Perjalanan Hidup Haji Fakhruddin
Dalam sebuah bedah buku Matahari Terbit di Kota Bengawan (2020), Mohamad Ali mengatakan, “Seandainya bukan Kiai Dahlan, Haji Fakhruddin mungkin sudah bergabung ke SI merah”. Kiai Dahlan memang sosok yang disegani di kalangan kanan maupun kiri. Dakwahnya memiliki spektrum yang luas membuat Dahlan memiliki pengalaman berorganisasi maupun dalam dakwah. Karisma dan kiprah Kiai Dahlan membuat muridnya segan dan hormat kepada Kiai Dahlan.
Haji Fakhruddin dilahirkan 11 Rabiulawal 1305 (1890 M) di Yogyakarta. Nama kecilnya Muhammad Jazuli. Ia adalah anak ketiga dari Haji Hasyim Ismail, lurah Kraton Yogyakarta. Keluarganya kelak dikenal sebagai tokoh besar di Muhamadiyah. Adiknya adalah Hidayat (Ki Bagus Hadikusumo), sedangkan kakaknya Kiai Suja’. Agung DH (2017) mencatat Haji Hasyim menyerahkan lima anaknya untuk mengaji bersama Kiai Dahlan.
Setelah dewasa, mereka menjadi pembesar di Muhammadiyah. Jasimah merintis Aisyiah, Kiai Suja’ menjadi salah satu pendiri PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) Muhamadiyah, Fakhruddin mengembangkan jejaring dakwah dan politik, Ki Bagus Hadikusumo menjadi salah satu anggota BPUPKI.
Haji Fakhruddin dikenal tidak hanya sebagai seorang pengusaha, ia juga seorang mubaligh dan kelak menjadi jurnalis Muhammadiyah. Ia adalah seorang yang lahir dari didikan keluarga dan juga ulama-ulama mumpuni. Sebagai seorang yang tidak menempuh jalur pendidikan formal, ia menjadi pembelajar yang baik. Ia sering menyebut hanya lulusan sekolah “di bawah pohon sawo”.
***
Ia dididik jaringan ulama ayahnya tepatnya di Wonokromo, Bantul. Fakhruddin tidak cocok dengan sistem pesantren. Ia keluar dari pesantren, namun tetap mengaji kepada Kiai Dahlan guru non formalnya. Sebagai seorang jalanan (tidak menempuh pendidikan formal), bahasanya nampak dalam tulisan-tulisannya kelak yang menggunakan melayu kasar. Tulisan-tulisannya itulah yang kelak membuatnya sering mendekam dalam penjara.
Muarif Sejarawan Muhammadiyah mencatat meski Fakhruddin tidak mengenyam bangku pendidikan, pengetahuan agamanya tergolong amat luas. Ia mengisi rubrik pengajaran agama dan kolom tanya jawab agama di majalah Soewara Mohamadijah.(Muarif, 2010:109)
Pengetahuan agamanya yang luas itu ia peroleh tidak hanya dari ayahnya sendiri, tapi juga dari Kiai Dahlan selaku guru agamanya. Ia juga seorang autodidak sangat tekun dalam mempelajari berbagai macam ilmu, termasuk ilmu agama.
Aktifitasnya di Sarekat Islam membawanya bertemu dengan Mas Marco yang juga seorang jurnalis. Haji Fakhruddin kemudian belajar darinya dan menjadi kontributor di Doenia Bergerak yang didirikan Mas Marco 1914.
Aktivis Pergerakan
Fakhruddin tumbuh dan besar di lingkungan organisasi. Sebagai seorang autodidak, ia belajar dan meresapi organisasi yang dimasukinya. Fakhruddin semula ikut bergerak di Budi Utomo bersama Kiai Dahlan. Di tahun 1914, ia sudah tidak begitu aktif di Budi Utomo, ia bergabung dengan IJB (Indlansche Journalisten Bond) bersama Mas Marco. Sejak itulah, pengaruh dari tokoh kiri membuat Fakhruddin turut serta ke dalam gerakan kiri. Termasuk salah satunya Sarekat Islam.
Kita tahu, Kiai Dahlan pada awal pendirian Sarekat Islam, ia juga diangkat sebagai penasehat di dalamnya. Fakhruddin juga sempat mengenal Haji Misbach atau yang dikenal sebagai Haji Merah. Ini bermula saat Misbach meminta tolong Fakhruddin menjadi agen Medan Moeslimin di Yogyakarta pada tahun 1915.
Dirinya ditunjuk menjadi Ketua Majelis Tabligh di Muhammadiyah oleh Kiai Dahlan. Di tahun 1915 bersamaan dengan Medan Muslimin dan Islam Bergerak, Suara Muhammadiyah didirikan bersama dengan Kiai Dahlan dan muridnya termasuk Haji Fakhruddin. Ia sekaligus menjadi Pimred yang pertama.
Kedekatannya dengan tokoh kiri, membuatnya berulangkali dibujuk untuk bergabung dengan komunis. Meski begitu, ia sempat menjadi aktivis ISDV bahkan menjadi pengurus di Yogyakarta. Puncak karir di SI, ia menjadi bendahara CSI yang dipimpin oleh Tjokroaminoto hingga tahun 1923.
Haji Fakhruddin Memilih Muhammadiyah
Saat terjadi kemelut di SI tahun 1926, Haji Fakhruddin memutuskan untuk berhenti dan meninggalkan Sarekat Islam dan memilih bergerak di Muhammadiyah. Pilihannya di Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari kiprah Kiai Dahlan dalam mendidik dan mengkader Haji Fakhruddin.
Haji Fakhruddin juga aktif dan turut serta dalam demonstrasi buruh tebu yang menuntut gaji yang cukup di masa kolonial bersama Suryopranoto. Melalui tulisan-tulisannya yang tajam, Fakhruddin juga kerap diganjar mendekam dalam kurungan penjara.
Apa yang dialami Haji Fakhruddin menjadi pelajaran mengenai dinamika dan pergolakan di Muhammadiyah. Sudah sejak lama Muhammadiyah secara dewasa dan cerdas menyikapi pergolakan dan dinamika organisasi yang diisi oleh kelompok kiri.
Kiai Dahlan sendiri menyikapi adanya kader kiri di Muhammadiyah dengan cara-cara yang elegan. Seandainya Kiai Dahlan memberikan reaksi yang terburu-buru, tentu banyak kader kiri yang ada di Muhammadiyah memilih untuk lari dari Muhammadiyah. Dahlan memilih memberi mereka kebebasan dan juga memilih sendiri jalan yang ditempuh para kadernya.
Kiai Dahlan sendiri melalui gerakan Muhammadiyah juga menerapkan dakwah yang peduli terhadap kaum mustad’afin atau kalangan miskin. Gerakan Muhammadiyah yang peduli dan konsen terhadap kaum miskin ini membuat para kader kiri Muhammadiyah semakin cinta terhadap Muhammadiyah.
Sikap Kiai Dahlan yang arif itulah yang membuat para kader kiri Muhammadiyah lebih memilih Muhammadiyah daripada gerakan kiri/komunis pada waktu itu.
Haji Fakhruddin tutup buku di usia yang sangat muda. Ia meninggal di usia 39 tahun, tepat di tanggal 28 Februari 1929. Fakhruddin menjadi potret kader Kiai Dahlan yang berhaluan kiri namun tetap teguh jiwanya ber-Muhammadiyah.
Potret Haji Fakhruddin menjadi teladan anak muda Muhammadiyah. Menjadilah kiri, namun tetap konsisten dan berjuang bersama Muhammadiyah.
Editor: Saleh