Oleh: Rheza Firmansyah*
Pemilu serentak lalu menyisakan banyak cerita dengan berbagai macam dinamikanya. Mulai dari korban yang berjatuhan hingga pada demonstrasi yang berakhir ricuh. Akan tetapi terlepas dari persoalan itu semua ada persoalan lain, yakni tentang politik uang yang masih marak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Menarik untuk mencermati gerakan ranting Muhammadiyah melawan politik uang.
Seorang pengamat perkembangan politik Indonesia, Olle Tornguist meramalkan akan datangnya hantu (kaum jahat) demokrasi. Dalam bentuk ini demokrasi hanya terjadi secara formal, dan minus substansi.
Rakyat tidak pernah secara nyata menjadi pemegang penuh kedaulatan negara yang bersifat strategis dan hanya dikuasai oleh segelintir elit dan oligarki yang berkuasa. Akibatnya partisipasi rakyat terhadap demokrasi yang berjalan di Indonesia cenderung rendah.
Bukan hanya itu saja, minusnya kualitas pejabat publik juga berbanding lurus dengan maraknya money politics yang mengarah pada munculnya transaksi material. Hasil penelitian Firman Noor (2014) menunjukkan bahwa saat ini masyarakat cenderung tidak mengaitkan kemampuan seorang politisi yang memberikan hasil dengan kelayakan untuk dipilih.
Dalam pandangan masyarakat, saat ini yang terpenting para politisi dapat memberi sesuatu (entah barang ataupun uang) tidak peduli apa partainya dan apa benderanya.
Demokrasi Delegasi, Bukan Representasi
Lain halnya dengan Firman Noor, Eep Saefulloh Fatah mengatakan Indonesia saat ini terancam hanya bisa membangun model demokrasi pencari rente. Karena praktik berdemokrasi saat ini baru menghasilkan kepentingan elitis yang memperjuangkan kepentingan kelompok elit dan oligarkhi saja (Eep Saefulloh Fatah: 2014).
Implikasinya adalah kebijakan yang dihasilkan kerapkali berseberangan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya. Menghasilkan parpol yang mengambang dan minim akan gagasan. Kemudian berlanjut pada representasi membangun lembaga perwakilan rakyat yang terpisah dengan rakyat.
Dari lembaga perwakilan berlanjut pada pembentukan pemerintahan yang cenderung tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tidak ketinggalan, lembaga peradilan yang tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat. Pada akhirnya kondisi demokrasi kita hari ini mengarah pada model demokrasi delegasi (delegative democracy) bukan demokrasi perwakilan (representative democracy).
Dalam pemaknaan representative democracy, para politisi mendegar suara rakyat dan bekerja untuk memenuhi kepentingan rakyatnya. Sedangkan, dalam pemaknaan delegative democracy rakyat diibaratkan sebagai suara anjing yang menggonggong. ementara para politisi adalah kafilah yang terus berjalan.
Dalam rangka mewujudkan democracy representative tidak ada jalain lain kecuali memaksa para kontestan untuk merealisasikan janji- janji politik pada saat kampanye. Pemilu dapat dikatakan sebagai kontak sosial, satu pihak menjamin hak dan satu pihak lain menuntut terlaksananya suatu kewajiban.
Hak untuk memilih adalah berdaulat menentukan pilihan yang dioperasikan melalui kebebasan menentukan pilihannya. Baik memilih siapapun atau tidak memilih siapapun, dan merahasiakannya.
Selain itu adanya kewajiban adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih/konstituen. Lebih dari itu para peserta pemilu yang berhasil menduduki kursi jabatan berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan janjinya ketika pemilu.
Ranting Muhammadiyah Melawan Politik Uang
Sepertinya nyaris tanpa harapan jika kita berbicara tentang persoalan politik di negeri ini. Namun ada hal menarik yang tentunya membuat kita sama-sama optimis, yakni tentang gerakan Desa Anti Politik Uang yang diinisiasi oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Murtigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Gerakan anti-politik uang ini dimulai saat musyawarah ranting pada tahun 2016 lalu menjelang pemilihan Lurah Desa Murtigading. Kala itu, pembahasan musyawarah selain pada penentuan pimpinan ranting juga mengerucut pada pembahasan mengenai potensi politik uang yang terjadi pada pemilihan lurah desa tersebut.
Akhirnya musyawarah tersebut membentuk tim 11 yang terdiri dari unsur pemuda bersama dengan sesepuh pimpinan ranting yang turut tergabung ke dalam tim 11 tersebut. Dari gerakan tersebut ternyata memang terbukti menekan bahkan menghilangkan politik uang dalam pemilihan Lurah Desa Sanden.
Gerakan ini pun berlanjut pada pemilihan perangkat desa sebagai pengawas pemilihan di lingkungan desa. Memberikan dampak signifikan terhadap iklim perpolitikan di Desa Murtigading tersebut. Gerakan ini tidak berhenti pada pemilihan lurah dan perangkat desa saja. Bahkan, gerakan ini turut melakukan pemantauan dan pengawasan tahapan Pemilu 2019 lalu.
Guna memperkuat gerakan anti politik uang pada Pemilu 2019 lalu tim 11 tersebut menggandeng sejumlah pihak. Di antaranya UMY, Bawaslu Kabupaten Bantul, hingga Bawaslu DIY dalam upaya pencegahan terhadap politik uang.
Mencari Demokrasi yang Ideal
Tehadap gerakan antik politik uang yang diinisiasi oleh PRM Desa Murtigading, secara ppribadi penulis sangat mengapresiasi. Terlebih lagi tidak banyak PRM yang mau terjun untuk mengurusi politik dan terlibat secara aktif terhadap pendidikan politik.
Melihat realita kualitas demokrasi kita ini harus senantiasa menumbuhkan optimisme dalam diri. Demokrasi ini adalah bagian warisan dari budaya luhur pada pendiri bangsa (founding father), maka sudah seharusnya kita merawatnya. Ibarat kata kita saat ini sedang mencari sebuah harta karun yaitu demokrasi yang ideal.
Di mana dalam pencarian harta karun tersebut kita terus menggali tanah. Tanah galian itulah yang dapat menjadikan tanah menjadi gembur dan subur. Tanah yang gembur dan subur menjadi makna dari demokratisasi yang senantiasa kita wujudkan bersama baik sadar maupun tidak sadar.
Bangsa ini sedang mencari sebuah demokrasi ideal yang itu sulit untuk ditemukan. Sebagaimana dikatakan oleh Dhaniel Dhakidae bahwa, semua yang kita kerjakan selama ini adalah untuk mencari sesuatu yang tidak dapat ditemukan yaitu demokrasi.
Akan tetapi, siapa tahu tindakan mencari itulah–membangun partai, memilih, mendidik para pemilih, membedakan mana politisi bagus dan mana politisi busuk menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Sembari menyuburkan ladang demokrasi tersebut.
*) Tim Asistensi Bawaslu DIY & Anggota Bidang Hukum, HAM PWPM DIY