Niat Ihram atau Niat Ihram dari Miqat?
Sebelum mendiskusikan masalah ini lebih jauh, jemaah haji atau jemaah umrah sebaiknya memiliki pengetahuan tentang perbedaan antara berniat ihram dan berniat ihram dari miqat. Ini merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Berikut penjelasan singkat terkait perbedaan keduanya.
Pertama, berniat ihram merupakan salah satu rukun haji atau umrah. Apabila ada jemaah yang tidak berniat ihram, maka ibadah haji atau umrahnya dianggap tidak sah.
Kedua, berniat ihram dari miqat, merupakan salah satu wajib haji atau umrah. Jika ada jemaah yang tidak berniat ihram ketika berada di miqat makani atau sebelumnya, maka ibadahnya tetap dianggap sah selama dia tetap berniat ihram setelah melewati miqat.
Misalnya, dia baru berniat ihram setelah melewati Bir Ali (miqat makani bagi jemaah haji gelombang I yang mendarat di Madinah) maupun Yalamlam atau bandara Jeddah (miqat makani bagi jemaah gelombang II yang terbang langsung menuju Jeddah).
Apabila seseorang melewati miqat tersebut tanpa berniat ihram, maka dia diwajibkan membayar dam, karena telah melanggar salah satu wajib haji atau umrah.
Hal ini sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam riwayat hadis berikut: Dari Ibn Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Janganlah kalian melewati miqat kecuali dalam keadaan [telah berniat] ihram.” (HR. al-Thabarani Nomor 12236.)
Dalam riwayat hadis yang lain juga disebutkan keterangan serupa:
Dari hadis Ibn Abbas yang diriwayatkan secara marfu’: “Seseorang tidak boleh melewati miqat kecuali dalam keadaan [telah berniat] ihram.” (HR. al-Thabarani.)
Ketentuan dalam hadis di atas berlaku bagi setiap jemaah yang melewati miqat makani, baik perempuan maupun laki-laki, belia maupun lanjut usia. Lantas bagaimana dengan jemaah yang mengalami haid ketika hendak berniat ihram. Apakah dia tetap bisa melanjutkan haji atau umrahnya, sementara dia sedang berhadas besar.
Haruskah Haji Perempuan Menunda Niat Ihram, Sampai Suci dari Haid?
Menurut para ulama mazhab, kewajiban untuk berniat ihram dari miqat makani berlaku umum untuk semua jemaah haji atau umrah. Termasuk perempuan yang sedang haid, dia juga wajib berniat ihram sebelum atau ketika berada di miqat makani, sebagaimana juga dilakukan oleh jemaah yang lain.
Menurut Imam al-Syafi’i, tidak ada larangan bagi perempuan haid untuk berihram. Bahkan ihram yang dia niatkan tetap dianggap sah sekalipun sedang dalam kondisi haid. Perempuan juga tidak diharuskan membayar fidyah apapun karena telah berihram dalam keadaan haid. Mengingat suci dari hadas kecil maupun besar tidak menjadi syarat sah ihram.
Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat hadis sebagai berikut: Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila perempuan yang haid dan nifas tiba di miqat, [hendaklah] dia mandi, berniat ihram, dan menunaikan semua rangkaian manasik kecuali tawaf di Ka’bah.” (HR. Abu Dawud No. 1744.)
Dari riwayat hadis di atas dapat dipahami bahwa perempuan yang sedang haid atau nifas boleh dan sah melakukan seluruh rangkaian ibadah haji atau umrah, termasuk berihram ketika berada di miqat makani.
Jemaah yang sedang haid hanya dilarang melakukan tawaf dan salat-salat sunah yang dianjurkan dalam rangkaian manasik, seperti shalat sunah setelah ihram atau salat sunah di belakang Maqam Ibrahim seusai menunaikan tawaf.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kebolehan perempuan haid untuk berihram. Dalam situasi seperti ini, tidak ada perlakuan diskriminatif bagi perempuan yang sedang haid. Status yang dia sandang setelah berihram juga dianggap sama seperti jemaah lain, yakni sebagai seorang muhrimah (perempuan dalam kondisi ihram).
Seluruh larangan ihram berlaku baginya sebagaimana juga berlaku pada jemaah kebanyakan. Sebaliknya, dia juga diinzinkan untuk menunaikan seluruh rangkain ibadah haji, kecuali tawaf.
Sekalipun ihram boleh dilakukan dalam kondisi berhadas kecil maupun besar, sebaiknya jemaah yang tidak sedang haid melakukan ihram dalam kondisi thaharah (memiliki wudhu). Hendaknya setiap orang berusaha sekuat tenaga untuk bisa berihram dalam kondisi terbebas dari hadas. Sunah hukumnya melakukan amal baik dalam kondisi memiliki wudhu.
Memang ada pendapat ulama yang menyebutkan, perempuan yang merasa haidnya akan segera berakhir dianjurkan untuk menunda ihramnya sampai suci. Alasannya, berihram dalam kondisi suci dari hadas adalah lebih baik dan hukumnya sunah.
Namun hal ini tentu tidak mungkin diterapkan jemaah haji Indonesia. Setiap orang terikat dalam satu kesatuan regu maupun rombongan Jemaah yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia. Pengaturan ini tidak lain bertujuan untuk memberikan pelayanan dan pelindungan maksimal bagi jemaah.
Jika ada seorang jemaah haji perempuan yang ingin menunggu haidnya suci terlebih dahulu ketika akan berihram, tentu hal tersebut akan mengganggu jadwal perjalanan yang telah diatur sedemikian rupa. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengalami haid pada saat berada di miqat makani, hendaklah tetap berniat ihram. Ihram yang dia lakukan tetap sah, karena suci dari hadas kecil maupun besar tidak menjadi syarat sah ihram.
Jangan sekali-kali melewati miqat makani tanpa berniat ihram. Jika hal itu sampai terjadi, maka dia wajib membayar dam sebagai konsekuensi telah melanggar salah satu wajib haji atau umrah.
Sumber: Manasik Haji Perempuan (Kemenag, 2020)
Editor: Azaki K