Falsafah

Filsafat Basmalah: Sebuah Fondasi Kehidupan (Perspektif Muhammad Abduh dan Ibnu Sina)

3 Mins read

Sering Disepelekan, Namun Bagaikan Lautan

Saya yakin kita semua sejak kecil diajarkan untuk memulai segala sesuatu dengan membaca Basmalah. Namun dengan bertambahnya usia, ajaran itupun semakin disepelekan. Mungkin sekarang ucapan Basmalah hanya diucapkan saat membuka acara resmi, atau saat meresmikan gedung baru. Kalau kata teman saya yang bandel “Mau makan bakso, baca basmalah atau tidak, baksonya ndak akan nambah kok”

Mari sedikit belajar dari pertanyaan tentang kebijaksanaan yang diajukan Socrates kepada muridnya: “Untuk apa kamu lakukan ini? Apa dampak bagi dirimu dan orang lain?”. Pertanyaan itu pada zaman modern, membawa para akademisi kepada konsep aksiologi. Yaitu sebuah aspek tentang tujuan dan dampak. Kalau Sabda Nabi dalam urutan pertama al-Arba’iin al-Nawawy ialah: Perbuatan apapun itu, bergantung pada tujuannya.

Saya rasa, kajian tentang Basmalah adalah salah satu hal yang sangat menarik, meskipun terlihat sepele. Di banyak buku tafsir, pembahasan tentang Basmalah bisa selesai berpuluh-puluh halaman. Bahkan ada salah satu tesis yang khusus membahas Basmalah saja, dapat menghabiskan sampai ratusan halaman.

Kalau kata guru saya: “Basmalah sepele kelihatannya, tapi dia itu bagai lautan yang sangat dalam. Betapa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya begitu melimpah dan menakjubkan”. Mari kita coba selami lautan yang dalam itu.

Izinkan saya membandingkan antara kedua Ulama yang berbeda zaman, namun cukup menarik dalam membahas Basmalah ini. Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar-nya, dan Ibnu Sina dalam Risalah fi al-’Isyq-nya. Meskipun sebenarnya Ibnu Sina sebenarnya bukan membahas tentang tafsir secara khusus dalam bukunya tersebut. Buku itu membahas tentang filsafat cinta, namun ada sedikit irisan tentang Basmalah yang cukup menarik yang beliau bahas.

Baca Juga  Skeptisme Al-Ghazali untuk Menemukan Kebenaran yang Hakiki

Tumpahan Kasih Sayang

Pertanyaan pertama ialah, mengapa kalimat Basmalah belum sempurna / efektif? Kalau kita telusuri makna dari Basmalah, maka artinya adalah: “Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Saya kira kita semua pahami, bahwa di bahasa Indonesia, kita mengenal tentang kalimat efektif, atau dalam bahasa Arab, istilahnya al-Jumlah al-Mufidah. Ketika saya membuat kalimat: “dengan pulpen dan buku”. Maka kalimat ini bukan kata efektif / mufidah. Namun ketika saya tambahkan kata “Saya Belajar” di awalnya, maka dia akan menjadi kalimat sempurna, yaitu: “Saya belajar dengan pulpen dan buku”.

Dalam hal ini, Muhammad Abduh berpendapat sesungguhnya Allah sengaja menghilangkan kalimat awal pada Basmalah tersebut. Dengan tujuan agar orang beriman dapat menggunakannya dalam setiap kegiatannya. Misal: “saya makan dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; atau “saya minum, saya tidur, saya bekerja, saya belajar, saya menulis surat, dan semua kegiatan saya ialah dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Seakan Allah ingin menjadikan setiap sendi kehidupan kita berada dalam Nama-Nya yang Maha Penyayang; sehingga setiap pekerjaan dan kegiatan yang kita lakukan, dapat tuntas dengan penuh kasih sayang.

Analoginya seperti kita menuang susu pada segelas cangkir. Maka ketika cangkir penuh, lalu kita tuangkan lagi, tidak mungkin yang keluar dari cangkir itu tiba-tiba menjadi alkohol. Pasti yang tumpah keluar ialah juga susu. Sama halnya dengan hati yang sudah kita penuhi dengan Nama Yang Maha Penyayang, maka perilaku dan kegiatan kita akan ditumpahi kasih sayang. Hal ini karena Basmalah membuat hati kita dipenuhi sifat-sifat sayang-Nya.

Cinta dan Basmalah

Menarik sekali penjelasan Abduh selanjutnya. Dimana beliau berpendapat bahwa Basmalah juga Al-Fatihah, sesungguhnya adalah pondasi ajaran Islam. Setidaknya ada dua argumen beliau:

Baca Juga  Mengenal Al-Jili (3): Konsep Insan Kamil (Manusia Sempurna) Al-Jili

Pertama, karena keseluruhan ayat Al-Quran, sebenarnya merupakan rincian dari Surah Al-Fatihah: Dimana Al-Quran berisikan tentang ketuhanan Allah dan penciptaan-Nya terhadap alam semesta, tentang nama-nama-Nya, hari akhir, tauhid dan cerita-cerita umat yang diberi nikmat & diberi murka, dan semuanya ialah apa yang ada dalam Surah Al-Fatihah.

Kedua, karena Basmalah dan Al-Fatihah adalah hal yang sering diulang-ulang dalam kehidupan seorang beriman. Setidaknya, seorang beriman akan mengulang Surah Al-Fatihah, paling tidak 2x dalam shalat. Menurut Abduh, itulah mengapa disebut juga Sab’u al-Matsaany (7 ayat yang diulang 2x dalam shalat).

Pendapat Ibnu Sina tentang pengulangan sesuatu ternyata sejalan dengan ungkapan beliau pada bukunya Risalah fi al-’Isyq :

ما يثبت في حياة الإنسان تكرارا فهو أساس حياته

“Apa yang terulang pada kehidupan seseorang, maka itu adalah pondasi kehidupannya”

Ungkapan ini diungkapkan Ibnu Sina ketika menjelaskan tentang filsafat cinta pada manusia. Ketika manusia selalu menemukan cinta dalam kehidupannya, maka cinta akan menjadi pondasi kehidupannya. Beliau membuat analogi kekuatan cinta yang terbesar sebenarnya ada pada manusia, dan dapat  dilihat pada anak kecil.

Meskipun seorang anak kecil berada di tengah hutan, atau di tempat terpencil sekalipun, ia akan selalu menemukan hal-hal menarik untuk dicintai dan untuk dijadikan mainan. Saya ingat betul bagaimana almarhum putri saya, meskipun tidak punya mainan, namun segala hal sederhana seperti kunci, sendok, dan lain-lain dapat dijadikan mainan dan membuatnya sangat bahagia penuh cinta.

Maka demikianlah Basmalah dan cinta memiliki titik temu. Bahwa keduanya akan menjadi kekuatan yang kuat jika selalu kita libatkan dalam kehidupan kita. Karena segala hal yang selalu terulang akan memenuhi hati kita, lalu tumpahannya akan menjadi perilaku dan gerak langkah.

Baca Juga  Immanuel Kant (1): Penentang Rasionalisme & Empirisisme

Sederhananya, jika yang kita tuang terus menerus pada hati adalah Nama Allah yang Maha Penyayang dan kecintaan pada-Nya, maka gerak langkah kita akan senantiasa menunjukkan perilaku sayang dan cinta.

Editor: dky.bgss

Mufti Abqary
2 posts

About author
MBS Syamsul Ulum Bandung
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds