Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama.
Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk, dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Dari sisi pemikiran, setidaknya ada tiga kelompok pemikiran yang berkembang pada saat itu, pertama, mereka yang cenderung pada Islam yang diwakili oleh Hassan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya.
Kedua, kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional yang diwakili oleh antara lain, Luthfi al-Sayyid dan para imigran Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran mereka bukan Islam, tetapi peradaban Barat dan prestasi-prestasinya. Ketiga, kelompok yang mencoba memadukan Islam dan Barat yang diwakili oleh Ali Abdul Razik.
Kelompok pertama menganggap modernitas dan liberalisme politik dianggap bid’ah. Kelompok kedua berasumsi bahwa, pengandaian kemajuan (khususnya di Mesir) hanya bisa dicapai dengan mengadopsi peradaban Barat. Hanafi secara sosio kultural pada awalnya terpengaruh oleh gerak pemikiran ketiga kelompok itu, terutama yang pertama hingga ia mendapat pengaruh dari Perancis.
Proyek Besar Kajian Turats
Dalam kaitannya dengan masalah turats, hampir seluruh karya-karya Hanafi bermuara pada proyek besar kajian warisan. Bukunya yang berjudul al-Turats wa-al-Tajdid masih dalam tahap awal yang merupakan pengantar untuk tiga kajian.
Pertama, sejumlah sembilan volume membahas sikap bangsa Arab yang seharusnya terhadap warisan. Kedua, sebanyak lima volume membahas sikap bangsa Arab yang seharusnya terhadap warisan Barat. Ketiga, sebanyak tiga volume membahas tentang teori hermeneutika baru untuk merekonstruksi kebudayaan manusia yang didasarkan pada skala global.
Hanafi mendefinisikan turats sebagai dokumentasi interpretasi yang dilakukan generasi masa lalu dalam merespon kebutuhan-kebutuhannya, yang dibatasi oleh koridor semangat zamannya. Ia memandang bahwa turats bukanlah tumpukan material yang tersimpan dalam perpustakaan atau musium yang terlepas dari realitas historis.
Hanafi menganalisa bahwa, akar pemikiran kontemporer (terutama di Mesir) dan juga di dunia Islam pada umumnya dapat dilacak dari tiga kerangka fundamental. Pertama, tradisi masa lalu yang tertancap kuat dalam diri umat yang pada gilirannya ikut membentuk pikiran dan sikap mereka. Karya-karya ulama klasik seperti tafsir, fikih, dan ilmu hadis telah membentuk wacana yang mendarah daging dalam diri umat.
Kedua, tradisi Barat yang dimulai sejak bangsa-bangsa Arab melakukan hubungan dengan dunia Barat kurang lebih sejak empat generasi. Tradisi Barat tersebut telah melahirkan modernisasi pemikiran Islam, seperti reformasi keagamaan, liberalisme, dan aliran ilmiah-sekuler. Ketiga, realitas Arab Kontemporer di mana umat Islam ikut berinteraksi di dalamnya baik dalam kondisi menang maupun sebaliknya.
Menurutnya, proyek membangkitkan kembali peradaban Arab-Islam harus dimulai dengan pemeriksaan kembali secara seksama dan kritis terhadap tiga persoalan fundamental itu.
Terutama bagaimana membaca dan memperlakukan turats masa lalu dengan cara memisahkan, mana yang posistif dan negatif untuk kemudian membuat formula baru untuk kepentingan kontemporer. Untuk kebutuhan ini Hanafi menawarkan bebarapa metode yang layak dan tepat.
***
Hanafi tidak sepenuhnya setuju dengan pendekatan kaum tradisionalis yang menekankan turats masa lalu sebagai hakim atas realitas masa kini dengan adagium, “al-Islam shalihun li kulli zaman wa makan”, dan pendekatan kaum modernis yang hendak menanggalkan seluruh turats masa lalu, dan menggantikannya dengan falsafah modernisme dengan pilar rasionalismenya.
Terhadap kelompok pertama yang hendak mempertahankan otentisitas, bagi Hanafi, otentisitas tanpa modernitas hanya akan membawa radikalisme, yang pada gilirannya akan membawa Islam dan kaum Muslimin semakin jauh ke dalam kegelapan.
Sedangkan modernitas tanpa akar tradisi akan kehilangan pijakan. Pada gilirannya, menurut Hanafi, turats harus dibaca sebagai sesuatu yang berkembang dalam proses menjadi.
Untuk memantapkan posisi pemikiran Hassan Hanafi dalam dunia pemikiran Islam dapat ditengarai dari tiga wajah, yaitu: Wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner.
Segera setelah Islam Iran menang, ia meluncurkan Kiri Islam. Salah satu tugasnya ialah untuk mencapai revolusi tauhid. Dalam hal ini, ia dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali Syari’ati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran dan Imam Khomeini yang memimpin revolusi dengan sukses.
Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip dengan posisi Muhammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905). Sebagai seorang reformis tradisi Islam, Hassan Hanafi adalah seorang rasionalis sebagaimana Abduh.
Sementara, wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani (1838-1896), pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai berjuang melawan imperialisme Barat dan mempersatukan dunia Islam. Hassan Hanafi menyebut perjuangannya dengan hal yang sama, yaitu perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia.
Editor: Yahya FR