Oleh: Faiz Al Ghiffary
Setiap 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia. Dalam konteks Indonesia, berbicara tentang HAM masih kuat ingatan kita tentang kasus-kasus pelanggaran HAM baik yang terbaru ataupun masa lalu, yang bisa di katakan belum menuai jalan terang hingga saat ini.
Sebut saja peristiwa ’65, tragedi semanggi II (24 September 1999), tanjung priok (12 september 1984), kasus pembunuhan aktivis penegak HAM Munir Said Thalib pada 7 September 2004. Rentetan kasus tersebutlah yang kemudian dikenal sebagai September kelam. Hal itu diperparah dengan jatuhnya korban jiwa pada bulan September 2019 dalam aksi massa di berbagai daerah di Indonesia.
Hak Asasi Manusia dan Negara
Secara logika, konsekuensi dari kejahatan HAM tersebut akan bermuara pada persoalan-persoalan hukum serta persoalan kemanusiaan yang tidak akan pernah selesai. Maka setiap kejahatan HAM berat, merupakan sebuah krisis kemanusiaan yang melukai seluruh bangsa manusia. Tidak hanya Amerika Latin, Jerman, Indonesia, Serbia, hingga Kamboja tetapi seluruh bangsa di dunia. Sebab itulah, setiap pelanggaran HAM akan menjadi musuh bersama oleh umat manusia (Hostis Hominis Generis). Secara tidak langsung, hal ini juga akan menjadi tanggung jawab bersama bagi setiap individu beradab di seluruh dunia.
Sejatinya, negara sebagai perwujudan kehidupan kesejahteraan rakyat harus bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak dan kepentingan rakyatnya. Persoalannya adalah setelah sekian purnama berganti kasus pelanggaran HAM tidak pernah di usut tuntas. Kasus pelanggaran HAM seolah menjadi komoditi politik yang selalu di perjual belikan demi meraup simpati rakyat.
Hal ini dapat di buktikan secara empiris, pada tahun 2009 saat kampanye pemilu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah berjanji untuk segera menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Kemudian pada 25 Juli 2012 selang 3 tahun, SBY dengan surat pernyataan meminta jaksa agung untuk mempelajari kembali dokumen penyelidikan komnas HAM atas kasus ’65. Begitupun Presiden Jokowi yang juga pernah berjanji untuk menghadirkan negara sebagai pelindung warga, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan standar HAM untuk memudahkan dalam menilai hasil yang dicapai.
Tetapi begitulah, janji hanyalah tinggal janji tanpa kepastian. Pertanyaannya adalah apakah ini yang dinamakan negara sebagai pelindung rakyatnya? atau apakah ini yang diinginkan negara dengan selalu menebar ketakutan untuk rakyatnya?
Hutang Sejarah
Setiap kejahatan HAM berat, akan selalu menjadi mendung yang gelap bagi perjalanan sebuah bangsa. Masyarakat dengan memori kolektifnya tidak akan pernah lupa dengan apa yang di lakukan oleh Hitler di Jerman, apartheid di Afrika Selatan, pembunuhan masal di Kamboja, pembataian masal ’65 di Indonesia, serta kejahatan HAM masa lalu lainnya.
Keadaan yang demikian jika terus-terusan terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi tanda membekunya sebuah demokrasi. Sorensen, seorang ilmuwan politik ternama telah mewanti-wanti akan keadaan seperti ini sejak puluhan tahun silam, ia menyebutnya sebagai Froozen Democracy. Dalam sebuah buku Democracy and Democratization: Process and Prospect in a Changing World (1993), Sorensen juga menggambarkan layunya sistem politik demokrasi setidaknya dapat dilihat dari empat indikator. Salah satunya adalah penyelesaiaan masalah sosial, politik, hukum, dan HAM masa lalu yang tidak pernah tuntas.
Dengan menggunakan pendekatan indikator tersebut, keadaan Indonesia hari ini akan mengarah pada terciptanya sistem demokrasi yang beku. Rekam jejak Tim Pencari Fakta dalam pengusutan kasus Trisakti, Semanggi, Munir dan kasus-kasus lainnya yang hingga kini tidak menemukan jalan terang adalah bukti empiris yang tidak dapat dihindarkan.
Hutang sejarah yang telah menjadi luka menganga, menuntut adanya sikap tegas negara untuk segera dengan serius menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu. Hadirnya negara dalam segala kondisi, akan menunjukkan keseriusannya dalam meneguhkan peran sebagai pelindung rakyat.
Dalam terminologi HAM kita mengenalnya sebagai “pengakuan negara” pada masalah-masalah yang ada untuk dapat di selesaikan, dengan keadaan seperti apapun. Negara juga bertugas untuk memimpin secara adil dalam menyelesaikan masalahnya, dengan melibatkan semua pihak agar memunculkan sikap jujur dan keterbukaan negara pada persoalan-persoalan yang ada.
Masa Depan Hak Asasi Manusia
Indonesia sebagai bangsa yang besar, harus mampu menjawab tantangan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, beban sejarah tersebut jika tidak segera diselesaikan akan menciderai nurani kita sebagai bangsa yang besar. Dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, setidaknya ada instrumen penting yang tak dapat dilupakan. Instrumen tersebut ialah mekanisme keadilan restoratif, dalam mekanisme ini diperlukannya mediator handal untuk memperlancar proses mediasi.
Proses mediasi tersebut tidak dapat dilakukan melalui perantara. Mediator harus terjun langsung ke lapangan berkomunikasi dengan korban maupun pelak. Maka keahlian dasar seperti psikologi dan komunikasi wajib dimiliki oleh mediator.
Selain itu, pemahaman tentang makna dan pentingnya HAM harus terus digencarkan. Dalam realitas masyarakat kita, seringkali HAM hanya dijadikan legitimasi dan dimonopoli sedemikian rupa oleh oknum-oknum tertentu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, tanpa mengindahkan akibat yang akan terjadi. Kondisi semacam ini, bermula pada pemahaman masyarakat kita yang masih lemah tentang pemaknaan HAM itu sendiri.
Di sisi lain, penguatan terhadap komnas HAM sangat penting dilakukan, mengingat semakin kompleksnya tantangan persoalan HAM yang di hadapi. Meski kini sebagian orang telah pesimis dengan Komnas HAM, akan tetapi segala cara perlu kita upayakan demi kebaikan bersama. Dalam UU No 39 Tahun 1999 misalnya, pengaturan kewenangan Komnas HAM sangatlah terbatas pada aspek penelitian, pemantauan, investigasi, dan mediasi.
Maka upaya penguatan Komnas HAM bisa ditujukan pada aspek yang dapat mendukung perbaikan kinerja lembaga ini supaya lebih maksimal dalam penegakkan HAM. Meski kehadiran dan ketegasan negara dalam meneggakkan HAM sangatlah penting, tetapi akan terus membutuhkan bantuan seluruh elemen masyarakat untuk membuka jalan baru terhadap demokrasi substantif. Agar esok kita bersama-sama menyaksikan indahnya matahari terbit sebagai harapan baru masa depan.