Pada artikel yang ditulis oleh Asma Barlas berjudul “Amina Wadud’s hermeneutics of the Qur’an: Women rereading sacred texts” mengeksplorasi pemikiran hermeneutik Amina Wadud, khususnya dalam pengulangan interpretasi atas konsep perempuan.
Amina Wadud sebagai intelektual yang mempertanyakan kesetaraan dan juga menegaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki ekualitas yang sama, tanpa ada perbedaan apapun. Asma Barlas dalam bagian ini memasukkan Amina Wadud terhadap intelektual muslim kontemporer dan Al-Qur’an yang membentuk beberapa alasan.
Pertama, karya Amina Wadud dengan meyakinkan membentuk dasar Al-Qur’an dari kesetaraan gender dalam Islam dan mengangkat pertanyaan tentang kesalahan pembacaan patriarki dari teks. Hal ini bukan hanya menyatakan, tapi juga merupakan sebuah kritikan dari mereka yang telah goyah oleh karyanya.
Kedua, Amina Wadud adalah satu-satunya perempuan dalam kelompok ini. Sebuah fakta bahwa kekuatan yang dimilikinya merupakan pencapaian dalam dominasi laki-laki dan dia mengubah dominasi tersebut. Secara historis para wanita telah dimarjinalkan dari komunitas interpretasi muslim dan sebagai konsekuensi dari penafsiran Al-Qur’an atau Tafsir. Pengecualian ini Wadud percaya dan menjelaskan kenapa tradisi tafsir membatasi kepada perempuan.
Ketiga, Amina Wadud adalah satu-satunya keturunan campuran Afrika-Amerika-Western yang beralih menganut Islam. Dengan demikian, dia membaca pertunangannya dengan agama tidak hanya sebuah kesadaran spesifik yang dibentuk oleh identitasnya. Akan tetapi juga sebuah spirit/semangat dari penyelidikan kritis yang membawanya untuk mengangkat pertanyaan tentang Islam.
Kehidupan Amina Wadud
Amina Wadud lahir pada 1952 di Bethesda, Maryland dari seorang pendeta metodis yang penuh belas kasih sayang, namun merasa kecewa dan istrinya yang muda, akhirnya keliling. Perjalanan spiritual yang membawanya ke Islam dimulai dari mencari ketenangan transenden di saat badai pergolakan menghampirinya, dilakukan pada tahap-tahap awal di bawah bimbingan ayahnya.
Adapun yang dimaksud badai adalah situai kondisi sosio-politik di lingkungan Amina Wadud yang memperlihatkan orang kulit putih memiliki status sosial tinggi di masyarakat. Berbeda dengan orang kulit hitam yang tidak supremasi dan dianggap miskin di dalam sebuah masyarakat serta berkembangnya disrkiminasi perempuan.
Masa kecil Amina Wadud dapat dibilang pendek. Hal ini karena kemiskinan yang melandanya, ibunya yang meninggalkan keluarga, dan penyitaan rumah keluarga. Kondisi ini menjadikan mereka sebagai tunawisma dalam periode singkat. Dapat dipahami bahwa mengapa Wadud berbicara tentang fase hidupnya ini sebagai masa perpindahan, kesepian, dan di atas segalanya. Namun, dia tetap bertahan.
Dengan segala polemik yang dihadapinya, Wadud tetap memprioritaskan keilmuan/pendidikan. Terbukti dalam rekam pendidikan Wadud menggapai B.Sc dalam bidang pendidikan dari Universitas Pennsylvania. Kemudian gelar masternya didapatkan dari Near Eastern Studies di Universitas Michigan. Setelah itu, menyelesaikan Ph.D pada bidang Islamic Studies dan Arabic di Universitas Michigan.
Amina Wadud mengajar di Departmen Islam pada Universitas Islam Internasional di Malaysia sampai tahun 1992. Di sinilah proyek-proyek pemikiran Wadud dibangun, mulai dari mempublikasikan beberapa pamflet yang menegaskan dukungan Al-Qur’an terhadap kesetaraan seksual, lalu mengenalkan karya progressifnya yaitu Qur’an and Woman.
Sampai saat ini, karyanya telah mengalami cetakan kelima dan edisi kedua dengan judul “Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective“. Karya ini menurut beberapa sumber telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, yaitu Turki, Persia, dan Indonesia. Sekembalinya dari Malaysia, Wadud mengajar di Departemen Filsafat dan Studi Agama di Universitas Commonwealth Virginia, setelah menghabiskan satu tahun di antara beasiswa di sekolah divinity Harvard.
Hermeneutik Equalitik
Tulisan Amina Wadud sangat luas, tetapi dia berfokus kepada tema umum dan hermeneutik. Tema yang paling konsisten darinya adalah mengenai eksplorasi terhadap konseptualisasi Al-Qur’an atas gender dan hubungan gender. Sementara fokus hermeneutiknya adalah berporos kepada cara terbaik membaca teks itu sendiri, terutama untuk menemukan ‘suara wanita (posisi wanita)’ di dalamnya.
Diskursus yang diberikan Wadud kepada dinamika perkembangan tafsir adalah dirinya menunjukkan koneksi atau hubungan antara teori dan pertanyaan metodologi, terutama antara penafsiran Al-Qur’an dan makna atau maksud dari siapa yang membaca Al-Qur’an dan bagaimana (makna kandungannya). Orientasinya terdapat pada ‘apa yang Al-Qur’an katakan’, bagaimana berkata hal demikian, apa yang dikatakan tentang Al-Qur’an, dan siapa yang melakukan perkataan atau dapat kita maknai dengan pelaku penafsiran.
Amina Wadud percaya bahwa Al-Qur’an dengan melakukan dekontekstualisasi akan berakibat kepada penolakan terhadap internal secara koheren. Pun juga tidak akan menjadi luas cangkupannya sebagaimana prinsip yang diuraikan oleh Fazlur Rahman tentang perlunya menelisik konteks.
Alhasil, banyak mufassir melakukan generalisasi makna kandungan Al-Qur’an secara spesifik. Wadud yakin adanya penindasan terhadap perempuan, karena adanya beberapa pembatasan yang dihasilkan dari problem-problem tertentu seolah-olah solusi masalah tersebut adalah prinsip universal.
Dia mencontohkan tentang pakaian, Al-Qur’an menegaskan bahwa pakaian kesalehan adalah yang terbaik. Tetapi, hukum Islam/syari’ah menggunakan referensi Al-Qur’an yang mengacu kepada gaya pakaian Arab abad ke-7 sebagai dasar kesimpulan hukum tentang kesopanan. Akibatnya, mengenakan item tertentu sebagai contoh penutup kepala dianggap sebagai demonstrasi kesopanan yang tepat.
Pendekatan yang digunakan Amina Wadud adalah hermeneutika equalitas. Dia memiliki pandangan berbeda dalam melihat perkataan Tuhan dan terjemahan atau penafsiran manusia yang dianggapnya sebagai persoalan krusial dalam memahami Al-Qur’an. Hermeneutik sebagai disiplin bertumpu pada premis bahwa bacaan tidak eksklusif satu sama lain, tidak semua interpretasi dinyatakan sama.
Keyakinan pada polisemi tekstual tidak membuat seseorang menjadi relativis/hubungan moral, juga tidak mencakup monisemi yakni gagasan bahwa hanya ada satu bacaan yang benar dari sebuah teks.
***
Pada sebuah artikel dari Ernita Dewi yang berjudul “Pemikiran Amina Wadud Tentang Rekonstruksi Penafsiran Berbasis Metode Hermeneutika” menjelaskan bahwa Amina Wadud merujuk pemikiran Fazlur Rahman terhadap pemahaman bahwa penafsiran memiliki nilai yang relatif, sehingga merumuskan adanya perbedaan antara agama dan pemikiran agama. Pada sisi agama merupakan bersifat kebenaran absolut yang mengandung bahwa agama memiliki kebenaran mutlak. Sedangkan pemikiran agama bersifat relatif, dengan alasan dari hasil interpretasi terhadap teks agama.
Bahasa dan “prior text” dari sang pembaca yakni konteks budaya ketika teks dibaca adalah kajian yang perlu mendapatkan perhatian lebih tajam dalam melakukan pembacaan dan penafsiran. Menurut Wadud, Prior text merupakan sesuatu yang paling memiliki pengaruh sebagai perspektif dan kesimpulan pembaca dalam melakukan penafsiran.
Kemudian metode yang digunakan Amina Wadud adalah metode kritik historis, yakni menelisik latar belakang budaya yang dimiliki suatu bahasa dan membedakan antara unsur normatif dan kontekstual. Sebab Wadud melihat bahwa budaya Timur Tengah telah memposisikan laki-laki lebih dominan daripada perempuan telah mempengaruhi pemahaman ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Namun, posisi Wadud sangatlah kompleks. Terlihat di satu sisi dia memegang pendirian bahwa umat muslim harus melakukan kontekstualisasi Al-Qur’an untuk menyusunnya kembali. Apa yang membuat wahyu relevan adalah lokasi dimana manusia hidup (histori)/kontekstual. Tetapi, pada saat yang sama pula di sisi lain dirinya menolak untuk memperlakukan Al-Qur’an sebagai catatan atau rekaman sejarah.
Editor: Soleh