Wanita dan Laki-laki jangan hanya dilihat dari segi fisiknya saja (seks), namun juga dapat dilihat dari potensi-potensi yang terkandung di dalam diri keduanya. Wanita juga memiliki perbandingan antara sikap feminin dan maskulin (jika lebih dominan maskulin, maka disebut tomboy), dan jika laki-laki yang lebih dominan adalah sikap feminin, maka ia disebut lemah gemulai.
Maka dari sini, dapat dilihat bahwa gender merupakan potensi yang dikembangkan dari kedua komponen tadi, tinggal dialektika manusia yang mengendalikannya. Jadi tidak heran jika di kemudian hari pada masa modernitas ini, wanita sudah mulai berani menunjukkan dirinya (mulai maskulin). Setelah sekian lama terkukung oleh zaman tradisional yang memarjinalkan peran wanita sebatas di dapur, ranjang, dan pasar.
Di Indonesia sendiri, gerakan penyetaraan wanita dimulai Raden Ajeng Kartini (R.A. Kartini) mulai berani melakukan gerakan emansipasi dengan mendirikan sekolah bagi kaum perempuan. Memilih pasangan hidup sendiri, yang pada masa itu, mereka benar-benar menjadi manusia kelas dua. Di mana ketika itu, mereka hanya mengurusi dapur, melayani suami (ranjang), yang tentu mengunci peran mereka untuk berkembang dan menunjukkan potensinya.
Mereka banyak yang terkungkung oleh dogma-dogma agama (terutama agama Islam) dan tradisi-tradisi masyarakat adat. Seperti di masyarakat Jawa, wanita tidak boleh ikut campur urusan suami ketika ada tamu datang kerumah, disuruh untuk di dapur saja.
Wanita juga dilarang untuk mengenyam pendidikan yang layak karena wanita dianggap tidak mampu menggunakan akalnya dan dianggap lebih menggunakan perasaanya untuk menilai segala sesuatu dalam berbagai permasalahan yang sedang dihadapi.
Dogma-dogma agama dan tradisi adat tadi berasal dari penggolongan oleh seorang orientalis, yaitu Clifford Geertz yang mengklasifikasikan masyarakat Islam di Hindia Belanda pada waktu itu menjadi 2 golongan, yakni Kaum Santri (yang mengedepankan hukum Islam) dan Kaum Abangan (yang mengedepankan hukum Adat).
***
Oleh karena itu, Gerakan R.A. Kartini ini mulai mempengaruhi berbagai gerakan wanita pada masa awal pergerakan di Indonesia waktu itu (awal abad 21), sebagaimana Aisyiyah yang menjadi underbow dari persyarikatan Muhammadiyah yang berperan sebagai organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan wanita yang dipelopori Nyai Ahmad Dahlan. Selanjutnya ada Muslimat NU, dan berbagai gerakan wanita yang lahir. Baik dari latar belakang agama, profesi, keilmuan, dan lain-lain.
Berbagai gerakan yang lahir ini, kemudian mengalami berbagai rintangan, karena perbedaan dalam menyikapi berbagai persoalan mengenai wanita. Terutama ketika sudah masuk kedalam kehidupan rumah tangga, seperti pro-kontra Poligami, pernikahan di bawah umur, pro-kontra wanita boleh berkarier di luar rumah, dan lain-lain.
Seperti ketika pada tahun 1937, ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan RUU Perkawinan yang dikenal sebagai “Proyek Ordonansi untuk Peraturan Legislasi Matrimonial Penduduk Muslim”. Yang mana, salah satu poin penting dalam RUU tersebut bahwa sang Istri dapat secara otomatis memperoleh surat perceraian jika sang suami menikahi wanita lain (poligami). RUU tersebut memancing berbagai polemik, dan akhirnya ditarik.
Memasuki era Kemerdekaan, polemik masalah kerumahtanggan juga menjadi salah satu isu yang viral. Seperti Presiden Ir.Soekarno (Bung Karno) yang memiliki Istri lebih dari satu, bahkan lebih dari 4 (menurut agama Islam yang dianut beliau). Bahkan ada yang berasal dari luar negeri, yaitu Naoko Nemoto yang kemudian dikenal sebagai Ratna Sari Dewi (Dewi Soekarno). Meski pada waktu itu peran wanita mulai diakui dengan dibuktikan di antara rentang tahun 1950-an sampai 1960-an dengan diangkatnya wanita sebagai hakim pada wilayah Pengadilan Agama.
***
Memasuki era Orde Baru (Orba), yakni ketika masa kekuasaan Presiden Soeharto, gerakan wanita juga mulai mengusulkan untuk dibentuk RUU perkawinan yang menyempurnakan UU sebelumnya pada masa ORLA (UU No.22 tahun 1946). RUU perkawinan mulai dibahas di perlemen, yang ketika waktu itu ada 4 fraksi di DPR, yakni fraksi PDI (mewakili golongan Nasionalis), fraksi Golkar (mewakili golongan PNS), fraksi PPP (mewakili golongan Islam), dan fraksi ABRI (mewakili golongan Militer). Pembahaasan terjadi begitu rumit.
Seperti aturan perkawinan yang harus dicatat dan perceraian yang harus dilakukan di pengadilan, yang pada waktu itu, memancing reaksi dari berbagai golongan, terutama golongan Islam. Mereka beranggapan bahwa itu bertentangan dengan syariat Islam. Namun singkat cerita, RUU tersebut disahkan menjadi UU No.1 Tahun 1974. Lalu diikuti oleh PP No.9 tahun 1975 sebagai aturan pelaksana.
Memasuki era Reformasi (21 Mei 1998-sekarang), gerakan wanita juga semakin gencar menunjukkan dirinya. Seperti diajukannya CLD (Counter Legal Drafting) untuk mengkritisi KHI (Kompilasi Hukum Islam) oleh Prof. Siti Musdah Mulia, salah satu Dosen UIN Jakarta, seperti kesetaraan wanita dalam menerima waris yang harus sama bagiannya dengan laki-laki.
Yang kemudian tentu memantik berbagai kontroversi. Kemudian diajukannya judicilal review ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Machica Mochtar (Istri alm.Moerdiono, Mensesneg era Pak Harto) atas pasal 2 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan harus dicatatkan, padahal mereka sudah memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa pernikahan dilakukan berdasarkan agama.
Yang Machica permasalahkan adalah, apakah pernikahan mereka yang memenuhi pasal 2 ayat (1) dianggap valid meski tidak memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2)? Pengadilan sebelumnya telah menyatakan perkawinan itu tidak sah. Karena Moerdiono pada waktu itu sudah beristri dan belum memiliki izin pengadilan untuk menikah lagi.
***
Sampai kabar terbaru, yakni diundangkannya UU No.16 tahun 2019 sebagai perubahan atas UU No.1 tahun 1974, yang menurut saya menaikkan derajat wanita. Karena usia perkawinan bagi perempuan yang sebelumnya 16 tahun, dinaikkan menjadi 19 tahun. Salah satu faktor penyebabnya adalah keharusan bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Usia 16 tahun, dianggap belumlah usia yang matang dan ideal bagi wanita untuk berumah tangga. Sehingga ditetapkanlah usia 19 tahun bagi wanita sebagai salah satu syarat untuk melakukan perkawinan.
Oleh karenanya, kaum wanita dari masa pergerakan nasional Indonesia hingga saat ini memiliki konsen untuk menaikkan derajat wanita untuk lebih berperan lebih luas lagi. Tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, namun juga dapat berkarier di masyarakat, berkontribusi bagi nusa, bangsa, dan agama.
Sehingga emansipasi wanita dapat terwujud di bumi nusantara yang memang menghargai wanita dan juga perbedaan sosio-kultural yang beragam, mulai etnis, suku, dan agama. Sehingga dapat merangkai keharmonisan Indonesia di tengah terjangan badai kehancuran di berbagai bidang kehidupan manusia. Termasuk derajat wanita-wanita di negara-negara lain yang kurang begitu dihargai.