Hari-hari ini, kita melihat cara pandang materialisme semakin kuat merangsek ke alam pikiran manusia. Ia menjadikan segala sesuatu memiliki nilai tukar. Semakin besar akumulasi dari nilai tukar itu dalam kepemilikan seorang individu, maka seolah semakin tinggi derajat individu itu di masyarakat.
Pun berbagai rayuan agen-agen materialis bertebaran. Mulai dari banner-banner di pinggir jalan hingga status di sosial media pertemanan. Ada informasi perumahan, promosi emas, hingga aplikasi investasi. Mereka menjanjikan kekayaan besar jika memilikinya. Jika memang demikian, mengapa tidak mereka simpan sendiri saja?
Banyak pula yang mendakwahkan, “Kaya agar makin bermanfaat”. Tentu maknanya semakin besar kekayaan maka makin besar pula yang disedekahkan. Meskipun dengan catatan, bahwa proporsinya tidak lantas membesar. Loh, kenapa tidak semakin besar pula bagian yang dibagikan? Mereka diputar kembali untuk investasi, katanya.
Kekayaan Komunal, Bukan Individual
Sepertinya, mereka lupa bahwa Tuhan memberi rizki itu bukan untuk mereka pribadi, melainkan juga untuk sebagian yang lain. Ini sebagaimana firman Tuhan dalam surat Al Hasyr ayat ke tujuh:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Seolah tak cukup sekali, mengenai hak-hak orang lain dalam rizki kita, dijelaskan kembali dalam firman Tuhan yang lain:
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (QS. Al-Ma’arij, [70]: 24-25)
Pada kedua ayat itu dapat ditarik maksud Tuhan mengenai kelimpahan rizki kita sebagai sekedar titipan. Bahwa kita sejatinya hanya perantaraan bagi rizki itu untuk berpindah dan mencapai kepada yang Tuhan maksudkan yaitu orang-orang miskin.
Maka ini menjadi pelajaran bagi mereka yang menahan harta hanya pada dirinya. Jelas tindakan menumpuk-numpuk kekayaan di antara mereka menjadikan banyak masyarakat miskin yang terlunta. Mereka lagi-lagi mengacuhkan fakta bahwa materi itu tidak akan menjadi bekal di akhirat, melainkan amal perbuatannya.
Pemaknaan pada ayat itu juga bisa berujung kepada hakikat kekayaan sebagai bukan sesuatu yang bersifat privat, melainkan publik. Kebermanfaatan harta itu sedikit banyak tidak boleh dirasakan oleh sendiri melainkan oleh orang lain, utamanya, mereka yang miskin.
Sehingga, perlu juga dipahami bahwa jika pun harta kekayaan yang ditumpuk itu semakin tumbuh membesar, ia bukan tumbuh semata karena kejelian investasi. Melainkan, Tuhan sedang menitipkan lebih banyak lagi harta-harta milik orang lain pada yang sedang kita terima.
Membongkar Kapitalisme
Masalahnya memang kita akui sistem ekonomi yang mapan itu bernama kapitalisme. Prinsip dasarnya, bahwa setiap orang berhak untuk memiliki dan menumbuhkan kapital (kekayaan) melalui pasar bebas. Seseorang dapat mengolah dan menukarkan komoditas yang bernilai, atau menjual jasa (dirinya) dalam sistem ini.
Meski harus diakui bahwa kapitalisme memberi jasa yang begitu besar untuk kemajuan peradaban, dalam hal ia memungkinkan inovasi produksi dan produk itu sendiri, namun terdapat pula sisi gelap yang dibawanya. Cara pandang (worldview) materialistik yang telah disebutkan di awal adalah salah satunya.
Faktanya pula, kesenjangan dalam dunia kapitalis begitu ekstrim. Kita mungkin sudah kenyang dengan retorika, “Elite satu persen menguasai sembilan puluh persen total kekayaan di dunia”. Yang demikian itu tidak boleh dianggap ilusi, justru ia memang kenyataan yang hanya mungkin terjadi dalam sistem kapitalisme.
