Perspektif

Guru Inovatif Pencetak Generasi Kreatif

3 Mins read

Murid kreatif baik di madrasah maupun sekolah lahir dari sosok guru inovatif, terutama dalam mengembangkan media pembelajaran dan memahami potensi anak didiknya.

Salah satu prinsip pedagogik menerangkan bahwa keberhasilan pembelajaran di kelas tergantung kualitas guru, kualitas guru ada pada hebatnya kepala sekolah, hebatnya kepala sekolah terletak pada kompetensi mumpuni dari para pengawas pendidikan, dan seterusnya hingga vertikal ke atas. Ini menunjukkan bahwa masing-masing pengambil kebijakan mempunyai peran penting dalam mencetak generasi kreatif.

Mengapa demikian? Argumentasi logis bisa diarahkan pada peran sentral para stakeholders tersebut. Anak didik merupakan individu yang memerlukan pengarahan dan bimbingan guru dari setiap materi dan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan. Begitu juga dengan posisi kepala sekolah dan pengawas pendidikan yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pendidikan.

Untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang terintegrasi dengan kemajuan zaman, stakeholders pendidikan tersebut harus mempunyai kreativitas untuk mengolah pembelajaran. Karena pembelajaran yang kreatif akan memunculkan generasi yang kreatif pula, terutama dalam menghadapi perkembangan zaman yang terus menerus berbuah kemajuan.

Berpikir kreatif perlu ditumbuhkembangkan pada diri siswa oleh guru sehingga menciptakan generasi dengan kreativitas tinggi. Namun demikian, pada tataran peserta didik, mengembangkan kreativitas dalam ranah kecakapan hidup lebih krusial sehingga mereka lebih siap ketika menghadapi jenjang yang lebih fokus dalam menempuh pendidikan berikutnya.

H.A.R Tilaar dalam Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional (2012) menjelaskan berpikir kreatif sangat perlu dikembangkan pada kemampuan siswa agar tumbuh generasi yang memiliki jiwa entrepreneursip tinggi. Jadi para entrepreneursip tidak hadir dari ruang kosong, tetapi ditumbuhkan melalui pembiasaan berpikir kritis, kreatif, juga berpikir kompleks.

Baca Juga  Visi Pesantren Muhammadiyah, Apa Bedanya dengan yang Lain?

Bagaimana caranya? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini juga memerlukan para pendidik kreatif yang mampu mengolah materi ajar menjadi energi pendorong kreativitas berpikir siswa melalui berbagai metode pembelajaran.

Embrio kreativitas hadir ketika keingintahuan secara epistemologis selalu bersemayam dalam diri pendidik atau guru. Tahap berpikir ini merupakan dasar berpikir kritis dari seorang guru. Guru yang berpikir kritis tidak menerima apa adanya yang telah diteliti maupun yang disampaikan oleh para pakar.

Dari proses tersebut, bisa dipahami bahwa seorang pendidik yang kritis akan mempertanyakan ketentuan-ketentuan yang telah dianggap baku dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Sikap baku ini tidak akan menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Di titik inilah kreativitas lahir dari tahap berpikir kritis atas segala sesuatu yang dianggap baku.

Tidak terpungkiri bahwa manusia abad ke-21 adalah manusia yang terbuka (inklusif), tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan sebelumnya yang serba baku. Dia harus memiliki epistemologi baru yang tidak menerima begitu saja secara positivistik hal-hal yang dihadapinya. Di sini terlihat manusia berpikir secara positivistik yang melawan arus. Sikap kritis inilah yang menjadikan manusia mampu berpikir kreatif sehingga proses ini bisa dikatakan menjadi landasan kreativitas dan entrepreneurship.

Pengembangan kreativitas dan entrepreneurship harus menjadi tujuan pendidikan bagi seorang guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, dan seluruh masyarakat. Utamanya dalam proses pembelajaran di sekolah, materi ajar dan kurikulum harus diarahkan kepada tumbuh kembang kreativitas siswa. Proses manisfestasi kreativitas memang tidak mudah bahkan proses internalisasinya bisa lama jika tidak mampu mempraktikannya secara bermakna (meaningfull).

Karena meaningfull ini menjadi kriteria utama dalam mengembangkan kreativitas. Sejatinya guru membiarkan siswa mengeksplorasi kompetensinya. Tetapi secara makna, guru membiarkan kincir-kincir kreativitas yang ada dalam otak anak didik bisa tumbuh berkembang dengan baik. Jadi, bisa dikatakan bahwa berpikir kreatif yang akan menghasilkan manusia-manusia entrepreneurship yaitu proses berpikir pada hal-hal substantif. Muara dari semua tahapan berpikir yang telah dijelaskan di atas yaitu inovasi.

Baca Juga  Kebijakan Nadiem dan Peluang Sekolah Muhammadiyah

Saat ini, madrasah tidak hanya mengembangkan kecakapan budi pekerti melalui nilai-nilai ajaran agama, tetapi juga sudah meningkatkan kapasitas dan kreativitas anak didiknya di bidang sains dan teknologi. Murid madrasah ramai-ramai mengembangkan teknologi robotik yang setiap tahunnya dikompetisikan oleh Kementerian Agama. Begitu juga dengan Kompetisi Sains Madrasah (KSM) berhasil telah mengubah pandangan masyarakat bahwa selama ini madrasah dianggap hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran agama.

Meskipun sains, teknologi, dan ilmu-ilmu umum saat ini mendapat tempat di madrasah dalam mengembangkan kreativitas anak didik, madrasah tetap menginternalisasi nilai-nilai agama ke dalamnya. Demikianlah yang disebut dengan integrasi keilmuan berbasis kognitif (pengetahuan) dan afektif (budi pekerti).

Sebab, di antara hal penting dalam setiap penyampaian materi pelajaran yaitu usaha untuk menyisipkan nilai-nilai agama dan moral di dalam ilmu umum. Belakangan, langkah ini disebut dengan pendidikan karakter. Tetapi sebelum pendidikan karakter ramai dibincangkan, metode insersi lebih dulu muncul.

Tayar Yusuf dalam Keragaman Teknik Evalusi dan Metode Penerapan Jiwa Agama (1987) menjelaskan bahwa metode insersi adalah upaya menginternalisasi jiwa agama dalam bentuk nilai-nilai melalui ilmu-ilmu umum. Tulisan singkat ini bermaksud mengurai strategi penanaman (internalisasi) nilai-nilai agama atau jiwa agama melalui ilmu umum.

Metode ini diterapkan agar siswa tidak terlepas dari nilai-nilai spiritual di setiap ilmu yang dipahaminya. Hal ini dapat mewujudkan generasi kokoh, baik dalam sisi moral, sosial, intelektual, dan spiritual.

Tentu kecakapan komplit ini sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia sehingga manusia tersebut juga mampu memanusiakan manusia lain. Tujuan ini menjadi bukti bahwa pendidikan melalui penerapan jiwa agama merupakan investasi sepanjang hayat (life long investment).

Metode insersi ini dapat dilakukan oleh guru sebagai agenda kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Maksud tersembunyi ini yaitu menyisipkan nilai-nilai agama ketika menerangkan materi atau mengadakan evaluasi materi. Hal ini dilakukan agar guru tidak dinilai mencampuradukkan berbagai materi oleh siswa. Selamat mencetak generasi kreatif madrasah.

Baca Juga  Flashcards: Metode Pengajaran Al-Qur'an untuk Tunarungu

Editor: Aziz Luthfi/Yusuf

*) Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru tanggal 25 November bertema “Berinovasi Mendidik Generasi” oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Artikel ini pertama kali terbit di laman NU Online.

Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds