Suatu ketika, tepatnya pada malam hari saya begitu kesulitan untuk tidur. Saya gelisah, tidak tenang, dan bahkan marah-marah. Alih-alih habis bertengkar dengan pasangan, layaknya sinetron-sinetron yang sering tayang di layar kaca televisi kita yang ujung-ujungnya baikan juga; merasa memiliki pasangan pun tidak pernah. Mblooo… mblooo. (Bercanda yak, hehehehe).
Dan siapa sangka, ternyata nyamuk adalah biang keroknya. Seekor nyamuk dengan sengaja (kagak ada akhlak) meributi lubang telinga saya setiap kali hendak ingin tidur. Baru saja mata terpejam, nyamuknya tiba-tiba datang lagi, padahal sebelumnya saya sudah mati-matian untuk mengusirnya. Masih untung saya tidak membunuhnya. Barangkali karena merasa masih kasihan kepadanya.
Tak puas dengan hanya mengganggu waktu tidur saya dengan menyanyi-nyanyi di mulut lubang telinga; nyamuk itu kemudian dengan ancang-ancang mencoba untuk menyerang. Yang tentu saja dengan tujuan menghisap sebanyak mungkin darah saya.
Karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkahnya yang begitu menjengkelkan seakan mengajak untuk berperang, saya bangun dari tempat tidur. Dalam keadaan marah dengan penuh dendam, lalu saya berucap, “Nyamuk, kali ini saya tidak akan mengasihanimu lagi. Saya akan membunuhmu, nyamuk sialan.”
Tidak lama setelah kalimat penuh dendam itu keluar dari mulut saya, dengan seketika nyamuk itu mati di tangan saya. Puas? Tentu saja, bahkan sangat puas. Dan untung saja belum ada darah yang sempat berhasil dihisap olehnya.
Bukannya melanjutkan untuk tidur, saya justru tiba-tiba dibayang-bayangi oleh perasaan was-was. Kali ini bukan nyamuk lagi yang hendak ingin mengganggu tidur saya. Bahkan musuh kali ini lebih besar daripada sebelumnya. Sebagaimana sebuah ungkapan yang berbunyi, “Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri.”
Bayang-bayang akan perasaan bersalah atas apa yang telah saya lakukan, bertindak tanpa atas dasar pengetahuan. Mengapa saya begitu bejatnya membunuh seekor nyamuk. Nyamuk adalah juga makhluk ciptaan Tuhan yang juga berhak untuk hidup sebagaimana dengan makhluk-makhluk lainnya.
Filosofi Nyamuk
Nyamuk juga adalah makhluk yang tentu saja memiliki manfaat dalam penciptaannya, sebagaimana tidak ada satupun yang sia-sia diciptakan oleh-Nya. Lagipula, apa yang saya ketahui tentang nyamuk, selain hanya serangga yang bisanya menyebarkan penyakit. Jika demikian, semestinya saya tidak seenaknya membunuhnya dengan begitu saja. Yang harus saya lakukan adalah mencari dan bertanya manfaat apa yang dimilikinya.
Dan benar saja, saya memang tidak semestinya menyimpan dendam kepada sekawanan nyamuk. Saya telah bertindak semena-mena karena telah membunuh salah satu dari mereka. Saya seharusnya membiarkannya sesekali untuk menikmati darah segar yang mengalir dalam tubuh saya.
Berdasarkan pada hasil penelitian terakhir dari University Of Florida, disebutkan bahwa rupanya nyamuk juga punya “skill” tersendiri; saat melakukan penyedotan terhadap darah manusia. Ada semacam proses memilah-milah darah yang akan disedotnya. Darah yang berbau asam, seperti asam laktat dan asam urat, serta darah yang berbau kolesterol; adalah makanan yang dianggap bergizi bagi mereka.
Artinya, bahwa nyamuk juga punya peran penting dalam menjaga kesehatan tubuh manusia. Dengan membiarkannya sesekali (jangan berlebihan) untuk menghisap darah kita, tidak ubahnya kita telah mengeluarkan racun-racun yang ada di dalam tubuh.
Melalui hisapan nyamuk, kolesterol yang ada di dalam tubuh kita bisa keluar. Salah satu jenis kolesterol adalah LDL (Low Density Lipoprotein). Keberadaan LDL yang berlebihan dalam darah bisa menyebabkan terjadinya pengerasan terhadap pembuluh darah.
Setelah mengetahui informasi yang demikian begitu mengejutkannya; saya merasa ingin mengirimkan pesan khusus kepada nyamuk-nyamuk lainnya yang belum sempat menjadi korban kebiadaban saya. “Muk, mulai dari sekarang saya akan berjanji untuk membiarkan kalian sesekali menghisap darah saya.”
Hikmah memang ada di mana-mana, bahkan pada seekor nyamuk sekalipun, serangga yang dianggap sebagai pembawa penyakit. Yang dulunya saya memusuhinya dan membunuhnya setiap kali hendak untuk menghisap darah saya, sekarang saya mulai membiarkannya untuk sesekali menikmatinya.
Hikmah dari Seorang Mantan Narapidana
Sehingga mulai dari sekarang juga kita harus belajar melihat sesuatu dengan lebih bijaksana lagi. Berhenti untuk mengedepankan stigma-stigma negatif dalam memandang setiap eksistensi yang ada di alam semesta ini. Jangan karena sesuatu itu dianggap buruk oleh banyak orang, sehingga kita pun juga ikut-ikutan sepenuhnya menganggapnya demikian. Seperti nyamuk yang bagi banyak orang dianggap sebagai pembawa penyakit, siapa sangka ternyata menyimpan manfaat yang tersembunyi.
Saya teringat tentang sebuah kisah seorang mantan narapidana yang ingin kembali menjerumuskan dirinya ke dalam penjara. Pastinya tidak satu pun ada orang yang bahkan sedetik pun ingin menginjakkan kakinya di dalam penjara. Penjara, sebagaimana yang umumnya kita pahami, adalah tempat pengurungan para penjahat. Tempat di mana kita tidak bisa lagi menikmati udara yang segar di luar sana.
Namun, anggapan demikian sepertinya tidak berlaku bagi Pras. Baginya, penjara sudah dianggapnya sebagai tempat untuk mengaktualisasikan jiwanya. Diceritakan bahwa setelah Pras bebas dari penjara, pria asal Magelang ini dengan sengaja kembali melakukan pencurian. Pras dengan yakinnya mengaku di hadapan polisi telah mencuri sebuah HP.
“Saya bisa beribadah lebih khusyuk di dalam penjara. Saya merasa lebih dekat dengan Allah.” jelas Pras, setelah ditanya oleh polisi atas alasannya melakukan pencurian.
Malam itu juga, saya mulai menyadari bahwa yang seharusnya saya bunuh adalah bukanlah para kawanan nyamuk. Melainkan, keinginan untuk bertindak tanpa atas dasar pengetahuan.
Editor: Zahra