Akan tetapi bila dipahami dengan seksama, kesalahan utama yang dimiliki kapitalisme adalah monopoli. Melalui monopoli pasar dan teknologi mereka menghambat kemajuan peradaban. Pula, melalui monopoli kekayaan, mereka berpotensi melakukan bunuh diri.
Seperti yang diperingatkan Robert Reich, mantan mentri Buruh Amerika,”Bagaimana mungkin ekonomi berjalan ketika orang-orang kelas menengah dan miskin tidak bisa membeli apa-apa?”. Disini Reich mengingatkan bahwa kapitalisme akan kolaps ketika hasil produksi tidak dapat dikonsumsi.
Justru yang harus dipahami bahwa demikian itu merupakan muslihat puncak kapitalisme. Ia merekaya manusia agar semakin terbenam dalam konsumsi yang tidak rasional. Toh bagi kapitalisme, manusia dipandang hanya sebagai pasar tempat menjual produksi.
Ada pemutih kulit untuk orang Indonesia, tapi ada pula produk penggelap kulit di Amerika. Ada produk untuk menggemukkan, ada pula produk untuk menjadikan kurus. Dalam kapitalisme, semua diada(ada)kan.
Solusi Islam Terkait Konsep Kekayaan?
Konsep kekayaan komunal dalam ayat-ayat tersebut diatas dapat menjadi suatu penawar bagi virus kapitalisme. Kuncinya begini: dengan menghadirkan kesadaran bahwa kekayaan bukan milik individu semata, maka ada usaha sengaja untuk mendistribusikan kekayaan itu kepada setiap orang.
Kondisi kemiskinan yang seperti pandemi tanpa obat itu akan dapat diatasi melalui konsepsi kekayaan komunal Islam. Dalam konsep kekayaan komunal ini, kemiskinan bukan dipandang karena kemalasan semata, namun sebuah tragedi yang tercipta karena sebagian manusia menahan kekayaan sebagian yang lain.
Semangat ekonomi berkeadilan ini sejatinya sudah termanifestasi dalam zakat, misalnya. Padanya ada bagian minimal kekayaan yang harus dibagikan sebagaimana ketetapan Tuhan.
Meskipun perlu dicatat bahwa proporsi dari zakat yang wajib disalurkan tentu tidak akan cukup untuk mewujudkan suatu kesejahteraan bersama. Ia terlalu kecil untuk memberi dampak yang signifikan.
Maka mungkin perlu ada usaha tajdid, untuk melahirkan produk ‘zakat’ yang berdaya hentak. Zakat profesi yang pernah ditawarkan Yusuf Qardawy, mungkin bisa jadi salah satu solusinya.
Worldview Islam
Namun, yang jauh lebih penting dari konsep kekayaan Islam adalah pada transformasi cara pandang alam dalam benak manusia. Ketimbang materialisme yang bersifat individualistik, kompetitif dan diskriminatif, ditawarkan suatu pandangan alam yang kolektif, kolaboratif dan inklusif.
Sebabnya, Islam mendidik manusia untuk memahami bahwa diri mereka dan yang lain terikat dalam persaudaraan kemanusiaan. Serta, bahwa manusia memiliki tanggungjawab sebagai khalifah, atau wakil Tuhan di muka bumi, untuk mengelola seluruh alam beserta isinya secara berkeadilan.
Worldview Islam juga menghadirkan kesadaran bahwa realitas tidak hanya terbagi dari unsur-unsur materi, namun juga yang metafisik. Disana terdapat alam pasca kehidupan yang akan menyambut manusia sesuai dengan ukuran kebaikan yang ia diperbuat.
Manusia tidak lagi sibuk untuk berebut kekayaan dengan sesamanya hanya demi kebahagiaan dunia. Sebaliknya, mereka merasa khawatir bila kekayaan itu akan menjadi penghambat dan dosa bagi mereka.
Demikianlah, dunia dalam worldview Islam hanya menjadi sebuah perjalanan, tempat untuk melaksanakan misi-misi yang telah diembankan Tuhan. Demikian pula bahwa bukan rumah bertingkat dan kendaraan mewah, namun ridho Tuhan lah tujuan akhir manusia.
Editor: Yahya FR