Oleh: Nirwansyah*
Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) atau biasa dipanggil Haji Rasul adalah Ayahanda dari Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Haji Rasul merupakan ulama yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap persebaran dan perkembangan Muhammadiyah di Suamatera Barat. Bahkan di setiap perjalanannya mengelilingi Sumatera, Muhammadiyah selalu disyiarkannya.
Persyarikatan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini membuat Haji Rasul terkagum dan sadar bahwa untuk menyiarkan dan memajukan Islam akan lebih efektif dengan cara membuat perkumpulan. Sehingga beliau akhirnya mendirikan cabang Muhammadiyah di kampung halamannya bersama Syekh Muhammad Jamil Jambek di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat. Uniknya, Haji Rasul tidak masuk dalam anggota Muhammadiyah.
Masuknya Muhammadiyah di Minangkabau
Haji Abdul Karim Amrullah lahir di Maninjau pada tahun 1879 dan meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945. Ia bersama Syekh Muhammad Jamil Jambek bisa dikatakan pendiri Muhammadiyah di Sumatera Barat. Awal mula berdirinya Muhammadiyah di Minangkabau yakni, ketika Haji Rasul berkunjung ke Pekalongan untuk melihat menantunya, AR Sutan Mansur (Pemimpin Muhammadiyah Pekalongan waktu itu dan ketua pimpinan pusat Muhammadiyah 1953-1959) beserta anak dan cucunya.
Ketika di sana, dapatlah dia melihat secara dekat bagaimana Muhammadiyah dengan giatnya berusaha untuk memajukan dan menyiarkan agama Islam melalui perkumpulan. Melihat hal tersebut, hatinya tertambat. Terlintas dibenaknya nasib tanah Minang yang sudah teramat parah, rusak agamanya. Pada tahun 1925, ia kembali ke Minangkabau dengan membawa pikiran-pikiran pembaharuan.
Langkah awal yang dilakukan Haji Rasul dalam menyiarkan Muhammadiyah di Minangkabau adalah mengubah nama perkumpulan yang sudah ada sebelumnya. Perkumpulan yang awalnya bernama “Sendi Aman” berubah nama menjadi Muhammadiyah. Perubahan ini terjadi di akhir tahun 1925, ketika para pengurus “Sendi Aman” meminta pendapat dan pikiran HAKA, “Baiklah tukar menjadi Muhammadiyah, supaya ada hubungan kita dengan perserikatan besar!,” katanya (HAMKA, 1982). Atas permufakatan tersebut, berdirilah cabang Muhammadiyah pertama di Minangkabau.
Ulama Puritan Revivalis
Setelah berdiri cabang Muhammadiyah pertama di Minangkabau, perkembangan Muhammadiyah tak lepas dari peran Haji Rasul sebagai tokoh sentral. Ia giat menyiarkan Muhammadiyah pada saat itu. Tak berlebihan kiranya jika menyatakan Haji Rasul merupakan sinonim Muhammadiyah Minangkabau. Selain sebagai pendiri Muhammadiyah di Minangkabau, ia kerap kali mempropagandakan Muhammadiyah dalam setiap perjalanannya mengelilingi Sumatera.
Dalam hal agama dirinya bisa dikatakan potret sempurna Muhammadiyah Minangkabau (Burhani, 2010). Dengan keluwesan ilmu agama yang dimilikinya, serta sikapnya yang berani menentang setiap hal ganjil yang keluar dari koridor agama, Haji Rasul tidak segan-segan untuk mengkritisinya. “Caranya keras, tanpa ampun dan tak henti-henti. Tablighnya diwarnai kritik dan serangan terhadap semua praktik yang ia tidak setujui; bahkan masalah-masalah kecil pun tak terlewatkan,” tulis Deliar Noer.
Dengan segala upayanya untuk mengembalikan ajaran ortodoksi Islam dan menghilangkan segala unsur-unsur non-Islami serta membangkitkan ajaran-ajaran pemurnian Islam dalam berbagai praktik masyarakat di Minangkabau, Alfian mengatakan bahwa Haji Rasul adalah “tokoh intelektual sesungguhnya dari puritanisme dan revivalisme di Minangkabau.”
Haji Rasul yang dikenal sebagai ulama yang puritan revivalis, mampu membentuk paradigma baru. Ia juga banyak mempengaruhi pemimpin pengurus besar Muhammadiyah dalam mengusung misi purifikasi. Maka tidak heran jika Muhammad Hatta, salah satu proklamator Republik Indonesia dan juga anggota Muhammadiyah mengatakan, “Muhammadiyah tak akan pernah bisa berhasil melaksanakan program purifikasinya selama ia tak bisa membebaskan diri dari akar-akarnya di Kauman Yogyakarta” (Burhani, 2010).
Alasan Tidak Menjadi Anggota
Dalam segala usaha, peran, dan pengaruh Haji Rasul terhadap Muhammadiyah, ada satu hal yang menarik darinya, yakni tidak menjadi anggota Muhammadiyah. Meskipun begitu, dirinya menyatakan diri aktif membantu Muhammadiyah, karena setelah terang bahwa Muhammadiyah hendak menegakkan paham salaf, bukan menegakkan taqlid (HAMKA, 1982).
Sebab kenapa Haji Rasul tidak masuk dalam anggota Muhammadiyah ialah, dalam buku “Ayahku” karya HAMKA dijelaskan bahwa, “Haji Rasul telah terikat dengan janji dalam Perserikatan Guru-guru Agama Islam (PGAI), bahwa perserikatan yang lain tidak akan dimasukinya.” Yang sama-sama kita ketahui, bahwa PGAI berdiri pada tahun 1920 dan Haji Rasul menjadi penasehatnya. Sedangkan, Muhammadiyah baru berdiri Minangkabau pada tahun 1925.
Pesan untuk Muhammadiyah
Ketika Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta pada Januari 1941, HAMKA, putranya yang menjadi konsul Sumatera Timur mengunjungi ayahnya terlebih dahulu sebelum berangkat. Haji Rasul yang sudah banyak mendapat panggilan dari Kolonial Belanda, menitipkan pesan yang sangat mendalam kepada putranya tersebut untuk Pengurus Besar Muhammadiyah, yang isinya:
“Cuma satu yang akan aku sampaikan kepada Pengurus Besar Muhammadiyah! Tetaplah menegakkan agama Islam! Berpegang teguhlah dengan Qur’an dan Sunnah! Selama Muhammadiyah masih berpegang dengan keduanya, selama itu pula ayah akan menjadi pembelanya. Tetapi kalau sekiranya Muhmmadiyah telah menyia-nyiakan itu, dan hanya mengemukakan pendapat fikiran manusia, ayah akan melawan Muhammadiyah, biar sampai bercerai bangkai burukku ini dengan nyawaku! Sampaikanlah pesanku ini kepada K.H Mas Mansursendiri!” (HAMKA, 1982).
Wallahu A’lam Bishawab.