Diskursus polemik “berdiri” pembacaan Maulid Nabi ini mulai muncul kepermukaan masyarakat Minangkabau, ketika pada tahun 1914, kali pertama Abdullah Ahmad menerbitkan tulisannya di majalah al-Munir (Jilid III, Juz 24, hlm. 383), yang berisi polemik berkenaan Maulid Nabi. Tulisan ini berisi tanggapan terhadap praktik “berdiri maulid”, yakni keharusan berdiri pada waktu pembacaan kisah Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan.
Ulama golongan Kaum Tua meyakini bahwa sewaktu pembacaan kisah Nabi Muhammad ﷺ lahir, maka Beliau akan datang di tengah-tengah jemaah yang sedang merayakan Maulid Nabi. Tulisan itu juga mengatakan bahwa “berdiri maulid” merupakan sesuatu yang masih diperdebatkan kalangan ulama di Dunia Islam. Oleh karena itu, sudah semestinya ulama-ulama Minangkabau tidak mengikuti sesuatu yang masih diperdebatkan (Pramono 2015).
Kemudian wacana ini menjadi polemik besar bagi salah satu tokoh paling fenomenal dari Kaum Muda di Minangkabau awal abad 20 yaitu Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) merupakan ayah Buya Hamka; ia seorang ulama Kaum Muda dan menjadi tokoh utama pembaharuan Islam di Minangkabau. Kemasyhuran dan ketokohannya telah menarik perhatian banyak sarjana untuk meneliti pemikiran dan perjuangannyan (Pramono 2015, 156).
***
Ideologi ulama Kaum Muda ialah nilai-nilai yang mendorong perbaikan akhlak umat, yaitu dengan mengajak kembali kepada ajaran yang murni, yang tidak bercampur dengan tradisi, yaitu kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan hadis semata-mata sehingga pemikiran modernitas yang disebarkan oleh Kaum Muda menjadi permasalahan sentimental bagi penganut keagamaan tradisionalis di Minangkabau, salah satunya bagi yang merayakan Maulid Nabi.
Polemik yang dianggap paling utama berkenaan dengan perayaan Maulid Nabi ialah perkara “berdiri maulid” dan peristiwa yang diragukan kebenarannya tentang kelebihan membesarkan Maulid Nabi. Produksi teks ini merupakan bentuk reaksi terhadap praktik wacana (praktik ideologi dan sosial-budaya) dalam kalangan masyarakat yang mengikut paham ulama Kaum Tua. Menurut HAKA, dalil yang menyatakan sunnah perbuatan tegak berdiri sewaktu pembacaan riwayat Nabi Muhammad ﷺ pada saat ceritanya memasuki kisah Nabi lahir, tidak memiliki dasar yang kuat dan sangat lemah (Pramono 2015, 158).
HAKA juga sangat menyesalkan ulama Kaum Tua yang memfatwakan bahwa “berdiri maulid” ialah sunnah. Menurutnya, jika seorang ulama sudah mengeluarkan fatwa yang salah, maka akan banyak umat yang akan tersesat. Kritikan pedas itu dibalas oleh salah seorang ulama Kaum Tua, yakni Syekh Sulaiman ar-Rasuli dengan syair apologetik yang dinamai “Syair Perdirian Maulid”. Syekh Sulaiman ar-Rasuli tidak menerima jika dikatakan bahwa “berdiri maulid” tidak memiliki dasar yang kuat, seperti kutipan berikut (Pramono 2015, 159).
***
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, justru malah menyalahkan ulama Kaum Muda (terutama HAKA atau Haji Rasul), bahwa tuduhannya sama sekali tidak berdasar. Dalam hal ini, ia menasihati agar jangan terburu-buru menghukum sesuatu perbuatan sebagai bid’ah, apa lagi bid’ah dhalalah, jika tidak memiliki dasar yang kuat.
Hal lain yang juga menjadi sorotan HAKA berkenaan dengan berbagai hal yang terjadi pada perayaan Maulid Nabi ialah perayaan yang mewah dan bacaan zikir yang dilagukan, sehingga sering salah panjang pendek bacaannya. Kritikan ini disampaikan melalui beberapa bait syair yang tidak begitu panjang, namun ditempatkan pada bagian kedua dari syair Irshad al-‘awam. Besar kemungkinan karena praktik ini merupakan penyebab polemik antara ulama Kaum Muda dengan Kaum Tua berkenaan perayaan Maulid Nabi (Pramono 2015, 160).
Bahkan diskursus tersebut menjadi agenda pertemuan perdebatan, Haji Rasul tampil sebagai ulama yang bersuara lantang dan kritis. Ia memang terkenal sebagai ulama yang agresif, tanpa segan marah-marah bahkan mencela, sekiranya ada sesuatu yang dijumpainya tidak sesuai dan menyimpang dari paham yang diyakininya benar.
***
Sikap lantang dan kritis dari HAKA tersebut kadang-kadang membuat pemerintah nagari (desa) tersinggung. HAKA sendiri sadar bahwa sikap dan gerakan pembaharuan yang dilakukannya tidak disenangi oleh golongan ulama Kaum Tua. Konteks Maulid Nabi misalnya, ia dituduh sebagai ulama yang merusak kenyamanan beragama yang sudah berlangsung di Minangkabau. Walaupun begitu, ia tetap juga terus mengajak masyarakat untuk menghindari pemikiran taklid, salah satunya mengajak berfikir kritis ketika ulama Kaum Tua memfatwakan “berdiri maulid” ialah sunnah (Pramono 2015, 166).
Fenomena di atas memperlihatkan bahwa polemik keislaman antara ulama Kaum Muda dengan Kaum Tua masih dikontrol oleh cita-cita mulia Islam, yaitu ukhuwah Islamiyah. Artinya, nilai ukhwah Islamiyah lebih dipentingkan daripada kepentingan yang lainnya. Polemik keislaman tidak lantas membabi buta dengan tidak mendengarkan kritikan dari pihak lain.
Seperti yang diungkapkan dalam catatan HAMKA, “Tetapi setelah sikap pemerintah Belanda, bertambah lama bertambah “berlain” juga terhadap agama, maka bertambah rapatlah hubungan kedua-dua beliau. Apatah lagi rakyat pandai pula. Kerap beliau berdua sama-sama diundang mengadakan tabligh agama. Dalam satu perjalanan bersamaan beliau berdua dan Syekh Ibrahim Musa, ketiganya berjanji akan sama-sama membawa ummat ini kepada satu tujuan, yaitu persatuan. Dan pangkal persatuan itu mudah saja, yaitu kerapkali sajalah kita sejalan! (Pramono 2015, 167).
***
Catatan HAMKA tersebut, kembali menegaskan bahwa nilai ukhuwah Islamiyah menjadi “kekuasaan” yang mengontrol “perang” wacana antara golongan ulama Kaum Muda dengan Kaum Muda. Selain itu, ulama-ulama yang ambil bagian dalam dinamika polemik keislaman tersebut juga telah menunjukkan kepiawaiannya dalam dunia kepenulisan. Tradisi intelektual ini telah melahirkan sikap arif: menulis untuk mendebat.
Dinamika wacana Islam pada era transmisi pembaharuan Islam di Minangkabau—wacana Maulid Nabi sebagai salah satu isunya telah memberi kesan positif terhadap tradisi intelektual di kalangan ulama Minangkabau.
Referensi:
Pramono. 2015. “Literasi Maulid Nabi Di Kalangan Ulama Minangkabau: Pemerian Naskah Dan Analisis Dinamika Wacananya.” IBDA’: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya 13 (1): 149–70. https://doi.org/10.24090/ibda.v13i1.499.
Editor: Soleh