IBTimes.ID – Saat ini, salah satu aspek yang dikhawatirkan adalah terjadinya resesi ekonomi di negara-negara maju. Ditambah lagi dengan dampak dari inflasi yang berkepanjangan membuat resesi ekonomi semakin gencar diperbincangkan baik di kalangan umat Islam maupun masyarakat di seluruh dunia. Pertanyaannya, bisa kah kemudian kita hubungkan antara resesi keimanan/keagamaan dengan resesi ekonomi?
Habib Husein Ja’far Al-Hadar Dai Pemuda Tersesat mengatakan, keduanya mungkin punya keterkaitan. Sebab tidak sedikit atau sebagian orang yang berpandangan bahwa menjadi penganut agama atau muslim yang baik artinya menjadi muslim yang miskin. Seolah-seolah jalan menuju surga itu adalah dengan kesabaran saja.
Hal ini disampaikan oleh Habib Husein Ja’far Al-Hadar dalam dialog bersama Gita Wirjawan bertajuk Rethinking Ramadan melalui kanal Youtube @Gwirjawan pada (11/4/23).
“Ini masalah yang sudah terlampau berkepanjangan tentang pola pandangan yang tidak tepat seorang muslim dalam perspektif ekonominya. Padahal jalan menuju surga bisa juga dengan jalan syukur, yang itu terminologi khas orang kaya,” kata Habib Husein.
Habib Husein menyampaikan, seolah-olah kita tidak pernah diceritakan oleh para Nabi dan Al-Qur’an tentang Nabi Sulaiman yang seumur hidupnya menjadi manusia terkaya di muka bumi ini. Ada juga tentang Sayyidah Khadijah istri tercinta Rasulullah yang kaya raya. Begitupun tentang Abdurrahman bin Auf sahabat Nabi yang sangat kaya raya. Seolah-olah cerita itu tenggelam dan hilang begitu saja.
Padahal kata Habib Husein, kaya miskin itu sama-sama bisa menjadi jalan ke surga dengan tantangan sendiri-sendiri. Kaya dengan syukurnya, sedangkan miskin dengan sabarnya.
“Ini bukan persoalan kamu boleh kaya atau tidak, tapi apa yang akan kamu lakukan ketika kaya ataupun ketika kamu tidak kaya. Yang dilihat adalah outputnya,” imbuhnya.
Karena itu, tambah Habib Husein sembari mengutip perkataan dari Nabi Saw, “iri lah kepada orang kaya yang dengan kekayaannya dia bersedekah”. Itu perintah yang sangat ekstrem, sebab kita diperintahkan untuk iri. Karena itulah, iri yang diperbolehkan itu adalah iri kepada orang kaya yang bersedekah dengan kekayaannya.
“Dalam suatu riwayat juga diceritakan, jikalau seorang yang mati dihidupkan kembali kemudian diberikan pilihan untuk melakukan satu amalan, maka ia akan memilih melakukan sedekah. Sebab begitu dahsyat dan luar biasanya amalan sedekah itu,” tuturnya.
Habib Husein juga menyebut, bahwa dalam Islam itu bukan soal kaya atau miskin. Namun umat muslim perlu berupaya untuk kaya, sebab itu adalah salah satu tantangan manusia di dalam ekonomi. Hasilnya, tinggal bagaimana memperlakukan kekayaan yang dimiliki. Yang prinsipnya adalah zuhud dalam spiritualitas Islam.
“Salah satu sufi terbesar dalam sejarah Islam, Syaikhul Akbar Ibbin Al-Khabi itu bercerita tentang gurunya yang kaya tapi kekayaannya nggak pernah mempengaruhi spiritualitasnya. Tetap dia rendah hati. Tetap sederhana di tengah kekayaan. Di sisi yang lain, beliau juga menceritakan tentang seorang lain yang miskin tapi tidak zuhud, karena hati dan pikirannya selalu terpaut kepada kekayaan, begitu enaknya jadi orang kaya,” lanjutnya.
“Nah, banyak orang miskin dunia tapi juga miskin di akhirat, karena selalu kepikiran kepada orang kaya. Dan ingat bahwa Nabi Saw katakan; “Kefakiran itu bisa jadi jalan kepada kekafiran”, karena miskin dia kepikiran gimana caranya main judi dll,” ungkap Habib Husein.
“Jadi resesi di bidang agama; pola pandang seolah-olah muslim harus miskin, orang beragama harus menderita, yang akhirnya menyebabkan terjadinya resesi ekonomi. Akhirnya umat tidak menjadi kekuatan ekonomi bagi dirinya sendiri, umat manusia, dan bangsanya,” tandasnya.
Reporter: Soleh