Falsafah

Genealogi Sekuler Menurut Talal Asad

4 Mins read

Oleh : Muhammad Rofiq*

 

Talal Asad mengamati bahwa teori-teori sekulerisasi selama ini umumnya berbicara tentang tiga hal, yaitu: fenomena kemunduran agama, privatisasi agama dari ruang publik, dan pemisahan agama dari bidang politik dan ekonomi. Sedikit sekali yang mendiskusikan tema yang lebih fondasional terkait topik ini, yaitu apa dan bagaimana sekuler itu sendiri. Menurut Asad, kajian tentang sekulerisme dan sekulerisasi harus dimulai dari melakukan pelacakan genealogis tentang konsep sekuler terlebih dahulu.

Di tengah para pengkaji sekulerisme, konsep sekuler umumnya didefinisikan sebagai ruang emansipasi dari kontrol agama. Agama dipersepsikan sebagai entitas yang lebih dahulu datang, kemudian digantikan oleh entitas selanjutnya yang bernama sekuler. Ketika posisi agama digantikan oleh sekular, agama akan mengalami gulung tikar. Dengan kata lain, ketika sekular datang, maka terjadi keterputusan (break) dari agama. Menurut pandangan umum ini, sekuler adalah inversi dari agama.

Asad memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, sekuler sebagai perilaku, pengetahuan, dan cara berfikir bukanlah opposite (lawan) dari agama. Ia menolak oposisi biner antara agama dan sekuler sebagaimana selama ini dipahami dan ditulis oleh para sarjana Barat.

Menurut penelusuran Asad terhadap genealogi konsep sekuler, kategorisasi eksklusif dan oposisi biner antara agama dan sekuler adalah murni konstruksi modern Barat. Kategori yang berlawanan tersebut absen (tidak ada) dalam dunia pra-modern. Perspektif terhadap sekuler sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama adalah cara pandang yang dipaksakan oleh pemikir Eropa paska zaman pencerahan (the Enlightenment) setelah mereka bertemu dengan bangsa non-Eropa. Pada saat terjadi perjumpaan dengan “yang lain”, para pemikir tersebut mengidentifikasi diri mereka dan peradaban mereka sebagai bangsa yang maju, modern, sekuler dan telah melewati fase agama. Sementara bangsa lain dianggap masih berada pada fase agama yang pra-modern.

Baca Juga  Menemukan Kebahagiaan Hakiki ala Socrates

Sebelum bangsa Barat sendiri memasuki fase modern, menurut Asad, sekuler dan agama memang sudah dianggap dua hal yang berbeda, tetapi keduanya selalu terikat dan tidak bisa dipisahkan. Keduanya selalu bergantung antara satu dengan yang lainnya (religion and the secular are closely linked). Bahkan dalam pikiran manusia modern sekalipun, yang sekular dan yang agama tidak pernah benar-benar terpisah. Oleh karena itu, siapapun yang ingin memahami salah satu dari dua konsep tersebut, kata Asad, harus juga memahami konsep yang lainnya.

Di sisi lain, Asad juga menegaskan bahwa sekuler dan agama tidak bisa didefinisikan secara ketat. Mana domain sekuler dan mana domain agama tidak pernah pasti. Keduanya tidak punya esensi yang bersifat tetap (the “religious” and the “secular” are not essentially fixed categories). Asad berasumsi sebaliknya, bahwa sebenarnya tidak ada sesuatu yang secara esensial dan universal bersifat sekuler maupun agamis. Semuanya berubah tergantung dengan sistem budaya. Menurut Asad, pemikir Barat telah keliru ketika mereka merekonstruksi kriteria sekuler dan agamis kemudian menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat universal. Pada kenyatannya, konstruksi tersebut hanyalah proyeksi pengalaman dan perspektif Barat modern sendiri ke bangsa lain yang non-Barat.

Asad menunjukkan contoh konkrit bagaimana sesuatu yang dianggap murni sebagai sesuatu yang murni relijius. Dan sesuatu yang murni sekuler oleh peradaban Barat modern sebenarnya memiliki close affinity (pertalian yang dekat) satu sama lainnya. Asad melakukan pelacakan terhadap akar historis dikotomi antara sacred (yang suci) dan profane (yang biasa, tidak suci).

Menurut penelusuran Asad, pada masyarakat pra modern, dikotomi sacred dan profane yang menurut Emile Durkheim adalah sesuatu yang selalu ada pikiran setiap pemeluk agama, tidak pernah ada. Dalam pikiran masyarakat pra-modern, oposisi yang ada adalah antara yang divine (ilahiah) dan satanic (syaitaniyyah). Kategori profan memang sudah ada tetapi tidak beroposisi dengan kategori sakral. Anggapan keduanya sebagai beroposisi seperti klaim Durkheim adalah murni konstruksi modern.

Baca Juga  Ketika Al-Ghazali Dilanda Kebimbangan

Asad selanjutnya melacak perkembangan konsep sacred dari Oxford English Dictionary versi klasik. Ia menemukan bahwa awalnya sacred didefinisikan sebagai obyek, tempat, dan waktu yang diberikan perlakuan berbeda (veneration) oleh manusia. Definisi ini kemudian bergeser menjadi sifat atau kualitas yang ada dalam sebuah objek, bukan objek itu sendiri. Jadi, sifat suci dari benda tersebut dianggap terpisah (eksternal) dari bendanya. Menurut Asad, pemisahan objek dengan kategori sifat yang melekat di dalamnya adalah ciri khas cara berfikir Barat modern. Inilah awal mula lahirnya konsep sekular modern.

Selain konsep sacred, untuk menjelaskan genealogi dan perkembangan konsep sekuler, Asad juga meneliti konsep rasa sakit di fisik (bodily pain) di peradaban Barat. Menurutnya, awalnya rasa sakit dianggap sebagai sesuatu yang normal, bahkan diinginkan dalam beragama oleh pemeluk Kristen Eropa. Kata Asad, hal ini menunjukkan bahwa pada masyarakat pra modern, antara yang sekuler dan yang agama, walaupun keduanya dianggap berbeda, selalu tidak bisa dipisahkan. Namun kemudian, setelah bangsa Eropa mengalami reformasi Protestan dan mengalami modernisasi, rasa sakit itu dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dan eksternal dari agama. Agama dianggap hanya urusan inwardness (hati), tidak ada hubungannya dengan fisik atau bahkan rasa sakit di fisik.

Pembedaan yang ketat dan terpisah antara kategori sekuler (duniawi) dan agama (ukhrawi) tersebut juga tidak ada dalam agama lainnya selain Protestan. Contoh yang digunakan Asad adalah mengenai rasa sakit di fisik dalam Islam. Dalam Islam, kata Asad, sampai saat ini rasa sakit dalam fisik yang timbul saat seorang mukmin melakukan ibadah masih dianggap sesuatu yang mulia. Dalam Islam, misalnya, rasa sakit di perut yang dirasakan pada saat seseorang berpuasa karena menahan lapar, dianggap sesuatu yang normal, terpuji. Bahkan menjadi salah satu syarat yang harus dilalui bagi seorang muslim untuk mencapai derajat kesalehan. Demikian pula dengan rasa sakit di fisik saat melaksanakan ibadah haji.

Baca Juga  Hikmah dan Filosofi Seekor Nyamuk

Contoh dari Asad ini sebenarnya bisa kita lanjutkan untuk membuktikan bahwa oposisi dan dikotomi antara yang sekuler dan yang relijius adalah produk Barat modern yang tidak ada dalam agama lainnya. Dalam Islam semua tindakan dianggap ibadah. Bekerja dan belajar, misalnya, adalah ibadah. Ibadah tidak harus dilakuan dalam bentuk ritual. Ini berbeda dengan pandangan dunia Barat modern yang melihat bekerja atau belajar sebagai aktivitas duniawi (sekuler). Sementara tindakan atau perbuatan yang termasuk kategori ibadah adalah datang ke gereja untuk menyembah Tuhan.

Selain yang sakral dan profan, dan rasa sakit, untuk menjelaskan tentang genealogi konsep sekuler Barat modern, Asad juga menjelaskan tentang genealogi dikotomi publik-privat, nalar-mitos, rasional-takhayyul, serta agama-politik. Singkatnya, menurut Asad, pada periode pra modern tidak ada pemisahan dan dikotomi seperti itu. Pemisahan dengan oposisi biner seperti itu baru ada setelah kelahiran reformasi gereja di abad ke enam belas. Di zaman modern pun, menurut Asad, di luar tradisi Protestan, kumpulan entitas tersebut tidak dipahami secara benar-benar independen atau terpisah.

* Alumni PCIM Mesir dan anggota PCIM Amerika Serikat

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds