Falsafah

Hassan Hanafi dan Problematika Turats Arab Islam (2)

3 Mins read

Salah satu contoh pemikiran Hanafi dalam membaca turats lama adalah, ketika ia menganalisa dan mengkritisi konstruksi ilmu kalam klasik. Beberapa kritikan Hanafi yang dimaksud adalah; pertama, ketidaksesuaian konsep-konsepnya dengan era industrialisasi.

Kedua, pengungkapan pesan-pesannya cenderung mengulang-ulang (repetisi). Ketiga, pengungkapan pesan-pesannya secara apologis, keempat, menggunakan metode retorika dan dialektika, kelima, keterbatasan bahasa Arab klasik yang digunakan (baca: Hassan Hanafi, al-Turats aw al- Tajdid).

Rekonstruksi Teologi Tradisional

Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi), sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi.

Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama.

Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.

Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.

Dalam buku Min al-Aqidah wa al-Tsawrah: al-Muqaddimat al-Nazhariyah (Dari Aqidah ke Revolusi: Pengantar Teoritik), Hanafi menggambarkan betapa teologi tradisional merupakan pruduk pemikiran yang khas zamannya, seraya ia memberikan alternatif model teologi baru yang juga relevan dengan tuntutan zamannya. Dalam judul prolognya (yang sudah dibahasa indonesiakan), “dari doa kepada sultan menuju pemihakan kepada rakyat”, menggambarkan peralihan isu teologis antara masa klasik dan kontemporer.

Baca Juga  Membumikan Teologi ala Hassan Hanafi

Menurutnya, para ahli kalam klasik meletakkan dasar bangunan teologi atas nama Tuhan, sedangkan ia ingin melakukannya atas nama umat dan bumi mereka yang terampas. Para ahli kalam klasik menulis berbagai buku untuk membela akidah tertentu. Sedangkan, ia menulis buku untuk membela hasil ijtihad umat secara keseluruhan, dan meletakannya di atas landasan persamaan.

Para ahli kalam klasik sibuk menjelaskan sejarah Tuhan dan membela posisi sultan, sedangkan ia hendak mkenjelaskan sejarah umat dan posisi mereka yang tertindas.

***

Sepertinya, Hanafi tidak berbeda dengan para pemikir Arab Islam kontemporer lainnya dalam melihat dan memperlakukan turats Arab-Islam, yaitu kecenderungannya menggunakan analisis sejarah demi kepentingan modernitas. Pendekatan sejarah merupakan salah satu landasan ynag digunakan oleh Hanafi dimana, ia banyak mempelajari fenomenologi ketika ia berkesempatan belajar di Paris.

Pendekatan ini pertama kali diterapkan Hanafi terhadap kitab Perjanjian Baru untuk menguji teorinya tentang tiga bentuk kesadaran: pertama, kesadaran sejarah (historical consciosness), kedua, kesadaran spekulatif (speculative consciosness), dan ketiga, kesadaran aktif (active consciosness).

Bagi Hanafi, proyek Tradisi dan Pembaruan (At-Turats wa at-Tajdid) berarti berusaha membangun persoalan-persoalan perubahan sosial secara alami dalam perspektif kesejarahan. Dalam hal, ini tradisi tidak dapat diabaikan karena, ia merupakan endapan psikologis suatu bangsa. Ia yang lebih dulu ada.

Oleh karena itu, ia harus diperhatikan dalam rangka memberikan jaminan agar proses keberlangsungan suatu budaya bangsa terjaga, agar kekinian dapat dibumikan, dan agar tradisi dapat digerakkan mengiringi kemajuan dan juga agar ia bisa ikut terlibat dalam persoalan-persoalan perubahan sosial.

Dari beberapa pernyataan dan pandangan Hanafi tentang turats dan beberapa analisa terhadap jalan pemikirannya, dapat ditarik ke dalam kerangka metodologi yang digunakannya.Paling tidak, ada tiga metode berpikir Hanafi dalam membaca turats Arab-Islam yaitu, dealektika, fenomenologi, dan hermeneutik.

Baca Juga  Tasawuf Nusantara: Relevansi dalam Dinamika Islam Indonesia

Jika diringkaskan pengertiannya, dialektika adalah suatu metode berpikir yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah (termasuk sejarah pemikiran), terjadi lewat konfrontasi dialektis.

Dalam pola seperti itu, nama George Wilhelm Freiedrich Hegel dan Karl Marx dalam sejarah pemikiran Filsafat Barat Modern segera muncul di mana sejarah dimaknai, as the dialectical processes and not the occurence of events. Meskipun demikian, baik Hegel maupun Marx dalam filsafat sejarahnya, berakhir pada pengaguman terhadap demokrasi liberal pada Hegel dan komunisme pada Marx.

***

Hanafi sendiri menolak metodenya sebagai perpanjangan dari Marx atau Hegel. Dalam wawancaranya yang dimuat dalam jurnal Tashwir al-Afkar ia mengatakan, meskipun dalam melihat turats Arab-Islam menggunakan analisa sosial sebagimana yang dilakukan Marx, sejatinya dalam tradisi ushul fikih telah ada.

Bahkan, ia malah berbalik mengkritik Marxisme sebagai pandangan yang “utopis” yang tidak berangkat dari realitas. Khudori Soleh menduga bahwa analisa sosial yang digunakan Hanafi lebih dekat dengan Ali Syari’ati. Namun demikian, Hanafi percaya bahwa perkembangan sejarah selalu berputar dari tesis ke anti-tesa, dan selanjutnya kepada sintesis.

Fenomenologi diakui Hanafi sebagai metode untuk memilah-milah realitas sosial yang dapat membentuk tradisi. Fenomenologi adalah suatu metode berpikir yang berusaha untuk mencari hakikat sebuah realitas. Dengan metode ini, Hanafi menghendaki agar turats Arab-Islam berbicara bagi dirinya sendiri.

Sementara itu, hermeneutik dibutuhkan Hanafi untuk menurunkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis. Yaitu bagaimana nilai-nilai yang normatif seperti banyak ditulis oleh ulama klasik dapat menjadi praksis. Hanafi juga berkehendak agar pikiran-pikiran Tuhan dapat mudah dipahami melalui perspektif manusia. Wallahu a’lam bisshawab.

Editor: Yahya FR

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Filsafat adalah Induk Ilmu Pengetahuan

5 Mins read
Pada asalnya, filsafat Islam tidak mengenal pembagian cabang-cabang filsafat sebagaimana terdapat dalam filsafat Barat, seperti metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Dua yang pertama…
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds