Perspektif

GBHN Sudah Tidak Relevan dengan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Saat Ini

3 Mins read

Rencana pemberlakuan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara menjadi topik perbincangan dalam masalah ketatanegaraan saat ini. Sejumlah partai politik termasuk PDIP berkeinginan untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945, terutama dalam pengembalian GBHN, karena dirasa Indonesia saat ini tidak memiliki haluan negara di bidang pembangunan yang terarah.

Anggota MPR Ali Taher menganggap perlu adanya GBHN untuk mengontrol capaian dan anggaran pembangunan sehingga rakyat dapat merasakan hasilnya. Bagi Ali, tanpa adanya GBHN pembangun negara hanya bergantung pada janji kampanye dan visi misi presiden dan wakil presiden.

Sejumlah pakar hukum tidak menyetujui adanya rencana pengembalian Garis-garis Besar Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Karena dengan kembalinya GBHN, maka kewenangan MPR akan kembali seperti masa Orde Baru. MPR akan menjadi lembaga tinggi negara.

Menurut Feri Amsari, keberadaan GBHN tidak ada kaitannya dengan pembangunan yang berkesinambungan. Ia mencontohkan saat GBHN masih berlaku, pembangunan juga tidak berjalan terlalu bagus. Untuk itu, Feri menyarankan agar MPR berfokus menjalankan fungsi pengawasan dan pemantauan pembangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 25, Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Menurut Bivitri, rencana dikembalikannya GBHN sudah tidak relevan dengan sistem pemerintahan pada saat ini, karena sekarang presiden tidak dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat.

Istilah haluan negara digunakan dalam UUD Tahun 1945 (sebelum amandemen) Jimly menyebut haluan negara mencakup pengertian:

  • Haluan negara yang tercantum dalam UUD 1945
  • Haluan negara yang tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR/S
  • Haluan negara dalam pengertian program kerja yang tertuang dalam Ketetapan MPR tentang GBHN
  • Haluan negara yang tertuang dalam UU APBN

Garis-garis Besar Haluan Negara adalah suatu Haluan Negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang pada hakikatnya adalah suatu Pola Umum Pembangunan Nasional yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pola-pola Umum Pembangunan Nasional tersebut merupakan program-program pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu yang berlangsung secara terus menerus.

Baca Juga  Sastra dan Simbolisme Agama: Narasi Dakwah Termutakhir

Rangkaian program yang terus-menerus dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan nasional yang telah tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi, kemerdekaan dan keadilan sosial.

Kehadiran pola pembangunan berupa GBHN tidak terlepas dari peran sentral MPR dalam sistem tatanegara Indonesia. seperti Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (Tap MPRS No I/MPRS/1966) dan serangkaian GBHN yang lahir di masa Orde Baru. Produk hukum tersebut tidak mungkin terlepas dari campur tangan MPR dalam UUD 1954.

Pasca amandemen UUD 194 MPR merupakan salah satu lembaga yang mengalami perubahan berkaitan dengan kedudukan, tugas, dan fungsi. Sebelum amandemen MPR merupakan lembaga negara tertinggi negara dengan tugas menetapkan Undang-undang Dasar, menetapkan Garis Besar Haluan Negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tiga implikasi mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, yaitu MPR tidak lagi menjadi lembaga tinggi negara, MPR tidak memiliki kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat mengatur dan dihilangkannya kewenangan dalam menetapkan GBHN.

Pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sebelum amandemen menyatakan kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dalam Ketetapan MPR. Setelah adanya amandemen kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut UUD.

Perubahan mendasar juga menyangkut keberadaan GBHN. Pada masa Orde Baru, GBHN merupakan pedoman untuk Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika Presiden tidak mengikuti atau melanggar GBHN, maka MPR dapat memberhentikan Presiden.

Sejak era reformasi, eksistensi GBHN tidak ada lagi sebagai konsekuensi perubahan UUD 1945. Sebagai pengganti GBHN maka disahkan UU No. 25 Tahun 2004 yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwasanya penjabaran dari dibentuknya Republik Indonesia terdapat dalam pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) dengan skala waktu 20 tahun, dan kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi, dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP.

Baca Juga  Beragama di Era Post-Truth

Pengembalian Garis-Garis Besar Haluan Negara sudah tidak relevan diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Karena saat ini Indonesia telah memiliki UU No. 25 Tahun 2004 yang mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang di dalamnya tercantum rencana pembangunan jangka panjang tidak hanya jangka menengah.

Penyusunan Undang-undang tersebut tidak lepas dari pembahasan oleh DPR dan partai politik. Dihapuskannya GBHN merupakan implementasi dari sistem pemerintahan RI dalam pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung tidak lagi dipilih dan diberhentikan oleh MPR.

Editor: Arif

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds