Konon, Nahdlatul Ulama (NU) sudah terpengaruh oleh Muhammadiyah. Kenapa? Pertama, ketika pembukaan Muktamar NU di Lampung beberapa hari yang lalu, tidak ada pidato dan sambutan yang lucu. Semua serius! Kedua, tidak ada yang merokok di arena Muktamar, mulai dari pra acara sampai selesai pembukaan!
Jokes tersebut ditulis oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang hadir langsung di arena pembukaan Muktamar NU di Lampung, Rabu (22/12/2021).
Sejak dulu, NU dan Muhammadiyah memang bagaikan kakak beradik. Saya tak ingin menyebut siapa yang kakak dan siapa yang adik, karena hal itu bisa jadi sensitif bagi sebagian orang. Yang jelas, NU dan Muhammadiyah bagaikan dua sayap yang menjaga keseimbangan bangsa agar mampu terbang melintasi dinamika zaman.
Dua organisasi tersebut terbukti telah melahirkan ribuan kader-kader hebat. Salah dua kader hebat tersebut adalah kedua Ketua Umum dari kedua organisasi tersebut. Yaitu Yahya Cholil Staquf dan Haedar Nashir
Dalam relasi antar dua entitas, selalu terjadi hubungan saling mempengaruhi. Hubungan yang saling mempengaruhi meniscayakan tiga hal. Pertama, memberi pengaruh. Kedua, mendapatkan pengaruh atau terpengaruhi. Ketiga, imbang, tetap dengan identitas masing-masing.
Dalam hal ini, sebagian kelompok umat Islam menutup diri dan tidak berani keluar, dengan dalih takut terpengaruhi. Perasaan takut inilah yang menyebabkan peradaban Islam menjadi peradaban yang stagnan dan beku. Sebagian umat Islam tadi tidak bersikap kreatif dan merasa cukup dengan dunianya sendiri. Padahal, dunia tersebut sejatinya berada di dalam tempurung.
Selain itu, umat yang menutup diri ini juga tidak aktif terlibat dalam pergulatan dunia global. Mereka menganggap, terlibat aktif dalam pergulatan dunia global berarti meluruhkan identitasnya sebagai seorang muslim.
Di sisi lain, terdapat kelompok-kelompok yang berpikir terbuka. Alih-alih takut terpengaruhi, mereka justru keluar, menyongsong peradaban dunia, dan sebisa mungkin berikhtiar untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang penuh kasih sayang.
Alih-alih terpengaruhi, mereka justru memilih untuk berikhtiar agar dapat mempengaruhi. Di antara orang-orang yang berada di kelompok ini adalah Gus Yahya dan Pak Haedar.
Haedar Nashir bersama Muhammadiyah di Dunia Internasional
Pak Haedar berkiprah di dunia internasional melalui institusi pendidikan Muhammadiyah yang mulai menjajaki dunia global. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah telah menelurkan empat institusi pendidikan di luar negeri, yaitu Universiti Muhammadiyah Malaysia di Malaysia (UMAM), Muhammadiyah Australia College (MAC) di Australia, TK Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) di Kairo, Mesir, dan Sekolah Qur’an Lazismu Indonesia di Lebanon.
Empat institusi pendidikan tersebut membuktikan bahwa Haedar Nashir telah berhasil membawa pendidikan Muhammadiyah yang telah menggurita di tanah air ke dunia global yang lebih luas.
Selama ini, menurut Haedar, sebagian umat Islam khawatir bahwa pendidikan di Indonesia telah dimasuki oleh ideologi transnasional dari luar, khususnya Timur Tengah. Maka, menurut Haedar, alih-alih terpengaruh oleh ideologi luar, Muhammadiyah justru berposisi sebagai eksportir ideologi Islam berkemajuan ke luar negeri.
Haedar Nashir, sebagai seorang ideolog Muhammadiyah, tidak ingin ideologi Islam berkemajuan hanya dinikmati oleh warga Muhammadiyah atau masyarakat Indonesia saja. Ia ingin Islam di seluruh dunia bisa menjadi Islam yang rahmatan lil alamin, moderat, dan penuh rasa welas asih. Hal tersebut dimanifestasikan melalui berbagai institusi pendidikan yang ia bangun.
TK Aisyiyah di Kairo sudah berdiri sejak tahun 2010 oleh PCIM Mesir. Namun, UMAM, MAC, dan Sekolah Quran Lazismu berdiri di masa kepemimpinan Haedar Nashir. Belakangan, Muhammadiyah juga kembali akan membangun sekolah di Lebanon, mengingat banyaknya pengungsi korban agresi militer Israel terhadap Palestina di Lebanon yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan.
Kiprah Gus Yahya di Dunia Internasional
Kiprah Gus Yahya dalam bergulat di dunia internasional, membawa gagasan Islam yang welas asih, tak terbantahkan lagi. Ia sering berkata dengan penuh kerendahan hati, bahwa apa yang ia lakukan itu ‘hanya’ meneruskan perjuangan Gus Dur.
Dalam buku Biografi KH Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan karya Septa Dinata, dijelaskan bahwa kiprah NU di dunia internasional dimulai, atau setidaknya mulai terlihat, di era Gus Dur. Gus Dur yang sejak muda sudah menjelajahi berbagai dunia, memiliki jaringan yang kuat di berbagai tempat. Ia secara rutin menghadiri forum-forum internasional di Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan lain-lain. Bahkan, Gus Dur dikenal dengan sangat baik di komunitas Yahudi.
Ketika kondisi kesehatan Gus Dur semakin menurun, jaringan tersebut diwariskan kepada keponakannya, Gus Mus. Belakangan, Gus Mus juga mewariskan jaringan tersebut kepada Gus Yahya. Gus Yahya terus merawat warisan Gus Dur dan Gus Mus, baik yang berupa jaringan maupun organisasi.
Organisasi internasional yang telah dilahirkan oleh punggawa-punggawa NU tersebut antara lain LibForAll yang berpusat di North Carolina, Center for Quranic Studies, Institute for Islam and Quran Studies (IQS), Bayt Ar-Rahmah, dan Center for Shared Civilizational Values (CSCV).
Gus Yahya turut membidani lahirnya dua organisasi terakhir yang juga berpusat di North Carolina. Sementara tiga organisasi lainnya didirikan oleh pendahulunya, yaitu Gus Dur, Gur Mus, Buya Syafii Maarif, dan tokoh lintas iman dari seluruh dunia.
Pada Bulan Ramadhan tahun 2018, ia secara khusus diundang oleh Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence di Gedung Putih. inti dari pertemuan tersebut adalah percakapan tentang topik-topik permasalahan umat beragama.
Pada Juni 2018, nama Gus Yahya menjadi perbincangan masyarakat Indonesia. Pasalnya, ia berangkat ke Israel menghadiri acara American Jewish Committe (AJC). Menurut Gus Yahya, Gus Dur pernah menghadiri undangan dari AJC.
Waktu itu, Gus Dur menyampaikan pentingnya menjaga perdamaian di dunia dan menghilangkan penjajahan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Gus Yahya.
Forum yang digelar oleh AJC tersebut adalah forum yang sangat penting dan strategis. Hal-hal yang dibicarakan dan diputuskan akan berdampak besar dan luas, khususnya dalam politik Amerika Serikat dan kebijakan-kebijakan Barat di dunia Islam, terutama di Timur Tengah.
Setiap calon presiden di Amerika Serikat biasanya berpidato dalam forum tersebut karena besarnya pengaruh komunitas tersebut secara politik. Melihat pentingnya forum tersebut, Gus Yahya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
Bagi Gus Yahya, persoalan yang ada dan gagasan-gagasan untuk perdamaian Timur Tengah tak mungkin bisa disampaikan jika Indonesia atau komunitas Muslim di Indonesia tidak berhubungan baik dengan para pihak yang berkonflik, termasuk Israel. Gus Yahya ingin menyampaikan gagasan tentang perdamaian secara langsung kepada pihak-pihak yang berkonflik.
Pidato Gus Yahya di AJC juga menjadi perbincangan yang ramai di Israel. Pidatonya tentang gagasan perdamaian mendapat sambutan luas di masyarakat Israel. Karena hal tersebut, ia diundang secara langsung oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Padahal, sebelumnya, ia tidak ada rencana atau janji bertemu dengan Netanyahu.
Tidak hanya Netanyahu, karena ramainya pidato tersebut, Gus Yahya juga diundang oleh Presiden Israel Reuven “Ruvi” Rivlin. Bahkan, Presiden Ruvi tidak mau didahului oleh Perdana Menteri Netanyahu dalam bertemu dengan Gus Yahya.
Gus Yahya dan Pak Haedar: Dua Sayap Moderasi Islam
Jika Gus Yahya mengingatkan pentingnya perdamaian langsung ke jantung komunitas Israel, maka Haedar Nashir mengingatkan betapa pentingnya pendidikan bagi seluruh warga dunia, termasuk anak-anak yang menjadi korban kebengisan Israel di Palestina. Keduanya, Gus Yahya dan Pak Haedar, adalah sosok yang menjadi penjaga gawang moderasi Islam, sekaligus menjadi dua sayap yang menerbangkan ideologi Islam moderat melintasi sekat-sekat batas negara.
Editor: Saleh