IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menjadi gambaran bagaimana proses seorang Haedar Nashir sebagai seorang sosiolog mengalami transformasi menjadi seorang begawan moderasi.
“Saya coba melacak perjalanan itu. Sebab ini menarik, ada seorang tokoh begawan moderasi yang punya background sebagai seorang sosiolog,” kata Muhammad Najib Azca Dosen Senior FISIPOL UGM dalam acara Diskusi dan Bedah Buku “Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir” yang diselenggarakan oleh IBTimes.ID bekerja sama dengan Departemen Sosiologi dan Social Research Centre Universitas Gadjah Mada pada Selasa (23/4).
Najib Azca menyebut, Haedar Nashir memiliki karakter khusus sebagai seorang begawan moderasi, yaitu karakter dia sebagai sosiolog. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga fase perjalanan seorang Haedar Nashir dalam menapaki jalan moderasi dari seorang sosiolog. Pertama, Haedar Nashir mulai menapaki jalan moderasi dengan mengkaji dinamika di internal Muhammadiyah.
“Mas Haedar untuk S2 itu menulis mengenai perilaku elit politik Muhammadiyah di Pekajangan. Apa yang terjadi di sana dan bagaimana transformasinya. Jadi saya ingin mengatakan bahwa beliau menapak jalan moderasinya dengan mengkaji internal Muhammadiyah dulu,” ungkap Najib Azca.
“Jadi tesis masternya Mas Haedar adalah membicarakan mengenai desa Pekajangan. Saya memahami ini sebagai proses beliau menempah diri dengan mengenali dunia dalam Muhammadiyah,” tambahnya.
Kedua, Haedar Nashir mengkaji gerakan Islam Transnasional di Indonesia. “ S3nya beliau meneliti mengenai reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Sebuah gerakan Islam syariat di Indonesia. Jadi disini beliau mencoba melihat bagaimana gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Lalu di beberapa titik terjadi ketegangan-ketegangan di Muhammadiyah karena kuatnya arus Islam Transnasional itu,” ucap Najib Azca.
Salah satu poinnya, sebut Najib Azca, ialah ketika menguatnya dominasi gerakan Tarbiyah di Muhammadiyah. Dimana banyak sekali orang Tarbiyah yang masuk Muhammadiyah dan menguasai, mulai dari sekolah, masjid, AUM, dan lain-lain.
“Jadi Mas Haedar memahami dunia gerakan Islam dan bagaimana untuk memimpin Muhammadiyah dia harus tahu kira-kira dunia gerakan Islam seperti apa termasuk yang kadang-kadang terjadi ketegangan,” tuturnya.
Ketiga, membuat refleksi tentang konsep moderasi keindonesiaan dalam perspektif sosiologis. “Jadi pidato Guru Besar mas Haedar memberikan tawaran bagaimana membangun moderasi Indonesia dan keindonesiaan dari perspektif sosiologi,” sebut Najib Azca.
Ia mengatakan, Haedar Nashir melihat bahwa problem moderasi bukan hanya problem agama. Problem moderasi adalah problem kebangsaan. Kita bisa saja menciptakan ekstremitas karena diskriminasi.
“Moderasi adalah bagaimana kita merangkul keseluruhannya, seperti yang diterapkan oleh beliau di Muhammadiyah. Merangkul kelompok-kelompok berbeda yang ada,” tegas Najib Azca.
“Perjalanan Mas Haedar sebagai seorang sosiolog yang mencoba menggunakan sosiologi sebagai alat baca; alat baca internal Muhammadiyah, alat baca gerakan Islam Transnasional di Indonesia, dan alat baca Keindonesiaan menjadi sesuatu yang unik dan menarik,” imbuhnya.
(Soleh)