Falsafah

Filsafat Moral Ar-Razi

3 Mins read

Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi atau dikenal sebagai Ar-Razi dan orang barat memanggilnya dengan Rhazes merupakan filsuf muslim yang terkenal yang muncul sesudah Al-Kindi. Ia dilahirkan di Rayy, (250-313 H/ 864-925) dekat Kota Teheran, Iran sekarang.

Ada beberapa tokoh lain yang juga dipanggil Ar-Razi, yakni Abu Hatim Ar-Razi, Fakhrudin Ar-Razi, dan Nazmudin Ar-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Ar-Razi sang filusuf ini dari tokoh-tokoh yang lain harus ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar yang merupakan kunyahnya (sebutan).

Keterkaitan Moral dan Akal

Filsafat Al-Razi memiliki pandangan terhadap moral, di mana keseluruhan kajian moralnya difokuskan kepada akal untuk mengendalikan hawa nafsu. Karena mengendalikan hawa nafsu merupakan kewajiban bagi orang yang berakal dan beragama.

Akal manusia merupakan anugerah dari Tuhan. Karena dengan akal seseorang dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang mana merupakan suatu pengetahuan tertinggi yang dapat diperoleh olehnya. Dengan akal, hidup kita akan terarah. Kita dapat mengetahui yang benar dan yang salah.

Dalam memperlakukan akal, Ar-Razi berpendapat bahwa seseorang harus pandai dan bijaksana, kta tidak boleh mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah. Kesimpulannya bahwa dalam segala hal dan penyelesaian masalah seseorang harus merujuk pada akal. (Lihat: Abu Bakar Ar-Razi, Thib Ar-Ruhani, Tahqiq. Abdul Lathif Al-Abd, [Maktabah An-Nahdhliyah Al-Mishriyah,1978] halaman 36).

Untuk menentukkan baik dan buruknya moral Ar-Razi menggunakan pedoman akal. Sebab, akal memiliki kemampuan untuk mempertimbangan mana yang layak untuk dilakukan seseorang, atau yang tidak layak untuk dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya.

Contoh peran akal dalam pertimbangan masalah ini seperti marah. Kemarahan yang muncul dalam diri seseorang agar mereka dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya dari bahaya yang mengancam. Namun, bila berlebihan, hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri.

Baca Juga  Ketika Ibnu Sina Berbicara tentang Jiwa
***

Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibagi menjadi dua: untuk kebaikan dan untuk kejahatan. Bila dusta dilakukan untuk kebaikan, hal itu menjadi terpuji; tetapi jika sebaliknya, apabila untuk kejahatan, hal itu menjadi tercela.

Sifat kikir tidak dapat ditolak sepenuhnya. Nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kikir tersebut sebab rasa takut menjadi miskin itu tidaklah hal buruk. Akan tetapi, kekikiran ini dilakukan untuk memperoleh kesenangan, hal ini menjadi buruk. (Lihat: Abu Bakar Ar-Razi, Thib Ar-Ruhani, Tahqiq. Abdul Lathif Al-Abd,  [Maktabah An-Nahdhliyah Al-Mishriyah,1978] halaman 74-79).

Dari semua hal ini dapat kita ambil sebuah poin. Dalam bertindak, seseorang harus memiliki alasan dan pembenaran dengan bimbingan akalnya, bila perbuatannya dibenarkan oleh akal maka itu merupakan suatu kebaikan. Namun, bila bertentangan maka perbuatannya merupakan suatu kejahatan.

Jika kita pandang lebih cermat, filsafat moral Ar-Razi sangatlah bijak. Ia tidak mendasarkan penilaian etis pada pertimbangan-pertimbangan menurut kesenangan pribadi manusia dalam pengertian menenangkan dan memenuhi keinginan jiwa atau emosi jiwa antaraxia melainkan penilaiannya di dasari oleh akal.

Kesenangan Jiwa

Kesenangan jiwa sendiri menurut Ar-Razi adalah tidak lain dari kembalinya apa yang tersingkir oleh kemudharatan. Misalnya, seseorang yang berada di tempat teduh pergi ke tempat yang panas terkena sinar matahari akan senang ketika ia kembali ke tempat yang teduh.

Seseorang akan senang bilamana ia memperoleh sesuatu yang mempenuhi hasratnya. Namun, bila ada sesuatu yang menghalangi dan merusak sesuatu yang ia inginkan maka jiwanya pun akan tersakiti. Hal ini disebabkan jiwa manusia yang dikuasai nafsu akan terus condong pada kesenangan tanpa memikirkan dampaknya.

Menurut pandangan Ar-Razi kebahagiaan bisa dirasakan  seseorang ketika terjadi keseimbangan  nafsu syahwat, emosi, dan rasional. Keseimbangan ini baru bisa tercapai ketika akal mampu melaksanakan perannya sebagai pengatur nafsu manusia yang mengajak kepada kemudharatan.

Baca Juga  Bagaimana Immanuel Kant Memandang Perdamaian?

Akal merupakan syarat yang paling fundamental bagi jiwa untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan. Bila akal seseorang itu rusak dan miskin akan pengetahuan dan hikmah, sudah dipastikan mustahil bagi jiwa untuk menggapai kesempurnaan.

Hawa nafsu yang tidak terkendali oleh akal selalu mengajak kepada kemudaratan dan kesenangan yang terkadang menipu. Seperti orang yang suka manisnya gula berlebihan sehingga secara tidak sadar ia membahayakan kesehatannya sendiri.

Takut Mati

Pada bab terakhir dalam kitab At-Thib Ar-Ruhani, ia menulis tema yang sesuai dalam pemikiran filsafat Hellenitis dan pertengahan abad awal, yaitu tentang takut mati. Di mana dalam tema ini Ar-Razi menyarankan orang agar tidak takut terhadap kematian.

Kematian adalah hal yang biasa terjadi dan pasti akan menimpa setiap manusia. Bagi orang yang beragama, kematian adalah proses berpisahnya antara ruh dan jasad. Ruh akan tetap hidup menempuh kehidupan selanjutnya, sedangkan jasad akan hancur ditelan bumi.

Hal ini berbanding terbalik bagi yang tidak menyakini adanya kehidupan setelah kematian. Orang tersebut menganggap bahwa ruh itu hancur bersamaan dengan jasad, jadi tidak ada kehidupan setelahnya. Jika kematian adalah hal yang wajar dalam kehidupan, terus apa yang ditakutkan?

Di sini, Ar-Razi berpendapat bagi orang yang tidak meyakini bahwa setelah mati tidak ada kehidupan lain agar tidak takut kepada kematian. Karena, bila tubuh hancur, maka roh akan hancur. Setelah mati, ia tidak akan merasa penderitaan apa-apa lagi.

Sebaliknya, orang yang berakal menghindari rasa takut kematian karena ada kehidupan setelahnya, ia tentu akan gembira, karena melalui kematian ia akan pergi ke kehidupan yang lebih baik daripada di dunia ini. Sebab, rasa takut mati akan menyebabkan perasaan berat kita untuk meninggalkan hal-hal duniawi.

Baca Juga  Kritik Antroposentrisme: Alam (Bukan) untuk Manusia Saja

Rasa berat untuk meninggalkan kehidupan ini mesti disebabkan oleh rasa cinta yang berlebihan terhadap dunia. Dengan kekosongan rohani itulah seseorang akan menjadi rakus. Ia akan terus-menerus menimbun harta dan memuaskan hawa nafsunya tanpa henti selama di dunia.

Editor: Yahya FR

Fajar Hidayatulloh Ahmad
9 posts

About author
Mahasiswa Jurusan Akidah dan Filsafat Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds