Riset

Gerhana Bulan 5 Juli 2020, Perlukah Shalat Gerhana?

7 Mins read

Informasi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebutkan bahwa pada tanggal 5 Juli 2020 akan terjadi Gerhana Bulan. Warta tentang hal itu juga terdapat dalam buku Ephemeris Hisab Rukyat 2020 yang diterbitkan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI.

Gerhana Bulan jenis apakah yang terjadi pada hari Ahad tanggal 5 Juli 2020? Perlukah ummat Islam melakukan shalat gerhana pada hari dan tanggal itu?

Pengertian Gerhana

Gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi ketika sebuah benda langit menutupi benda langit lainnya (Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, 2018). Adapun menurut Susiknan Azhari (2008), gerhana ialah peristiwa yang terjadi akibat terhalangnya cahaya dari sebuah sumber oleh benda lain. 

Terkait ibadah mahdlah dalam ajaran agama Islam, terdapat dua jenis gerhana yakni Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari. Gerhana Bulan terjadi manakala sebagian atau seluruh penampang bulan tertutup oleh bayangan bumi, sedangkan Gerhana Matahari terjadi manakala sebagian atau seluruh cahaya matahari yang seharusnya sampai ke Bumi terhalang oleh Bulan.

Terjadinya Gerhana Bulan dan Matahari dikarenakan oleh revolusi bulan terhadap Bumi maupun revolusi bumi terhadap Matahari (Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, 2018). Revolusi keduanya pada waktu tertentu berakibat pada terhalangnya cahaya matahari oleh Bulan. Pada waktu tertentu pula, kedua revolusi tersebut berakibat pada tidak adanya cahaya bulan yang sampai ke Bumi.

Proses Terjadinya Gerhana Bulan Menurut Astronomi

Gerhana Bulan terjadi manakala Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada suatu garis lurus (Rinto Anugraha, 2012). Sebagaimana telah kita pahami bahwa Bulan tidak memancarkan cahaya dari dirinya sendiri. Bulan hanya memantulkan cahaya yang diterima dari Matahari.

Manakala Bumi terletak di antara Bulan dan Matahari, maka tidak ada cahaya matahari yang diterima oleh Bulan. Karena tidak ada cahaya yang mengenai dirinya, maka pantulan cahaya dari Bulan akan tidak ada pula. Peristiwa inilah yang dikenal dalam dunia Astronomi sebagai Gerhana Bulan. Ilustrasinya diperlihatkan oleh gambar 1.

Rinto Anugraha (2012) memberikan penjelasan bahwa Gerhana Bulan terjadi saat fase Bulan Purnama, namun tidak setiap Bulan Purnama akan terjadi Gerhana Bulan. Hal ini dikarenakan bidang orbit bulan mengitari Bumi tidak sejajar dengan bidang orbit bumi mengitari Matahari (bidang ekliptika), tetapi miring dengan sudut kemiringan sebesar 5 derajat. Seandainya bidang orbit bulan mengelilingi Matahari tepat pada bidang ekliptika, maka setiap Bulan Purnama akan terjadi Gerhana Bulan.

Menurut Syamsul Anwar (2011), saat Gerhana Bulan terjadi, Bulan dalam perjalanannya mengelilingi Bumi tidak selalu melintasi bayang-bayang pekat bumi (umbra), melainkan bisa saja hanya lewat di sampingnya atau melintasi area bayang-bayang semu bumi (penumbra). Pada kondisi ini, Gerhana Bulan yang terjadi bukanlah Gerhana Bulan umbra melainkan hanyalah Gerhana Bulan Penumbra.

Gerhana Bulan Penumbra 5 Juli 2020

Berdasarkan informasi dari LAPAN bahwa pada tanggal 5 Juli 2020 akan terjadi Gerhana Bulan Penumbra. Namun, LAPAN mengatakan jika fenomena ini tidak bisa dilihat di Indonesia karena Bulan sudah berada di bawah ufuk. Gerhana Bulan Penumbra tanggal 5 Juli 2020 terjadi mulai pukul 10:17:23 WIB hingga 12:52:21 WIB dengan puncak gerhana pada pukul 11:29:51 WIB.

Baca Juga  Hikmah dari Gerhana Bulan

Jika kita membuka buku Ephemeris Hisab Rukyat 2020 yang diterbitkan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, kita peroleh informasi bahwa Gerhana Bulan pada 5 Juli 2020  adalah Gerhana Bulan Penumbra. Gerhana Bulan tersebut tidak teramati dari wilayah Indonesia karena jalur gerhana melewati: Amerika, Eropa bagian barat daya dan Afrika. Kontak Penumbra 1 (P1) mulai pukul 10:07:23 WIB, maksimum Gerhana           pada pukul 11:30:00 WIB, dan kontak penumbra 4 (P4) terjadi pada pukul 12:52:23 WIB

Gerhana dalam Al-Qur’an

Wawasan gerhana dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an. Beberapa surat dalam Al-Qur’an yang memuat wawasan gerhana ialah al-Qashash (28): 81-82, al-‘Ankabut (29): 40, Saba’ (34): 09, al-Mulk (67): 16, al-Qiyamah (75): 7-9, al-Syu’ara (26): 187, al-Thur (52): 44, dan al-Rum (30): 48 (Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, 2018).

Dari dallil-dalil naqli di atas, gerhana dalam Al-Qur’an diungkapkan dengan 2 kata, yakni khusuf dan kusuf. Ungkapan fenomena gerhana dengan istilah khusuf terdapat dalam al-Qashash (28): 81-82, al-‘Ankabut (29): 40, Saba’ (34): 09, al-Mulk (67): 16, al-Qiyamah (75): 7-9. Adapun ungkapan fenomena gerhana dengan istilah kusuf tertulis dalam al-Syu’ara (26): 187, al-Thur (52): 44, dan al-Rum (30): 48 (Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar Butar-butar, 2018).

Khusuf merupakan ism al-mashdar kedua dari kata kerja khasafa-yakhsifu yang berarti lenyap, hilang, tenggelam (Mahmud Yunus, 1973). Menurut Ahmad Warson Munawwir (1997), kata khusuf adalah ism al-mashdar kedua dari kata kerja khasafa-yakhsifu yang berarti tenggelam. Sementara itu, menurut Abu Khalid, kata kerja khasafa-yakhsifu berarti lenyap dan hilang, serta tenggelam. Dengan demikian, makna dasar dari khusuf adalah tenggelam.

Kusuf merupakan ism al-mashdar kedua dari kata kerja kasafa-yaksifu yang berarti menutupi (Mahmud Yunus, 1973). Menurut Ahmad Warson Munawwir (1997), kata kusuf  adalah ism al-mashdar kedua dari kata kerja kasafa-yaksifu yang berarti menutupi, menyembunyikan, dan menjadikan gelap. Adapun menurut Abu Khalid, kata kerja kasafa-yaksifu mempunyai arti menutup. Dengan demikian, makna dasar dari kusuf adalah menutupi.

Gerhana dalam Hadis

Banyak riwayat hadis tentang gerhana. Keseluruhannya, dilatarbelakangi oleh wafatnya Ibrahim putra Rasulullah Muhammad SAW. Berikut salah satu hadisnya (Syamsul Anwar, 2011) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.

“Dari al-Mughirah Ibn Syu’bah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi Gerhana Matahari di masa Rasulullah SAW pada hari meinggalnya Ibrahim. Beberapa orang berkata: Gerhana itu terjadi karena kematian Ibrahim. Maka Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Matahari dan Bulan tidak gerhana karena mati dan hidupnya seseorang, Jika kamu mengalami (gerhana itu), kejakanlah shalat dan berdoalah kepada Allah”

Hadis di atas beserta hadis-hadis lainnya memberikan informasi kepada kita bahwa gerhana adalah fenomena alam. Sebagaimana telah diyakini oleh umat Islam bahwa semua fenomena alam adalah tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian, gerhana merupakan fenomena sains sebagai tanda kebesaran-Nya.

Dari hadis di atas, kita memperoleh wawasan, bahwa jika kita mengalami gerhana, maka kita disunahkan untuk mengerjakan shalat sunah gerhana. Selain itu, kita dianjurkan pula untuk banyak berdoa.

Baca Juga  Pimpinan Muhammadiyah Cabang Digital, Mungkinkah?

Haruskah Kita Shalat Gerhana Bulan Penumbra?

Berdasarkan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang dimuat pada majalah Suara Muhammadiyah dan website www.fatwatarjih.or.id, manakala terjadi Gerhana Bulan Penumbra, kita tidak perlu melakukan shalat gerhana. Detail fatwa tersebut sebagai berikut.

Dalil naqli pelaksanaan shalat gerhana adalah hadis Aisyah (majalah Suara Muhammadiyah dan website www.fatwatarjih.or.id). Detail hadisnya sebagai berikut.

Dari ‘A’isyah, istri Nabi SAW, (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah terjadi Gerhana Matahari pada masa hidup Nabi SAW, lalu beliau keluar ke masjid dan jamaah berdiri bersaf-saf di belakang beliau. Rasulullah SAW bertakbir lalu beliau membaca qiraat yang panjang, kemudian beliau bertakbir dan rukuk dengan dengan rukuk yang lama. Lalu beliau mengucapkan sami‘allāhu liman ḥamidah dan berdiri lurus, kemudian tidak sujud, melainkan membaca qiraat yang panjang, tetapi lebih pendek dari qiraat pertama, kemudian beliau rukuk yang lama, tetapi lebih singkat dari rukuk pertama. Kemudian beliau membaca sami‘allāhu liman ḥamidah, rabbanā wa lakal-ḥamd. Kemudian beliau sujud.

Kemudian pada rakaat kedua (terakhir) beliau mengucapkan ucapan seperti pada rakaat pertama, sehingga terpenuhi empat rukuk dan empat sujud. Kemudian sebelum beliau selesai, Matahari lepas dari gerhana. Kemudian beliau berdiri dan mengucapkan tahmid untuk memuji Allah sesuai dengan yang menjadi kepatutan bagi-Nya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya Matahari dan Bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati dan hidupnya seseorang. Jika kamu melihat keduanya, segeralah mengerjakan shalat.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh HR al-Bukhārī, an-Nasā’ī, dan Aḥmad di atas, shalat gerhana dilakukan manakala kita melihat Gerhana Matahari atau Bulan. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memahami kata “melihat” dalam hadis di atas tidak melihat secara fisik, namun melihat dalam arti mengalami.

***

Bagaimana sebuah wilayah dikatakan mengalami gerhana? Menurut ilmu Astronomi, bahwa suatu kawasan dikatakan mengalami gerhana manakala kawasan tersebut tertimpa bayangan gelap (umbra) atau bayangan semu (penumbra) dalam kasus Gerhana Matahari, atau tertimpa bayangan gelap (umbra) Bulan dalam kasus Gerhana Bulan.

Dengan demikian, walaupun seseorang tidak melihat gerhana itu secara fisik karena saat itu hujan lebat misalnya atau keadaan langit berawan tebal yang menghalangi terlihatnya gerhana, saat itu tetap disunatkan shalat gerhana karena ia sedang mengalaminya. Meskipun ia tidak melihatnya secara fisik lantaran tertutup awan tebal.

Bagaimana untuk kasus Gerhana Bulan Penumbra? apakah juga disunahkan untuk melakukan shalat gerhana?

Sebagaimana telah disampaikan dalam fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bahwa untuk menentukan perlu tidaknya shalat gerhana penumbra, perlu dikaji makna kata “khusuf” dan “kusuf” yang digunakan untuk menyebut gerhana dalam hadis.

Kata khusūf secara keseluruhan mengandung makna terbenam, hilang, berkurang, membolongi, menyobek. Firman Allah fa khasafnā bihi al-arḍa (Q. 28: 81) berarti, “Maka Kami (Allah) benamkan dia (Karun) dan rumahnya ke dalam bumi. Berikut beberapa contok konteks kalimatnya.

Kalimat khasafa al-makānu berarti ‘tempat itu hilang’ (dalam arti tenggelam karena air atau lainnya). Khasafat al-‘ainu berarti mata buta, yakni gelap dan tidak dapat melihat. Khasafa asy-syai’u berarti sesuatu itu berkurang (karena ada bagiannya yang hilang atau terpotong). Khasafa al-badanu berarti badan kurus, artinya berkurang atau hilang sebagian bobotnya. Contoh-contoh makna relasional tersebut jika dikaitkan dengan Gerhana Bulan adalah bahwa Bulan terbenam dalam bayang-bayang gelap bumi sehingga hilang dan tidak kelihatan.

Baca Juga  Perintah Shalat Sudah Ada Sebelum Peristiwa Isra’ Mi’raj!

***

Khasafa al-‘aina berarti mencongkel mata, sehingga wajahnya tampak bolong atau ompong karena biji matanya tidak ada. Khasafa al-bi’ra berarti menggali batu untuk memperdalam sumur. Artinya membolongi batu dalam sumur guna menambah kedalaman. Khasafa asy-syai’a berarti membolongi sesuatu, atau memotongnya. Contoh-contoh makna relasional tersebut jika dikaitkan dengan Gerhana Bulan adalah bahwa sebagian piringan bulan tampak ompong atau terpotong dan tidak utuh karena sebagian bola bulan masuk dalam bayang-bayang gelap (umbra) Bumi.

Dengan demikian, khusūf dalam konteks Bulan adalah piringan Bulan hilang terbenam dalam umbra atau hilang sebagian sehingga tampak piringannya seperti terpotong dan tidak utuh karena sebagiannya masuk dalam umbra bumi.

Adapun kata kusūf berarti menutupi, memotong, atau suram, muram atau berubah warna muka. Kasafa asy-syai’a berarti gaṭṭāhu artinya menutupi sesuatu. Kasafa aṡ-ṡauba berarti memotong kain. Kasafa al-wajhu berarti wajah muram, warna muka berubah masam, suram. Jadi inti makna kusūf adalah tertutup, atau terpotong. Dalam kaitan dengan gerhana berarti Matahari atau Bulan tertutup atau piringannya tampak terpotong yang berakibat sinarnya berubah menjadi redup.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gerhana dalam konteks khusūf atau kusūf adalah piringan Matahari atau Bulan terbenam dan hilang atau terpotong/ompong dan tampak tidak utuh. Dalam kasus Gerhana Matahari, hal itu terjadi karena Bumi melewati umbra, antumbra, atau penumbra. Dalam kasus Gerhana Bulan, hilangnya piringan Bulan atau tampak terpotong atau ompong dan tidak utuh karena bola Bulan masuk dalam umbra.

Apabila Bumi tidak masuk ke dalam umbra, tetapi hanya masuk dalam penumbra, piringan Bulan akan tetap tampak utuh (bulat) dan tidak ada bagiannya yang tampak terpotong. Hanya saja cahaya Bulan itu sedikit redup, namun sulit dibedakan dengan tidak gerhana.

Tidak Disunahkan Melakukan Shalat Gerhana Bulan Penumbra

Bertitik tolak dari analisis semantik terhadap kata khusūf dan kusūf di atas, maka Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan apabila terjadi gerhana di mana piringan dua benda langit tampak berkurang atau tidak utuh atau hilang seluruhnya.

Perlu dicatat bahwa shalat gerhana itu dilaksanakan baik kita melihat secara fisik atau tidak lantaran ada awan tebal misalnya. Artinya shalat gerhana dilaksanakan karena kawasan kita mengalami gerhana, walaupun kita tidak dapat melihatnya dengan mata telanjang karena adanya awan pekat yang menutupinya.

Dalam kasus Gerhana Bulan Penumbra, piringan Bulan tampak utuh dan bulat, tidak tampak terpotong, hanya cahaya Bulan sedikit redup dan terkadang orang tidak bisa membedakannya dengan kondisi tidak gerhana. Oleh karenanya, dalam kasus Gerhana Bulan Penumbra, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tidak menganjurkan melakukan shalat gerhana.

Editor: Yahya FR

Avatar
33 posts

About author
Staf Pengajar UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Sains dan Teknologi. Santri Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Tahun 1991-1997.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *