Cacian kepada Akal
Filsafat – Hal yang paling memprihatikan adalah adanya sebuah cacian terhadap akal. Beberapa ulama ada yang mengatakan “beragama itu jangan mendahulukan akal ketimbang Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Bahkan parahnya lagi, hal ini dikaitkan dengan “Islam Liberal”. “Ciri Islam Liberal adalah mendewa-dewakan akal ketimbang Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Saya tidak perlu menyebutkan ulama ini. Namun yang jelas, kalimat-kalimat seperti ini tentu sering beredar di pengajian-pengajian Muhammadiyah dan mungkin di IMM. Bahkan ada beberapa senior yang mengharamkan filsafat. Bagi saya kalimat ini terdengar bagus dan indah, tetapi menyesatkan.
Pertama, pertanyaan itu menyesatkan umat dan yang mendengarkannya, seolah antara akal dan Al-Qur’an serta As-Sunnah itu sejajar. Padahal dua hal ini tidak dapat disejajarkan. Sebab memiliki fungsi dan porsi yang berbeda.
Kedua, seolah akal itu dapat menyesatkan. Padahal akal adalah pemberian Tuhan yang paling berharga. Karena akal manusia menjadi mulia di hadapan malaikat dan mahluk lainnya. Bagaimana mungkin sesuatu anugerah yang diberikan Allah dianggap sesat oleh pertanyaan tersebut?
Perhatikan kalimat tersebut, “dalam beragama tidak boleh mendahulukan akal ketimbang nash (Al-Qur’an dan As-Sun-nah)”. Orang yang meyakini kalimat ini benar berarti dia tidak memahami pengertian dan fungsi akal dan Al-Qur’an serta As-Sunnah secara baik.
Akal untuk Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah
Akal itu alat yang diberikan Allah kepada manusia untuk memahami sesuatu, termasuk di dalamnya untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara Al-Qur’an itu petunjuk (hudan) yang merupakan sumber (sources) dan rujukan manusia untuk berindak.
Untuk memahami source tersebut hanya dengan akal. Bukan dengan yang lainnya. Manusia yang tidak berakal tidak dapat memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan baik. Bukankah di atas sudah dijelaskan bahwa agama untuk orang yang berakal sehat.
Dari penjelasan di atas jelas sekali peran dan fungsi akal tidak dapat disejajarkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh sebab itu, mendahulukan yang satu dari yang lain merupakan kesesatan dalam berpikir.
Dalam beragama, dua hal ini harus dimanfaatkan secara proporsional dan bersinergis satu dengan lainnya. Kalimat inilah menurut saya yang paling tepat, sebab dua hal tersebut tidak dapat disetarakan dan memang memiliki peran masing-masing dalam beragama.
Pertanyaan di atas juga tersirat pesan menyudutkan akal. Seolah-olah akal menyebabkan orang dapat tersesat. Kalau yang dimaksud mendewa-dewakan akal adalah menganggap akal sebagai Tuhan tentu saja salah.
Namun kalau akal dianggap dapat menyesatkan seseorang dari memahami agama itu tidak benar. Sebab justru dengan akal lah yang meluruskan kita dalam memahami Tuhan, sebagaimana saya jelaskan di atas.
Filsafat Tidak Haram!
Terkait dengan filsafat itu haram, ini juga sangat menyesatkan. Justru dengan filsafat seseorang jadi memahami alur dan sejarah perkembangan pemikiran manusia. Ilmu pengetahuan yang ada saat ini tidak lain lahir dari filsafat. Penelitian kualitatif dan kuantitatif tidak lain adalah kemenangan empirisme dalam membangun metodologi ilmu pengetahuan.
Kalau kader IMM dijauhkan dari filsafat, maka tentu saja kader akan terasing dari peradaban dunia ini. Hal yang paling menyakitkan adalah kader IMM akan terasing dari peradaban ilmu. Tentu saja hal ini bertentangan dengan visi misi IMM sendiri yang berupaya mewujudkan “akademisi Islam yang berakhlak mulia”.
Perlu kita pahami bersama, pengaruh filsafat dalam kajian keislaman sangat banyak. Salah satunya yang paling fenomenal adalah adanya ilmu “Ushul Fiqh”. Ilmu yang dikembang Imam Asy-Syafii ini berangkat dari filsafat dan logika Aristoteles. Adanya premis mayor dan minor, pemikiran deduktif dan induktif dalam Ushul Fiqih tidak lain adalah logika filsafat.
Ketika ulama mengkaji ayat-ayat tentang makanan, tidak ditemukan satupun mengenai sesuatu makanan yang halal. Dalil di dalam Al-Qur’an dan Hadis hanya membahas menenai yang haram, bukan yang halal.
Dengan begitu dapat disimpulkan “Al-Ashlu fii at-tha’am halalun, illa ma dalla alaihi”, “hukum asal mengenai makanan adalah halal, kecuali ada dalil yang menjelaskan mengenai keharamannya”.
Coba perhatikan betapa indahnya kesimpul kaidah ushul tersebut. Namun perlu diketahui dibalik keindahan kaidah tersebut menyiratkan logika berpikir deduktif, yakni menyimpul-kan sesuatu dari yang umum ke khusus. Bukankah ini berasal dari filsafat? Bukankah ini peran akal? Dapatkah kaidah ushul ini ditolak?
Editor: Rozy