Kendati aneka ragam riset diselenggarakan, seminar-seminar dilaksanakan baik di pentas nasional maupun regional, beku dan macetnya kajian keislaman, khususnya dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia masih sangat terasa. Ada semacam “ilusi” di kalangan akademisi islam—bahwa, ketika banyak penelitian dan peneliti, maka dengan itu Islam telah melakukan suatu lonjakan pemikiran yang jauh ke depan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Alih-alih membangun dinamisasi dalam pemikiran Islam, ilusi demikian justru menjadikan Islam berhenti sekadar sebagai objek kajian semata.
Penyebab Macetnya Kajian Keislaman Kita
Di atas kertas, pertumbuhan jumlah akademisi Islam secara kuantitatif memang tidak bisa dielakkan. Tetapi fakta lain menunjukkan, pertumbuhan kuantitatif tersebut tidak sebanding lurus dengan produksi pemikiran Islam yang lebih segar dan bermakna bagi laju gerak pembaharuan Islam. Situasi yang ambigu dan paradoks ini layak menjadi perhatian kita, kita bertanya, mengapa terjadi kemandegan atau macetnya dalam kajian keislaman kita?
Pertama, sebagian intelektual Islam menempatkan Islam sebagai objek kajian semata, alih-alih sebagai instrument pemikiran yang berarti bagi pembaharuan Islam. Akibatnya, kajian keislaman kita berputar pada daur ulang wacana yang membosankan. Intelektual yang satu dengan intelektual yang lain berhenti pada relasi saling mengafirmasi teori dan wacana, bukan pada upaya membangun kritik dan melahirkan ide baru yang lebih segar.
Kedua, patronasi terhadap tokoh besar intelektual Islam. Lahirnya tokoh pembaharu Islam di Indonesia memang patut dibanggakan, tetapi fakta menunjukkan, jubah besar para tokoh intelektual Islam itu lebih banyak dipuja-puja daripada diletakkan sebagai referensi demi melahirkan inspirasi ide baru. Sikap patronasi ketokohan intelektual Islam itu alih-alih menginspirasi ide yang berkemajuan, justru lebih banyak menjadi romantisasi ke belakang.
Ketiga, posisi intelektual Islam saat ini lebih banyak meletakkan Islam sebagai kajian kontemplatif-individual yang jauh dari realitas praktis. Mereka terjebak dalam idealisasi Islam yang turut berdampak pada kian jauhnya Islam sebagai solusi praktis bagi kemaslahatan publik. Situasi tersebut hanya demi memenuhi hasrat intelektual pagi akademisi Islam.
***
Keempat, penting menimbang peran dan posisi universitas Islam dalam rangka mereproduksi pemikiran Islam. Dalam praktinya, perguruan tinggi Islam seringkali terjebak dalam logika institusional-formal, perguruan tinggi kerapkali menempatkan dirinya sekadar sebagai aparatus pengetahuan yang bekerja secara ‘rigid’ dan ‘kaku’, diskursus pemikiran Islam di dalam kampus dalam beberapa situasi kehilangan upaya kontekstualisasi dengan realitas mutakhir. Hal lain yang patut ditelaah adalah konsentrasi universitas yang fokus membangun spesialisasi keilmuan sehingga kehilangan kemampuan membangun wacana generic.
Kelima, peran para intelektual dan akademisi Islam yang acapkali memposisikan diri sekadar sebagai pengajar daripada menjalankan agenda pembaharuan. Padahal seyogyanya mereka terlibat sebagai intelektual organik, yang terlibat dalam upaya perubahan sosial-politik.
Keenam, dalam percakapan di ruang publik, reproduksi wacana sering diperhadapkan pada tuduhan kekanak-kanakan daripada perdebatan yang diskursif dan dewasa. Tak pelak tuduhan “kafir”, “liberal”, “sekuler” menggelinding di ruang publik. Situasi tersebut kontraproduktif bagi terciptanya wacana baru. Ruang digital yang kian terbuka diisi dengan ‘suara sumbang’, tidak saja oleh kalangan awam, namun justru pula dilakukan oleh kalangan akademisi.
Meniti Jalan Pembaruan Islam
Pembaharuan Islam bukan jalan mulus, ia adalah pergumulan secara terus-menerus, konsisten. Upaya tersebut utamanya dimulai dari menyegarkan agenda kajian Islam. Kajian Islam saat sekarang ini harus benar-benar diarahkan pada upaya serius untuk melakukan pembahasan. Telaah sistematis untuk melahirkan pemikiran yang baru, terlebih membangun inspirasi segar bagi upaya menyelesaikan problematika yang menggelayuti ummat Islam. Untuk upaya pembaharuan tersebut, kiranya diperlukan beberapa agenda:
Pertama, perubahan orientasi kajian Islam. Islam saat sekarang ini tidak saja perlu dipahami, namun perlu dikembangkan, dirumuskan dalam agenda strategis yang lebih terukur. Upaya ini utamanya perlu dilakukan oleh para akademisi Islam. Tugas intelektualisme Islam tidak saja berpikir mengenai “apa itu pembaharuan”, namun juga memaknai persoalan “bagaimana pembaharuan itu dimungkinkan”.
Kedua, perlu arus utama ide pembaharuan di tengah tumpukan wacana. Gugusan wacana dan harapan pembaharuan Islam yang lahir dari ilmuan Islam mutakhir harus menemukan bentuk utuh dan padu, bukan kepingan-kepingan yang kehilangan arus utamanya.
Ketiga, reformulasi pendidikan Islam. Upaya ini utamanya patut dijalankan oleh universitas-universitas Islam. Perguruan Tinggi Islam harus lebih terbuka terhadap wacana-wacana baru. Ini dimungkinkan bilamana kurikulum, kualitas pengajar dan metode pengajaran di universitas disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sedang berlangsung.
Terakhir, ide dan praktik pembaharuan Islam harus diiringi sikap mental yang dewasa. Bangun sikap optimisme, inner dynamic, keinginan untuk selalu maju ke depan dan tidak berpuas diri dengan apa yang telah ditorehkan umat Islam, apalagi keinginan untuk berbalik ke belakang, hidup dalam romantisasi masa lampau. Ide yang segar, langkah yang terukur yang dibarengi sikap mental yang dewasa niscaya adalah ciri utama bagi pembaharuan pemikiran Islam yang sesungguhnya.
Editor: Soleh