang ditempuh dan dijalankan oleh Akbar melalui Festival Tende sudah seharusnya menjadi contoh bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sulteng. Perhatian dan kecintaan terhadap budaya tidak boleh sekedar slogan. Ia harus mewujud dalam tindakan dan kebijakan. Hari ini isu kebudayaan belum mendapat perhatian dari pemerintah Sulteng. Padahal meski tampak tidak penting, ia berkaitan erat dengan identitas dan jati diri daerah. Mengabaikan dan mengacuhkan isu ini hanya akan melahirkan satu masyarakat yang krisis identitas.
editor : Ikrima

