Prolog
Dalam sepekan ini, ada dua pertanyaan dari warga Persyarikatan tentang mazhab. Pertanyaan tersebut lahir dari sikap Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) yang tidak mengikatkan diri pada salah satu mazhab hukum Islam klasik, meski masih memberi ruang untuk mempertimbangkan pendapat mazhab.
Sudah barang tentu, mengafiliasikan diri atau organisasi dengan mazhab klasik atau tidak merupakan pilihan dalam mencari jawaban masalah hukum agama. Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu harus diurai pula pertanyaan dasar mengenai mazhab, mengapa lahir, dan apa hukum bermazhab.
Ada baiknya mazhab dipahami secara proporsional agar tidak sekedar menerima atau menolak karena hanya itu cara yang diketahui untuk mencari jawaban masalah hukum.
Pengertian Mazhab
Mazhab sebenarnya bukan satu konsep tunggal, melainkan berkembang. Ahmad Hasan dalam karyanya The Early Development of Islamic Jurisprudence, Wael B. Hallaq dalam karyanya The Origins and Evolution of Islamic Law dan karyanya Authority, Contuinity and Change in Islamic Law, Joseph Schacht dalam The Origin of Muhammadan Jurisprudence maupun Noel J. Coulson dalam A History of Islamic Law telah membahas tentang perkembangan mazhab hukum Islam.
Belum lagi karya-karya Tarikh Tasyri’ Islam, seperti karya Muhammad al-Khudlari dan karya Muhammad Yusuf Musa, al-Fikr al-Sami karya Muhammad bin Hasan al-Hujwi atau karya tentang struktur mazhab, seperti pada bagian awal al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaili, bagian awal Majmu’ Syarah Muhadzzab karya al-Nawawi atau al-Fawaid al-Madaniyyah karya Sulaiman al-Kurdi. Semua itu menyediakan perspektif tentang apa mazhab dan bagaimana ia berkembang.
Pengertian mazhab tidaklah tunggal. Ia mengalami evolusi. Mazhab berkembang dalam beberapa pengertian:
Mazhab Sebagai Kecenderungan Lokal
Mazhab pada awalnya yang ada hanyalah hubungan guru dan murid yang terbentuk dalam wilayah amshar, seperti Madinah, Syiria dan Kufah.
Mazhab lokal adalah kecenderungan berpikir, mempergunakan sumber hukum dan hasil fatwa ulama-ulama di amshar. Inilah yang kemudian diwakili oleh Malik, Abu Hanifah dan Auzai.
Mazhab mereka adalah hasil pendapat dan fatwa ulama-ulama setempat atau guru mereka. Malik bin Anas, misalnya, menjadi penerus para fakih Madinah seperti fukaha sab’ah, Ibnu Syihab al-Zuhri, Yahya bin Sa’d dan Rabi’ah.
Metodenya juga belum terumuskan secara detail, meski ada kecenderungan khas. Ulama Madinah dikenal sebagai ahl al-hadits karena mengutamakan riwayat dan amal ahli Madinah. Mereka juga menggunakan maslahah mursalah.
Ulama Iraq berpegang pada makna umum nash, banyak memakai qiyas maupun istihsan sehingga dikenal sebagai ahl al-ra’yu. Mereka mewarisi pendapat para ulama setempat seperti Alqamah bin Qais, Syuraih bin al-Harits, Ibrahim al-Nakha’i, al-Sya’bi , Hammad bin Abi Sulaiman.
Ulama Syiria banyak memakai riwayat dan juga fatwa khalifah Umayyah, khususnya Umar bin Abdil Aziz.
Pada awalnya belum ada karya ushul fikih yang menjadi acuan, meski Abu Yusuf disebut menulis kitab tentang qiyas. Hubungan guru dan murid kadang sejajar. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani secara keilmuan sejajar dengan Abu Hanifah.
Banyak ulama Hanafi yang derajat keilmuan dipandang sejajar dengan Abu Hanifah sehingga mereka berafiliasi lebih dalam aspek metodologis terhadap gurunya.
Mazhab Sebagai Afiliasi Metodologis
Afiliasi secara metodologis tersebut terjadi pula pada mazhab Syafii. al-Syafii menulis Kitab al-Risalah, yang dipandang sebagai karya awal ushul fikih. Kitab tersebut menandai munculnya mazhab sebagai afiliasi metodologis. Sehingga, ulama yang mengikuti Syafii dipandang sebagai mujtahid mutlaq atau punya kemampuan mandiri tapi ikut metode Syafii, seperti al-Muzani.
Namun, hubungan guru-murid al-Syafii dengan murid-muridnya juga mewariskan pendapat hukum. Mukhtashar al-Muzani, misalnya, berisi pendapat al-Syafii hingga masalah furu’. Di mana, al-Muzani sendiri ada kalanya punya pendapat sendiri yang berbeda.
