Anda pasti pernah membaca atau mendengar gerutu guru mengaji yang mengaku dibayar lebih murah daripada pelatih anjing atau tutor bahasa Inggris. Jika percaya, saya yakin Anda tidak melihat persoalan honorarium ini secara utuh. Sebelum melanjutkan pembahasan, saya ingin memperkenalkan diri bahwa saya adalah pengajar bahasa Inggris sekaligus tutor mengaji, tapi bukan pelatih anjing.
Karena mengalami baik sebagai pengajar bahasa Inggris dan mengaji (melafalkan huruf Arab Alquran dan ritual agama Islam level dasar) saya tentu tegas menolak klaim guru mengaji dibayar sembarangan. Guru mengaji yang menggerutu tersebut mungkin membandingkan dirinya dengan guru lain yang mengajar bahasa Inggris atau pelatih anjing yang situasinya berbeda dengan dirinya. Di sinilah pentingnya perbandingan itu harus apple to apple, bukan kasemek dengan plum.
Ada banyak variabel yang menentukan besaran upah pengajar, yang antara lain: lokasi, level ekonomi klien, pengalaman dan kompetensi guru/tutor, jenjang pendidikan/usia murid, tinggi/rendah permintaan pasar, beban kerja, kelangkaan tutor/guru, ikut institusi atau mandiri, dan jenis mata pelajaran. Dari sederet variabel ini, mata pelajaran hanya salah satunya. Jadi, mengeluh dibayar rendah hanya gara-gara mengajarkan literasi Alquran dan ritual tidak memiliki basis yang kokoh. Tidaklah elok, seorang pendidik mempopulerkan dikotomi sesat seperti itu.
Saya ingin memberikan sejumlah contoh nyata. Saat ini, saya memiliki murid privat mengaji, seorang ekspatriat asal Eropa, yang tinggal di Pondok Indah. Honor yang saya terima selama satu jam mengajar setara dua kali lipat honor saya mengajar bahasa Inggris selama 100 menit (2 SKS) di fakultas kedokteran dengan 60-100 mahasiswa, dan empat kali lipat honor sebagai tutor bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus terkenal dengan durasi 1,5 jam. Sebelumnya, saya pernah dibayar lebih dari itu saat mengajar seorang bule yang tinggal di Grand Hyatt.
Contoh lain, saya pernah dibayar untuk paket mengajar privat bahasa Inggris plus mengaji. Muridnya adalah remaja laki-laki, anak dari anggota DPR/MPR terkenal, dengan durasi 45 menit bahasa Inggris dan 20 menit mengaji. Istri dari anggota DPR ini memanggil saya karena anaknya hendak lanjut kuliah di AS dan dia juga butuh memperbagus bacaan Qurannya supaya layak jadi imam jika nanti berkeluarga. Klien tidak membeda-bedakan honor saya sebagai pengajar bahasa Inggris maupun mengaji.
Pada situasi lain, saya diundang untuk memberikan training menulis untuk puluhan guru SMAN di Jakarta. Honor yang saya terima selama 2 jam manggung tidak lebih besar dari honor saya bicara dengan kapasitas sebagai “guru mengaji” dalam acara syukuran kehamilan yang cuma 15 menit—saya diminta berbicara singkat tentang bagaimana orang tua menyambut kelahiran anak dan ditutup dengan doa.
Di luar itu, saya kenal dengan “guru mengaji” yang mengaku biasa dibayar Rp5-10 juta untuk bicara di acara walimah pernikahan orang kaya. Kita tahu, ada beberapa guru mengaji populer yang menetapkan tarif tak kurang dari Rp20 juta sekali tampil. Di mana ada guru bahasa Inggris atau anjing yang disewa untuk nyerocos dibayar setinggi itu? Untuk diketahui, standar biaya masukan (SBM) yang dibuat pemerintah tidak membeda-bedakan bidang keahlian. Jadi, gerutu dengan menyerang pihak lain tidaklah perlu.
Bersyukurlah jika Anda guru mengaji karena di profil media sosial bisa mencantumkan kutipan “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang belajar Quran dan mengajarkannya”. Guru bahasa Inggris dan asu tidak memiliki klaim profetik. Kalau perlu, mereka bisa dicap sebagai guru bahasa orang kafir dan pengajar binatang najis. Dengan nada sinis, bahasa Inggris juga kadang disebut bahasa munafik, karena huruf dan lafalnya tak konsisten. Klaim kebenaran transendental dapat menjadi mood booster, enak dan bahkan bisa menjadi candu!
Perhatikan sejumlah variabel penentu besaran honor di atas. Jika klien mengaji Anda adalah rakyat jelata secara intelektual sekaligus ekonomi, tinggal di kampung, di lingkungan kelompok ritualis yang banyak orang bisa menjadi guru mengaji dadakan, Anda tergabung di institusi TPA/masjid, dan mengajar tanpa metode serta kualifikasi khusus, mustahil dibayar dengan harga tinggi. Di lingkungan yang sama, guru asu mungkin malah dilempari batu; guru bahasa Inggris tak bakal digubris. Silakan Anda coba buka kursus bahasa Inggris di masjid, mungkin malah dilarang oleh pengurusnya. Masih enak guru mengaji, dapat tempat mengajar tanpa perlu sewa. Nikmat seperti ini tidaklah patut untuk diingkari.
Guru mengaji juga sering diidentifikasi sebagai orang saleh. Murid saya, 2 tahun lebih muda dari saya, pernah memuji bahwa saya beruntung karena berprofesi sebagai guru/dosen: dapat penghasilan dari mengajarkan pengetahuan/kebaikan. Dia tampak rendah diri dengan profesinya sebagai akuntan di sebuah perusahaan milik asing, padahal dengan gaji tinggi. Saya tegaskan ke dia bahwa profesi (asal halal) itu netral belaka, yang menentukan adalah cara atau sikap kita terhadap profesi yang kita jalani. Saya bicara seperti ini karena tahu ada guru mengaji cabul, yang mahasiswi saya adalah salah satu korbannya. Citra sebagai orang saleh sangat bisa dimonetisasi, cuan. Tak perlu pura-pura tak tahu.
Lingkungan yang ritualis juga sangat menghormati guru mengaji. Masyarakat tak segan untuk menawarkan berbagai dukungan, dari pujian dan semangat hingga bantuan finansial. Akui saja saat Ramadhan atau Idul Fitri, ada banyak amplop atau bingkisan untuk guru mengaji. Teman saya bercerita jika pendapatan menjadi imam selama Ramadhan-Idul Fitri setara tiga bulan gajinya sebagai staf akademik.
Jika Anda guru mengaji dan masih lajang, ada banyak orang tua yang tertarik untuk mengambil mantu. Untuk urusan ini, guru asu pasti lewat; guru bahasa Inggris silakan minggir. Kok kurang syukur? Belum lagi previlise dari pemerintah daerah yang biasa memberikan jatah tiket umroh atau haji. Tak ada orang yang berniat amal dengan memberangkatkan guru asu ke Afrika atau guru bahasa Inggris ke Eropa. Kok tega menggerutui sesama guru?
Istri dan saya memilih homeschooling untuk dua anak kami. Sebagai tambahan pengajaran, kami mengundang tutor yang kami bayar sama tanpa membedakan mata pelajaran, bahkan tutor berpaspor Filipina juga kami bayar sama dengan guru lokal. Di sekolah internasional di Jakarta, guru Filipina bisa dibayar 3-5 kali lebih besar daripada guru lokal di sekolah yang sama. Guru mengaji plus bahasa Arab anak saya bahkan bisa mengindoktrinasi bahwa bahasa paling mulia di dunia adalah bahasa Arab karena selain menjadi Bahasa Kitab Suci, penghuni surga juga akan pakai bahasa yang mulai digunakan sekitar 700 tahun SM ini. Mana mungkin guru asu dan bahasa Inggris punya dogma sedemikian indah sebagai penyemangat untuk diri dan muridnya?
Jika kurang cuan, lebih baik fokus melihat peluang yang ada. Perbandingan dua hal punya perikutan makna merendahkan salah satunya. Misalnya, kita dibanding-bandingkan oleh orang tua dengan sepupu kita. Pasti ada salah satu yang ingin direndahkan, pasti sakit. Oleh sebab itu, membandingkan adalah penyakit dalam hubungan. Mengedepankan apresiasi, apalagi kepada teman seprofesi, akan berdampak lebih baik karena dapat meningkatkan kerjasama, memelihara lingkungan yang positif, dan pada akhirnya memperbaiki kesejahteraan hidup.
Problematika bayaran murah dialami guru secara umum. Jadi, mengangkat isu secara egosentris tidak akan menguntungkan secara sistemik. Saya pernah menginjakkan kaki ke rumah guru bahasa Inggris yang masuk kategori kaya. Pun, saya juga pernah merasakan lega, sejuk dan halusnya marmer rumah guru mengaji kaya pula. Rasanya belum ketemu rumah guru bahasa Inggris seharga Rp80 m, sebagaimana kabar harga rumah seorang guru mengaji yang sering nampang di TV itu.
Editor: Soleh