IBTimes.ID – Dalam agenda Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diselenggarakan pada tanggal 16-18 April 2021, dalam pidato kuncinya, Haedar Nashir menerangkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern, reformis, dan tajdid. Lalu, Haedar Nashir memaparkan pendapat beberapa tokoh dan peneliti tentang persyarikatan Muhammadiyah.
Pendapat Para Ahli dan Tokoh tentang Muhammadiyah
Pertama, Mukti Ali (1958): Di antara cirinya ialah “Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern”. Alfian menyebut Kyai Dahlan sebagai pembawa gerakan “The Religious Reformist”, “The Social Change”, dan “The Political Force”. Deliar Noer menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam, yang tampil lebih moderat ketimbang Persatuan Islam. Soekarno memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Progresif, meski dia mengkritik Muhammadiyah saat itu masih menggunakan hijab dalam shala, di Ende masih konservatif.
Kedua, Charles Kurzman (2003): Kyai Dahlan dan Muhammadiyah sebagai “Islam liberal” yang “menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas”, berbeda dengan Islam revivalis yang sekadar kembali pada periode Islam generasi awal dan menolak praktik-praktik adat dalam keagamaan.
Ketiga, William Shepard (2004): Muhammadiyah termasuk ”Islamic-Modernism”, yang lebih terfokus bergerak membangun “Islamic society” (masyarakat Islam) daripada perhatian terhadap “Islamic state” (negara Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar di berbagai partai politik.
Setelah memaparkan pendapat para tokoh dan peneliti, kemudian Haedar memaparkan juga kritik yang diberikan oleh Nakamura kepada Muhammadiyah.
“Seiring dengan perkembangan zaman, ketika pemahaman keagamaan Islam semakin beragam di Indonesia dan dunia. Muhammadiyah kurang dinamis dan progresif. Muhammadiyah perlu mencari identitas dengan memformulasikan lagi sesuai semangat zaman. “Muhammadiyah perlu merevitalisasi gerakan,” kata Haedar mengutip statement Nakamura.
Haedar Nashir: Muhammadiyah Bukan Gerakan Revivalisme dan Fundamentalisme Islam
Haedar Nashi menegaskan bahwa, Muhammadiyah itu sama sekali berbeda dengan gerakan revivalisme Islam, yang diartikan kebangkitan kembali Islam.
“Revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni” ungkap Haedar.
Kemudian ia memberikan contoh gerakan revivalis Islam seperti Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman Dan Fodio (1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803- 1837) di Sumatra, dan Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad Ali al-Sanusi (1787-1859).
“Muhammadiyah menerima modernisme dengan tetap bersikap kritis dan menjadi akternatif, Muhammadiyah menjadi gerakan modern” tegas Haedar.
Haedar Nashir juga secara gamblang menyebut bahwa Muhammadiyah bukan gerakan fundamentalisme Islam atau gerakan yang ingin kembali ke hal prinsip sebagai respons atas modernsie dan sekularisme.
“Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur‟an dan al-Sunnah) dan bersikap ekslusif terhadap golongan lain. Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional dan intelektual, mereka penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis” terang Haedar.
“Tajdid Muhammadiyah bersifat purifikasi dan dinamisasi, tersistem dalam tajdid jama’i (kolektif kelembagaan), serta berorientasi pada kemajuan. Islam Berkemajuan dan Gerakan Pencerahan menjadi karakter tajdid Muhammadiyah” imbuhnya.
Reporter & Editor: Yahya FR