Mazhab Hanafi kemudian lebih dikenal sebagai mazhab fukaha. Mereka tidak meletakkan dahulu kaidah ushul, tetapi menginduksikan kaidah-kaidah itu dari pendapat-pendapat yang berkembang di kalangan ulama Hanafi.
Oleh karena itu, mazhab Hanafi lebih maju awalnya dalam kaidah furu’ (kaidah fikih) sehingga al-Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nadzair mengakui hutang ulama Syafi’iyah terhadap ulama Hanafi dalam kaidah furu’.
Pada mazhab Hanbali, metode ushul fikih tidak dirumuskan secara eksplisit oleh Ahmad bin Hanbal. Ahmad bahkan tidak menghendaki pendapatnya dibukukan. Namun, Abu Bakar al-Khallal meriwayatkan pendapat Ahmad dari putranya dalam al-Masail.
Baru belakangan, ulama Hanbali mencoba merumuskan metode ushul fikih Ahmad bin Hanbal. Sebagai muhaddits, kredibilitas Ahmad sebagai fakih awalnya memang belum diakui semua kalangan.
Jawabannya terhadap masalah hukum seringkali hanya jawaban singkat: “Tidak apa-apa, baik, saya menyukai, dan seterusnya”, sebagaimana bisa dilihat dalam Ahkam Ahlil Milal karya al-Khallal yang berasal dari al-Masail.
Bermazhab Sebagai Upaya Mencari Konsensus Pendapat Ulama Mazhab
Pada perkembangannya, mazhab berarti upaya untuk mencari konsensus di kalangan ulama mazhab. Bermazhab berarti mengikuti pendapat yang dipandang kuat dari beberapa pendapat yang berkembang di kalangan ulama mazhab.
Pada masa ashhab, pendapat yang kuat disebut al-mazhab. Karena itu, Abu Ma’ali al-Juwaini, dalam al-Waraqat -nya, menyebutkan bahwa di antara syarat seorang mufti adalah memahami pendapat pokok dan furu’ dan mengetahui pendapat yang berbeda (khilaf) dan yang disepakati ( mazhab ).
Bermazhab Sebagai Ikut Furu’ yang Telah Ditarjih
Akhirnya, bermazhab berkembang semakin sempit pengertiannya sebagai mengikuti pendapat furu’ yang telah ditarjih oleh ulama murajjih. Pendapat itulah yang disebut mu’tamad. Kitab yang bersandar pada karya murajjih itulah yang disebut kitab mu’tamad.
Ushul fikih sudah tiada dipakai karena istinbath hukum cukup dengan mengacu karya mu’tamad. Meski ushul fikih dipelajari, perhatian ulama muta’akhkhirin hanya dalam urusan menjawab furu’.
Oleh karena itu, pendapat mazhab kemudian adalah hasil saringan oleh para pengkaji generasi keempat. Pendapat mazhab adalah pendapat yang di-tashih ahli tarjih mazhab yang telah mengkaji aneka pendapat mazhab dan menentukan mana dari dua qaul atau wajh yang lebih kuat.
Berfikih Secara Manhaji
Saat ini berkembang lagi fikih manhaji. Perkembangan zaman yang cepat membuat sebagian pendapat mazhab kurang lagi relevan. Bermazhab dengan cara kutip pernyataan (syahid) dari kitab dan analogi (ilhaq) tidak lagi memadai. Ulama kontemporer pun banyak memakai maslahah sebagai landasan.
Dengan berkembangnya ijtihad jama’i, otoritas hukum ditentukan oleh ulama secara kolektif bukan oleh otoritas mazhab, apalagi imam mazhab. Meskipun boleh jadi ada rujukan kepada karya mazhab, tetapi otoritas organisasi turut berperan seperti dalam fatwa MUI atau keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Berfikih secara manhaji sebenarnya sudah mulai melonggarkan diri dari naungan mazhab klasik. Namun, sebagian berupaya untuk tidak ingin meninggalkan mazhab seraya melakukan usaha tambal sulam dan sebagian mengambil sikap bebas dari ikatan mazhab klasik.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah secara eksplisit menyatakan ketidakterikatan dengan mazhab klasik tertentu, meski masih bisa menerima bahan dari mazhab sebagai pertimbangan.
Sebab Musabab Ber-Mazhab
Bermazhab itu adalah wilayah ijtihadi. Tidak ada satu nash pun yang mengharuskan bermazhab. Yang ada adalah tuntunan untuk mengikuti ulama, namun tata caranya tidak dijelaskan. Sama halnya umat disarankan membentuk kepemimpinan politik, tetapi bentuknya terbuka dan tidak tunggal.
Kebutuhan terhadap mazhab tidak lepas dari persoalan siapa yang berhak menjadi mufti atau pemberi fatwa dan siapa yang harus minta fatwa. Awalnya mufti adalah mujtahid dan peminta fatwa adalah muqallid.
Pembahasan demikian ada dalam kajian ushul fikih, seperti dalam al-Luma’ karya al Syirazi dan al-Waraqat karya al-Juwaini sampai Irsyadul Fukhul karya al-Syaukani.
Pada dasarnya, ushul fikih membahas mengenai kriteria orang yang bisa berfatwa. Beberapa ulama memberikan kriteria sangat rinci hingga syarat pemahaman masalah khilaf. Namun belakangan, kriteria itu diperlonggar.
Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilm Ushul Fiqh mensyaratkan penguasaan bahasa Arab, Al-Qur’an dan cara memahaminya, hadis baik dari segi petunjuk hukum maupun dirayah-nya, dan mengenai qiyas. Muhammad Ali Hasabullah dalam Ushul al-Tasyri al-Islami sepakat dengan tiga kriteria mujtahid menurut Khallaf, tetapi untuk kriteria pemahaman qiyas, ia ganti dengan maqashid syariah.
Pembahasan lebih khusus mengenai mufti dan mustafti (penerima fatwa) ditulis oleh Ibnu Shalah dalam Adabul Mufti wal Mustafti dan oleh Imam Nawawi. Dari sinilah muncul lebih jelas tentang tingkatan mujtahid. Tingkat pertama diduduki oleh pendiri mazhab sebagai mujtahid mandiri dalam memahami dalil syari’ tanpa taqlid kepada siapapun.
***
Selain imam mazhab, maka kedudukannya bisa sebagai:
a. Mujtahid yang bernisbat terhadap imam mazhab dalam hal metode (tetapi tidak pada detail pendapat)
b. Mujtahid yang mengikuti kaidah-kaidah dan pendapat imam mazhab dan berijtihad dalam hal yang belum dibahas. Kelompok ini disebut pula ashab.
c. Mujtahid yang mendalami berbagai pendapat dalam mazhab dan meneliti serta memastikan mana paling kuat. Mujtahid ini ada yang menyebut sebagai ahl al-futya dan di bawahnya baru level ahl al-tarjih. Ada pula yang menyebutnya ahl al-tarjih dan level bawahnya sebagai ahl al-futya. Tulisan ini memakai urutan ini.
Dari skema di atas, muncul pemikiran bahwa setelah generasi ahl al-tarjih, tidak ada lagi mujtahid. Yang ada adalah muqallid yang hanya ikut pendapat ulama-ulama di level atasnya. Pemecahan masalah hukum sekedar merujuk kepada pendapat ahl al-tarjih atau kitab-kitab mu’tamad yang mengacu kepada pendapat yang sudah ditarjih. Akhirnya, istinbath hukum tidak lebih dari menukil (naql) pendapat mu’tamad atau memberlakukan pendapat itu pada kasus lain yang serupa.
Akhirnya muncul pikiran seperti Sayyid Utsman dalam al-Qawanin al-Syariyyah-nya bahwa ulama sekarang tidak boleh memecahkan masalah dengan Al-Qur’an dan sunah. Karena Al-Qur’an dijelaskan oleh sunah, sunah oleh imam mazhab, imam mazhab oleh ashab dan ashab oleh ahl al-tarjih maka mengikuti pendapat ahl al-tarjih adalah ekapresi dalam mengikuti Al-Qur’an dan sunah. Cukuplah istinbath dengan menuqil kitab-kitab mu’tamad.
Namun, cara pandang strukturalis terhadap mazhab demikian kurang didasarkan atas pemahaman mengenai evolusi pengertian mazhab, sebagaimana pada subbahasan di atas. Pemahaman mengenai evolusi pengertian mazhab turut mempengaruhi pemahaman mengenai hukum mengikatkan diri pada mazhab fikih klasik.
Hukum Bermazhab
Sejak awal, meskipun tampak bahwa ada kategori mujtahid dan muqallid serta keharusan muqallid bertanya pada mujtahid (mufti) tetapi mazhab sebagai struktur baku keulamaan sendiri masih belum jelas hukumnya.
Ibnu Shalah dalam Adab al-Mufti wa al-Mustafti membahas tentang bagaimana jika orang awam mengetahui hukum satu masalah berdasarkan dalilnya. Bolehkah ia berfatwa. Ibnu Shalah mengutip tiga pendapat yang dikemukakan oleh al-Mawardi dalam al-Hawi Syarah Mukhtashar al-Muzani:
1. Orang awam demikian boleh berfatwa dan boleh diikuti/ditaklidi karena ia sampai pada ilmu
2. Orang awam demikian boleh diikuti jika dalilnya adalah Al-Qur’an dan sunah
3. Orang awam demikan tidak boleh diikuti pendapatnya.
Al-Mawardi cenderung pada pendapat ketiga. Namun, adanya perbedaan pendapat tersebut menunjukkan pula adanya variasi pendapat di kalangan ulama. Di antara tiga pendapat di atas ada yang membuka luas pintu ijtihad bagi orang umum.
Pendapat kedua membuka peluang bagi keterbukaan berijtihad. Orang yang berdasar kepada Al-Qur’an dan sunah dipandang tidak bertaklid. Dalam Irsyadul Fukhul, dijelaskan bahwa ber-istinbath dari sunah tidak dikategorikan sebagai taklid, meskipun Imam Syafii menyebutnya demikian. Alasannya, Nabi Muhammad tidak berijtihad sehingga yang mengikuti sunah Rasul bukan muqallid.
Sebenarnya ada karya-karya yang membahas mengenai ijtihad hingga qiyas Nabi SAW. Tapi status ijtihad dan qiyas Nabi SAW merupakan sunah atau hadis, sedangkan ijtihad adalah upaya menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, bukan hadis itu sendiri.
al-Mawardi dalam al-Hawi membahas pula tentang penambilan pendapat lintas mazhab oleh hakim. Ia membahas tentang boleh tidaknya seorang hakim memutuskan pendapat lintas mazhab. Ia menyebut adanya perbedaan di kalangan ulama Syafi’iyyah, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak. al-Mawardi sendiri termasuk yang membolehkan.
Bermazhab ketat ala sekarang sebenarnya tidak lepas dari konteks pengadilan pada masa lampau. Hukum di pengadilan dahulu ditentukan oleh hakim. Sehingga, hakim harus seorang mujtahid. Hal itu terjadi karena masa dahulu tidak ada acuan tertulis bagi hakim di pengadilan.
***
Resikonya jika hakim beda mazhab maka putusannya bisa berbeda-beda dalam kasus yang sama. N.J. Couson dalam A History of Islamic Law mengungkapkan satu perkara yang diputuskan oleh hakim dari mazhab tertentu dengan putusan A, lalu ketika hakim berganti dengan hakim dari mazhab lain, dan masalah itu diajukan lagi ke pengadilan, maka diputus dengan putusan B.
Itulah yang di kemudian hari melahirkan pengadilan empat mazhab pada masa Abbasiya kedua hingga era Mamluk di Mesir. Orang yang berakad harus jelas pakai mazhab apa sehingga di pengadilan tidak bingung masuk pengadilan mana.
Orang yang berakad dengan mazhab X tidak boleh pindah mazhab ketika di pengadilan untuk mencari posisi hukum yang menguntungkan. Inilah yang menjadi akar mengerasnya mazhab dan larangan pindah (intiqal) mazhab serta talfiq. Larangan tersebut kemudian diberlakukan dalam urusan di luar pengadilan pula.
Namun pengadilan negara saat ini berbeda kondisinya. Yang berlaku adalah hukum yang disusun oleh negara untuk semua warga negara tanpa memandang afiliasi mazhab hukumnya. Hukum Islam yang disusun oleh negara itu tidak jarang mengambil penyesuaian sana sini hingga menggunakan talfiq, yang dihindari oleh pengadilan ala mazhab.
Bermazhab saat ini faktanya lebih longgar. Di Indonesia, misalnya, ormas yang secara tegas bersandar hanya dengan satu mazhab (Syafii) adalah Perti. Yang menerima pendapat empat mazhab, bahkan lebih dalam praktiknya, dan ada pula yang tidak berafiliasi mazhab.
***
Kecenderungan itu juga tercermin dalam karya Ahmad Alawi al-Saqqaf Mukhtashar al-Fawaid al-Makkiyah yang membolehkan intiqal (berpindah) mazhab. Meski pada dasarnya, Ahmad Alawi al-Saqqaf mengikuti mazhab, namun ia sadar bahwa mujtahid mandiri/mustaqil sudah tidak ada sejak 600 tahun lalu. Mazhab fikih jumlahnya ada 12. Namun, ia memilih hanya empat mazhab dengan alasan praktis saja, yaitu: karena empat mazhab itu jelas sumber dan sanadnya serta tidak mengalami perubahan.
Ia membolehkan taklid pada ulama mazhab lain, baik dari empat mazhab dalam masalah-masalah khusus. Ia juga membolehkan untuk mengutip pendapat ulama mazhab lain sepanjang mazhab lain itu tertulis dan terjaga otentisitasnya.
Pendapat al-Saqqaf menunjukkan sikap yang lebih realistis dalam menyikapi mazhab. Mazhab untuk saat ini tidak bisa diterima secara esklusif. Ada banyak persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat yang membutuhkan jawaban sesuai dengan masanya.