Tulisan sederhana ini saya suguhkan, berangkat dari keresahan saya tentang fenomena “generasi toxic“. Ada rasa cemas ketika saya menyadari bahwa generasi muda saat ini, yang seharusnya menjadi harapan masa depan, terperangkap dalam pola pikir dan perilaku yang merugikan. Baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi lingkungan sosial di sekitar mereka. Mungkin inilah yang menjadi dasar keresahan penulis untuk menulis tentang fenomena ini. Yakni dengan melihat banyaknya individu yang merasa terisolasi meskipun mereka terhubung dengan dunia luar melalui media sosial.
Fenomena “generasi toxic” memunculkan berbagai pertanyaan yang mengganggu hati saya pribadi, seperti: Apa yang telah terjadi dengan kemampuan anak muda untuk membangun hubungan sosial yang bermakna? Apakah interaksi sosial yang sehat dan penuh empati kini hanya menjadi kenangan? Apa dampak jangka panjang dari polarisasi yang semakin tajam akibat kecenderungan untuk menilai, mengecam, dan menghindari perbedaan pendapat?
Tulisan ini bukan hanya sekadar sebuah pengamatan, melainkan sebuah bentuk keresahan terhadap kebingungan. Karena hak itu banyak dirasakan oleh orang-orang yang merasa kesulitan untuk berinteraksi atau bertumbuh dalam dunia yang semakin terfragmentasi.
Generasi yang Dibiarkan
Salah satu keresahan besar yang muncul adalah ketakutan bahwa kita, sebagai bagian dari generasi yang lebih tua, gagal. Yakni memberikan panduan yang tepat kepada generasi muda untuk mengelola teknologi dan interaksi sosial mereka dengan lebih sehat. Ada rasa kekhawatiran bahwa dunia yang semakin individualistik . Hal ini membuat banyak orang terjebak dalam rutinitas online yang hanya memperburuk masalah sosial yang ada, alih-alih memperbaikinya.
Kita menjadi bertanya-tanya apakah kita telah cukup membantu mereka untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada popularitas di media sosial. Tetapi dalam kedalaman hubungan yang penuh empati dan saling mendukung.
Refleksi Generasi Toxic
Dalam konteks ini, saya menulis tentang generasi toxic ini bukan hanya sebuah refleksi ilmiah, melainkan juga peringatan—bahwa kita, sebagai masyarakat, harus lebih waspada terhadap ancaman yang semakin nyata. Ancaman yang tidak hanya datang dari luar, tetapi dari dalam diri kita sendiri: pola pikir yang cepat menghakimi. Kecenderungan untuk menghindari tantangan, dan ketidakmampuan untuk menghargai keberagaman opini. Keresahan ini memunculkan urgensi bagi kita untuk segera bertindak dan mencari solusi yang lebih mendalam dan nyata.
Di era digital yang serba cepat ini, istilah “generasi toxic” sering kali muncul dalam diskusi sosial dan budaya. Istilah ini merujuk pada perilaku atau pola pikir yang cenderung merusak, tidak hanya bagi individu itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungan sosialnya. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada perilaku negatif yang terlihat di media sosial. Tetapi juga mencakup pola pikir yang menyebar dalam masyarakat. Seperti individualisme ekstrem, ketidakmampuan dalam berempati, atau kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab sosial.
Dalam tulisan ini, saya akan mengkritik generasi toxic dengan menggali dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan. Serta menawarkan pandangan mendalam mengenai bagaimana kita bisa merespons dan mengatasinya.
Perilaku dan Pola Pikir Toxic
Generasi toxic, dalam pandangan saya, adalah generasi yang kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi secara sehat dan membangun hubungan sosial yang saling mendukung. Salah satu ciri khas dari generasi ini adalah kecenderungan untuk lebih fokus pada diri sendiri. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya individu yang lebih mementingkan popularitas pribadi daripada kepentingan kolektif.
Media sosial, yang menjadi platform utama bagi banyak orang untuk mengekspresikan diri, sering kali memicu perasaan iri, kecemburuan, dan kompetisi yang berlebihan. Hal ini menciptakan atmosfer toxic yang dapat mengarah pada polarisasi, konflik, dan bahkan penurunan kesejahteraan mental.
Penelitian Twenge
Menurut penelitian yang saya baca, oleh Twenge (2017), generasi milenial dan Gen Z yang tumbuh dengan media sosial mengalami peningkatan tingkat kecemasan, depresi, dan kesepian. Sebagai contoh, kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain di media sosial dapat mengarah pada penurunan rasa percaya diri dan kesehatan mental yang buruk.
Twenge mengungkapkan bahwa interaksi melalui media sosial yang tidak diimbangi dengan interaksi tatap muka seringkali memperburuk kondisi psikologis seseorang. Karena hilangnya elemen penting dalam hubungan interpersonal yang mendalam, seperti empati dan komunikasi langsung.
Femonema Cancel Culture
Selain itu, pola pikir toxic dapat mengarah pada ketidakmampuan untuk menerima kritik atau perbedaan pendapat. Dalam banyak diskusi di media sosial, terutama yang melibatkan generasi muda, sering kali kita melihat fenomena “cancel culture” yang merujuk pada praktik mengecam atau menghukum individu yang dianggap memiliki pandangan berbeda.
Fenomena ini, meskipun berawal dari niat untuk menegakkan keadilan, sering kali berakhir dengan polarisasi yang lebih dalam dan memperburuk dinamika sosial. Marwick dan Lewis (2017) dalam kajian mereka tentang cancel culture menekankan. Bahwa fenomena ini cenderung menciptakan “lingkaran ekosistem yang memecah” yang mengarah pada semakin terbatasnya ruang untuk diskusi yang sehat dan konstruktif.
Dampak Sosial dan Psikologis
Generasi toxic tidak hanya mengancam kesehatan psikologis individu, tetapi juga mengganggu tatanan sosial secara lebih luas. Individu yang terlalu fokus pada diri sendiri cenderung kurang peduli terhadap kepentingan kolektif dan lebih sulit untuk membangun solidaritas sosial. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan sosial, meningkatkan konflik antarkelompok, dan mengurangi rasa empati yang menjadi dasar dari hubungan sosial yang sehat.
Terakhir saya membaca dalam bukunya Martin E.P. Seligman, “Flourish“ menyatakan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam hubungan sosial yang bermakna dan dalam kontribusi kita terhadap kebaikan bersama. Oleh karena itu, generasi yang terperangkap dalam pola pikir toxic cenderung kesulitan untuk meraih kebahagiaan yang berkelanjutan. Karena mereka kurang mampu untuk terhubung dengan orang lain secara otentik. Selain itu, adanya ketidakmampuan untuk menghadapi tantangan secara konstruktif—sering kali terlihat dalam perilaku yang defensif atau menghindar—dapat menghalangi perkembangan pribadi dan profesional.
Menanggapi Generasi Toxic: Membangun Kesehatan Mental dan Sosial
Untuk merespons fenomena generasi toxic ini, perlu ada upaya kolektif yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan kebijakan publik. Pertama, pendidikan karakter yang menekankan pentingnya empati, keterbukaan, dan keterampilan sosial harus lebih diperkuat, baik di sekolah maupun dalam lingkungan keluarga. Menurut Lickona (1991) dalam bukunya “Educating for Character“, pendidikan karakter dapat membangun fondasi moral yang kuat dalam diri individu. Sehingga mereka dapat berperilaku lebih baik dalam konteks sosial dan menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.
Kedua, penting untuk mendorong pemanfaatan media sosial secara bijak. Penggunaan media sosial seharusnya tidak hanya menjadi sarana untuk mencari validasi diri, tetapi juga sebagai platform untuk berbagi pengetahuan, pengalaman positif, dan mendukung gerakan sosial yang konstruktif. Pendidikan media harus diperkenalkan lebih awal untuk membantu generasi muda memahami risiko dan manfaat dari penggunaan media sosial.
Pandangan Islam: Menjaga Kesehatan Mental dan Emosional
Islam sangat memperhatikan pentingnya kesehatan mental dan emosional. Bahkan Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga keseimbangan dalam hidup, baik dalam hubungan sosial maupun dalam hubungan dengan Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya ada tubuhmu yang berhak atasmu, ada matamu yang berhak atasmu, ada istrimu yang berhak atasmu, dan ada dirimu yang berhak atasmu.” (HR. Muslim)
Hadist tersebut menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup, di mana menjaga kesehatan mental dan emosional merupakan bagian dari tanggung jawab kita terhadap diri sendiri. Pola pikir atau sikap yang toxic. Seperti rasa iri, kebencian, atau ketidakmampuan untuk memaafkan, dapat merusak kedamaian batin dan hubungan sosial, yang bertentangan dengan ajaran Islam tentang kebersihan hati.
Terakhir penulis ingin tekanakan bahwa fenomena generasi toxic bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Perilaku dan pola pikir yang berkembang di kalangan generasi muda saat ini berpotensi merusak hubungan sosial, kesejahteraan psikologis. Bahkan, stabilitas sosial secara lebih luas. Namun, dengan pendidikan yang tepat, kesadaran sosial yang meningkat, dan pendekatan bijak terhadap penggunaan teknologi. Kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah arah tersebut dan menciptakan generasi yang lebih sehat secara mental dan sosial.
Oleh karena itu, tugas kita bersama untuk menjaga agar generasi mendatang tidak terjebak dalam pola pikir yang merusak, tetapi mampu tumbuh menjadi individu yang empatik, bertanggung jawab, dan berdaya guna bagi masyarakat.
Editor: Assalimi