Opini

Generasi Penanam vs Generasi Penebang

3 Mins read

Dalam sejarah kekuasaan Islam klasik, ada satu kisah sederhana yang hingga hari ini tetap relevan, bahkan terasa semakin mendesak untuk meneguhkan kembali theologi lingkungan ditengah amarah bencana.

Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan, seorang negarawan besar Dinasti Umayyah, suatu hari melihat seorang kakek tua renta menanam bibit pohon. Tubuhnya ringkih, langkahnya tertatih, tetapi tangannya tetap menggenggam bibit tanaman dan menyayunkan cangkul dengan kesungguhan.

Khalifah bertanya dengan nada heran, “Wahai kakek, mengapa engkau menanam pohon, padahal usiamu telah lanjut dan engkau tidak akan sempat menikmati buahnya?”. Jawaban sang kakek sederhana, namun sarat teologi kehidupan yang menghunjam: “Kami dahulu memakan dari apa yang ditanam oleh orang-orang sebelum kami. Maka kami menanam agar orang-orang setelah kami dapat memakannya.”

Jawaban itu bukan sekadar ungkapan kebijaksanaan personal. Ia adalah teologi amal lintas generasi. Sebuah pandangan hidup yang hari ini terasa kontras dengan perilaku manusia modern yang gemar menghabiskan, bukan mewariskan.

Hari ini, alam seolah berbicara dengan bahasa yang keras. Banjir bandang, longsor, kekeringan ekstrem, kebakaran hutan, dan krisis air terjadi berulang kali.

Data BNPB menunjukkan bahwa sebagian besar bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, yang berkaitan langsung dengan kerusakan lingkungan, deforestasi, dan tata kelola alam yang buruk.

Dalam perspektif teologis Islam, ini bukan sekadar fenomena alamiah. Al-Qur’an telah mengingatkan secara tegas: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia.” Kerusakan ekologis bukan kutukan Tuhan, melainkan konsekuensi moral dari keserakahan manusia yang melampaui batas. Manusia yang mulai tidak tau diri.

Masalahnya, manusia modern “termasuk umat beragama” sering kehilangan kesadaran bahwa alam bukan milik mutlak, melainkan amanah ilahi. Kita bertindak seolah-olah bumi diwariskan untuk kita habiskan, bukan dipinjam untuk kita jaga.

Baca Juga  Ivan Illich dan Kritik Terhadap Dekolonisasi Institusi

Kakek tua dalam kisah itu mempraktikkan apa yang hari ini disebut sebagai etika lintas generasi. Dalam bahasa teologi Islam, ia sedang mengamalkan prinsip istikhlaf: manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi, bukan penguasa absolut.

Menanam pohon yang buahnya tidak ia nikmati adalah bentuk iman yang matang. Ia percaya bahwa kebaikan tidak harus berbuah pada dirinya. Inilah iman yang melampaui ego, iman yang berpikir dalam horizon waktu panjang, bahkan melampaui usia biologis.

Sebaliknya, krisis lingkungan hari ini lahir dari iman yang dangkal: iman yang sibuk mengamankan keselamatan personal, tetapi abai terhadap masa depan kolektif. Kita rajin berdoa memohon keselamatan dari bencana, tetapi enggan menghentikan perilaku yang melahirkan bencana itu sendiri.

Ironisnya, krisis ini terjadi di tengah umat Islam yang memiliki ajaran ekologis sangat kuat. Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa menanam pohon adalah sedekah yang pahalanya terus mengalir, bahkan ketika kiamat hampir tiba.

Dalam fikih, merusak lingkungan termasuk bentuk fasād fī al-arḍ yang dikecam keras.

Namun, mengapa ajaran luhur ini sering terputus dari realitas sosial?

Masjid berdiri megah, tetapi sungai di sekitarnya tercemar. Kegiatan keagamaan marak, tetapi hutan terus menyusut. Agama sering berhenti sebagai simbol dan ritual, belum sepenuhnya menjelma menjadi etos ekologis kolektif.

Padahal, dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah, menjaga lingkungan adalah bagian dari menjaga kehidupan (ḥifẓ al-nafs) dan keberlanjutan generasi (ḥifẓ al-nasl). Merusak alam berarti merusak masa depan manusia, sebuah dosa struktural yang dampaknya lintas zaman.

Teologi lingkungan tidak cukup berhenti pada kesalehan individu. Ia harus menjelma menjadi kesalehan struktural. Negara memegang peran sentral dalam memastikan bahwa pembangunan tidak melampaui daya dukung alam.

Baca Juga  Jalan Rohani Menuju Tuhan adalah Inti Kebudayaan Islam

Ketika kebijakan memberi karpet merah pada eksploitasi sumber daya alam tanpa kontrol ketat, sesungguhnya negara sedang mewariskan beban ekologis kepada generasi mendatang. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan persoalan etika publik.

Dalam bahasa iman, kita sedang menyusun dosa lintas generasi. Kerusakan yang akibatnya akan ditanggung oleh mereka yang bahkan belum lahir.

Kesadaran ala kakek tua itu harus menjadi karakter masyarakat. Kita perlu membangun kembali spiritualitas yang bersahabat dengan alam: hidup secukupnya, menahan diri dari eksploitasi berlebihan, dan memandang alam sebagai sesama makhluk Tuhan.

Di sinilah peran penting komunitas keagamaan, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil. Muhammadiyah, misalnya, dengan etos amal jangka panjang-nya, sekolah, rumah sakit, dan pelayanan sosial, sejatinya telah mempraktikkan teologi menanam untuk masa depan. Spirit ini sangat relevan untuk diperluas ke mitigasi bencana dan pelestarian lingkungan.

Kita patut prihatin melihat banyak saudara sebangsa kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan nyawa akibat bencana. Namun iman tidak mengajarkan keputusasaan. Harapan selalu tumbuh dari kesadaran.

Di berbagai tempat, muncul gerakan restorasi sungai, penanaman mangrove, dan komunitas relawan bencana yang bekerja tanpa pamrih. Mereka adalah generasi yang memilih menanam, bukan menghabiskan.

Kisah kakek tua di hadapan Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan mengingatkan kita bahwa iman sejati tidak hanya menyelamatkan diri, tetapi juga menyiapkan masa depan orang lain. Peradaban besar lahir dari generasi yang rela menanam, meski tahu mereka tidak akan menikmati hasilnya.

Kini, di tengah amarah alam, pertanyaannya kembali kepada kita, Apakah iman kita cukup kuat untuk menanam bagi generasi yang mungkin tak akan pernah kita jumpai?

Dan lebih jauh lagi patut kita renungkan, pohon apa yang sedang kita tanam hari ini, agar anak cucu kelak masih bisa menikmati anugerah Tuhan? Atau lebih jauh penting kita pertegas posisi kita, apakah menjadi generasi penanam atau penebang?

Baca Juga  Dunia Islam Perlu Belajar Demokrasi dari Indonesia

Editor: Ikrima

Avatar
46 posts

About author
Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Articles
Related posts
Opini

Haul ke-16 Gus Dur: Jalan Sunyi "Muhammadiyah Cabang Tebuireng"

3 Mins read
Hiruk-pikuk peringatan Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara seremonial telah usai. Tenda-tenda di Pesantren Tebuireng yang ramai pada pertengahan Desember…
Opini

Riset: Bukan Generasi Stoberi, Gen Z adalah Agen Perubahan

6 Mins read
Menjelang tahun 2026, IDN Research Institute mengeluarkan hasil penelitian bertajuk Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026. Dalam laporan tersebut, generasi Milenial…
Opini

Merawat Warisan Cinta: Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul dan Aktualisasi Keteladanan Waliyullah

5 Mins read
Setiap kali bulan Rajab tiba, arah rindu jutaan manusia seakan memiliki satu tujuan yang sama: Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. Pada puncak haul…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *