Ia adalah orang Banyuwangi, Jawa Timur yang berhasil menguasai tujuh bahasa. Salah duanya adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Yang lain, Bahasa Inggris, Arab, Persia, Prancis, dan Melayu. Fasih sekali.
Saya pernah mengundangnya menjadi narasumber dengan materi filsafat. Ia bawakan literatur-literatur Prancis. Ia sampaikan kutipan-kutipan dalam bahasa Prancis. Padahal, ia tidak kuliah di Prancis, tidak pula di Iran, tapi di Australia.
Bahasa Arab, Inggris, dan Persia ia gunakan untuk melahap literatur-literatur keislaman. Ia memang menekuni hukum Islam. Selain hukum Islam, ia juga mengajar filsafat. Mungkin Bahasa Prancis ia pelajari untuk melahap literatur-literatur induk filsafat yang bikin pusing itu. Iran juga memiliki khazanah filsafat yang luas sekali. Maka ia pelajari Bahasa Persia.
Tiap hari, ia baca buku selama 12 jam. Wajib. Juga satu jam untuk menulis. Itu rutinitas sehari-hari. Di luar mengajar di kampus dan aktivitas di Muhammadiyah. Hal ini mengingatkan saya dengan dua tokoh bangsa: Buya Syafii yang setiap hari membaca buku 13 jam dan Amien Rais yang membaca buku selama 16 jam. Waktu mereka kuliah di Chicago.
Tak heran, karya tulis yang lahir dari tangan dinginnya banyak sekali. Buku yang ia tulis sendiri ada dua. Kontekstualisasi Filsafat Transformatif: Merambah Jalan Pendidikan, Kebudayaan, Politik Kebangsaan dan Agama; dan Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah, Dar al-‘Ahd wa al-Shahadah: Elaborasi Siyar dan Pancasila.
Adapun buku yang ditulis bersama lebih banyak lagi. Nanti akan saya cantumkan di akhir tulisan. Riset, jurnal, dan artikel di media, koran, dan majalah nasional, baik dengan Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris, jumlahnya tak terhitung. Untuk mendaftar judulnya di sini saja sudah cukup melelahkan.
Padahal, dia masih muda. Usianya belum menyentuh angka 35. Namun, produktivitasnya melampaui usianya.
Biografi Hasnan Bachtiar
Ia adalah Hasnan Bachtiar. Ia merupakan kader Muhammadiyah. Aktif di Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Cendekiawan Muda Muhammadiyah. Ibunya berasal dari keluarga Nasionalis-Soekarnois. Di ruang tamu keluarga ada foto Bung Karno bawa keris. Juga ada foto Presiden Jokowi dan Bu Mega.
Sementara keluarga bapaknya berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Dari lingkungan Pesantren Buntet. Salah satu pesantren tertua di Indonesia. Pesantren ini pernah mengalami konfrontasi langsung dengan Belanda di masa penjajahan. Maklum, pesantren Buntet memang lahir karena politik belah bambu Belanda.
Di Buntet, banyak orang yang tertarik dengan Muhammadiyah melalui Masyumi. Hal itu membuat bapaknya aktif di Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Rogojampi, Banyuwangi. Ibunya lulusan SMA. Juga aktif di Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Rogojampi. Sejak kecil, ia telah mengenal Muhammadiyah melalui laku bapak ibunya.
Sejak kecil, ia terbiasa dengan pendidikan non formal seperti langgar dan TPA. Di TPA ia juga belajar kemuhammadiyahan. TPA di tempatnya diasuh langsung oleh Ketua PCA waktu itu. Namanya Ustadzah Masfuatun. Hasnan belajar bermacam-macam ilmu agama. Mulai dari Bahasa Arab, hafalan Juz ‘Amma, hingga kemuhammadiyahan.
Masa kecilnya ia habiskan sebagaimana layaknya anak kecil lain di Banyuwangi. Ia belajar di sekolah negeri sejak SD hingga SMA. Pasca SMA, ia nyantri dengan kakeknya. KH. Abdul Rasyid. Hasnan memanggilnya Mbah Mu’i. Mbah Mu’i adalah pengasuh pesantren. Dengan Mbah Mu’i, Hasnan belajar nahwu dan shorof, pelajaran gramatika Bahasa Arab.
Berbekal kemampuan itu, ia belajar secara formal di prodi Syariah Universitas Muhammadiyah Malang. Yang terletak 285 km dari kampungnya di Banyuwangi. Ia lulus S1 pada tahun 2009. Mendapatkan gelar sarjana syariah dari salah satu Perguruan Tinggi Muhammadiyah terbaik itu. Yang rektorya dua kali menjadi Menteri Pendidikan. Mulai dari A Malik Fadjar hingga Muhadjir Effendy.
Riwayat Karir Hasnan Bachtiar
Ketika kuliah, ia tidak hanya berkutat dengan pembelajaran di dalam kelas. Ia menjadi asisten peneliti di dua lembaga. Centre for Religious and Social Studies dan Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM.
Ketika kuliah di UMM, ia bercita-cita mau jadi guru SD. Kalau bisa di kelas rendah. Kelas 1 dan 2 SD. Menurutnya, menjadi guru SD adalah pekerjaan yang mulia. Setelah lulus, cita-citanya terwujud. Ia menjadi guru di salah satu SD Aisyiyah tak jauh dari kampusnya.
Selain guru SD, ia juga nyambi sebagai peneliti dan dosen muda di UMM. Dua tahun setelah itu, ia dipercaya menjadi asisten peneliti bagi Dr. Azhar Ibrahim Alwee yang sedang mengerjakan proyek penelitian di Copenhagen University, Denmark dan Stanford University, Amerika.
Ia kemudian menjadi asisten peneliti Dr. Azhar di National University of Singapore (NUS) hingga tahun 2018. Pada tahun 2013, Hasnan dipercaya sebagai Program Officer di Pusat Studi Agama dan Multikultural UMM.
Ternyata, retak tangan telah menggariskan bahwa kelasnya bukan lulusan S1 syariah. Ia melanjutkan sekolah di Australia. Di Australian National University, Canberra. Ibukota Australia dengan 410.301 penduduk. Ia mengambil master di Pusat Studi Arab dan Islam, Timur Tengah, dan Asia Tengah. Gelarnya panjang sekali: MIMWAdv. Kepanjangannya: Advanced Master of Islam in the Modern World.
Di Australia, Hasnan Bachtiar mendirikan Pimpinan Cabang Istimewa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PCI IMM) Australia dan Oceania. Ia juga menjadi ketua pertama dari organisasi yang ia dirikan itu. Ia kemudian berkecimpung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Around the World. Yang paling khas, ia juga menggondrongkan rambutnya. Panjang sekali. Seperti filsuf. Bisa anda lihat di ilustrasi artikel ini. Karena menurutnya, ongkos pangkas rambut di negeri kanguru mahal dan tak terjangkau oleh mahasiswa.
Studi di Canberra ia selesaikan pada tahun 2018. Dengan gelar yang panjang sekali itu tadi. Setelah lulus, ia melanjutkan karir sebagai dosen di almamaternya, UMM. Ia juga menjadi kontributor Majalah Suara Muhammadiyah, dewan redaksi di IBTimes, direktur riset Rumah Baca Cerdas (RBC) Abdul Malik Fadjar Institute, dan sekretaris eksekutif di Pusdiklat Pengembangan SDM UMM.
Karya
Di tengah-tengah berbagai kesibukan itu, ia sangat produktif membaca dan menulis. Jauh lebih produktif daripada rata-rata orang Indonesia. Buku yang telah ia tulis sendiri ada dua. Judulnya sudah saya tulis di atas.
Sementara buku yang ditulis bersama ada banyak sekali. Pengalaman risetnya juga banyak sekali. Lintas negara dan benua. Mulai dari Singapura, Italia, Australia, Belanda, dan Norwegia. Daftarnya panjang sekali.
Publikasinya di berbagai jurnal juga banyak. Termasuk jurnal-jurnal yang bereputasi Scopus Q1, Sinta 1, Sinta 2, Ebsco, dan lain-lain. Belasan jumlahnya. Baik berbahasa Indonesia maupun Inggris. Belum lagi puluhan artikel-artikel di berbagai media dan majalah nasional seperti Kompas, Geotimes, Suara Muhammadiyah, IBTimes, dan lain-lain.
Hasnan Bachtiar bersama Najib Burhani menerjemahkan berbagai naskah resmi Muhammadiyah ke dalam Bahasa Inggris. Hal itu mereka lakukan dalam rangka internasionalisasi Muhammadiyah.
Ia memang memiliki target. Selain 12 jam membaca dan satu jam menulis. Ia memiliki target untuk menyelesaikan satu naskah buku (modul/buku ajar), dua naskah artikel jurnal (internasional/nasional), dan satu book chapter setiap tahun. Sementara setiap bulan ia menargetkan untuk menulis artikel di media massa baik online atau cetak.
Buku-buku yang ia tulis bersama dengan penulis lain adalah sebagai berikut:
- Routledge Handbook on the Governance of Religious Diversity
- Muslim Milenial untuk Transformasi Sosial
- Pak Malik di Mata Millenial
- Sang Fadjar Menyinari Bumi Pertiwi
- Negarawan, Pendidik, dan Agamawan Lintas Generasi: 81 Tahun Abdul Malik Fadjar
- Beragama yang Mencerahkan: Risalah Pemikiran Tanwir Muhammadiyah
- Mendidik dari Akar Rumput
- Taawun untuk Negeri, Transformasi al-Ma’un dalam Konteks Keindonesiaan
- Neo-Sufisme Muhammadiyah: Genealogi, Konstruksi, dan Manifestasi
- Hak Asasi Manusia untuk Kebebasan Beragama
- Merajut Kebersamaan dalam Keragaman