Hisab, rukyat, dan matlak merupakan istilah yang sangat populer dalam studi astronomi Islam dan masyarakat luas, khususnya menjelang awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Ketiga istilah tersebut sangat penting, saling terkait, dan kunci dalam memahami kalender Islam global. Dengan kata lain, ketiganya perlu dipahami secara komprehensif sehingga tidak salah memahami konsep kalender Islam global yang berkembang saat ini.
Kajian seputar hisab, rukyat, dan matlak telah banyak dilakukan oleh para peneliti baik dari dalam maupun luar negeri. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut secara garis besarnya dalam memahami ketiga istilah tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tekstual dan kontekstual.
Pendukung kelompok tekstual antara lain Abdullah bin Baz, IbnUthaimin, dan Qamar Uddin, sedangkan pendukung kontekstual antara lain al-Qarafi, Fakhruddin ar-Razi, Mustofa Ahmad az-Zarqa, Khalid Shaukat, dan Jamaluddin Abd Razik.
Penelitian yang sangat komprehensif misalnya dilakukan oleh Zulfiqar Ali Shah dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul “Al-Hisabat al-Falakiyah wa Isbatu Syahr Ramadan”. Dalam uraiannya Zulfiqar menyatakan penggunaan kata “ru’yat” dalam penentuan awal bulan kamariah perlu diperluas. Dalam konteks masa kini penggunaan hisab dimungkinkan dan lebih maslahat untuk mewujudkan penyatuan kalender Islam sesuai tuntutan zaman.
Dalam praktiknya pengguna rukyat ketika melakukan observasi dan tidak berhasil maka umur bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal). Persoalannya ketika istikmal diperlakukan secara terus-menerus maka akan terjadi umur bulan hanya 28 hari. Hal ini pernah terjadi pada bulan Jumadil Akhir 1433 H/ Mei 2012 M dan Rabiul Akhir 1435 H/Maret 2014 M. Begitu pula pada tahun 1440 H/ 2019 M setahun jumlahnya 356 hari. Kasus-kasus tersebut tentu “tidak sesuai” dengan pesan Nabi saw yang menyebutkan umur bulan kamariah minimal 29 hari dan maksimal 30 hari.
***
Persoalan selanjutnya tentang matlak. Pengguna rukyat selama ini telah melakukan kontekstualisasi dalam memahami batas keberlakuan hasil observasi dan penggunaan instrumentasi observasi. Secara normatif jika penggunaan matlak merujuk hadis Kuraib maka jaraknya sekitar 1.658,5 km. Namun dalam praktiknya menggunakan wilayatul hukmi (dari Sabang sampai Merauke yang jaraknya 5.120 km). Begitu pula penggunaan instrumentasi observasi. Secara normatif yang diinformasikan oleh hadis bahwa observasi hanya dilakukan dengan mata telanjang, sedangkan praktik masa kini menggunakan peralatan yang canggih.
Hasbi Ash-Shiddieqy salah seorang pemikir hukum Islam yang sangat merindukan terwujudnya persatuan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan menyampaikan berbagai pandangan yang sangat futuristik. Awalnya ditolak dan dianggap mustahil di zamannya. Namun dalam perjalanannya seiring perkembangan sains dan teknologi pemikiran Hasbi diakui dan diimplementasikan, seperti gagasannya tentang “Lajnah Rukyat Internasional” dan matlak global. Pada tahun 1973/1393 Hasbi mengusulkan perlunya Lembaga Rukyat yang melakukan observasi setiap bulan dan dikompilasi.
Kehadiran lembaga ini dimaksudkan agar tempat di seluruh dunia yang berhasil melihat hilal segera melaporkan ke tempat lain agar bisa dipedomani dan dapat melaksanakan ibadah secara bersama-sama. Gagasan ini dianggap mustahil namun Hasbi tetap berkeyakinan persoalan informasi keberhasilan observasi di era modern bukan merupakan hambatan untuk membangun kebersamaan dalam beribadah. Keyakinan Hasbi ini terwujud. Pada tahun 1413 H/1993 M Khalid Shaukat mendirikan “moonsighting.com” dan pada tahun 1418 H/ 1998 M Jalaluddin Khanji, Nidhal Guessoum, dan Mohammad Syawkat Audah mendirikan “Islamic Crescen’ts Observation Project” atau dikenal ICOP.
***
Selanjutnya Hasbi dalam artikelnya yang berjudul “Perbedaan Mathla Tidak Mengharuskan Berlainan Hari Memulai Puasa (1393/1973)” Hasbi menyatakan “Bahwasanya ru’yah hilal di suatu daerah, berlaku untuk seluruh daerah Islam, walaupun berlainan mathla’nya. Pendapat inilah yg harus kita pegangi untuk memelihara persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruhnya”. Pandangan Hasbi tentang matlak di atas sejalan dengan pandangan Jumhur Ulama dan salah satu konsep kalender Islam global Turki 1437/2016 yaitu persoalan “transfer imkanur rukyat”.
Berdasarkan uraian di atas jalan menuju terwujudnya kalender Islam global memerlukan pemikiran-pemikiran substantif-objektif dan konsisten. Jika hal ini disadari bersama maka penyatuan kalender Islam akan segera terwujud. Sekiranya upaya unifikasi belum terwujud dan perbedaan masih terjadi seperti pada penentuan awal Syawal 1444 H/2023 M yang akan datang. Seyogyanya Kementerian Agama RI tetap bersikap moderat dan mengayomi semua anak bangsa sebagaimana dilakukan selama ini. Tidak perlu menganggap pihak yang mengumumkan lebih awal tidak menaati Ulil al-Amri.
Pelajaran penting dapat diambil ketika menjelang Ramadan 1383 H/1964 M, Menteri Penghubung Alim Ulama K.H. Fatah Jasin bersama Menteri Koordinator Kesejahteraan H. MuljadiDjojomartono mengadakan Musyawarah Alim-Ulama pada tanggal 10 Desember 1963. Pertemuan ini dihadiri para alim-ulama dari partai dan ormas Islam, pihak pemerintah diwakili oleh Menteri Agama RI K.H. Sjaifuddin Zuhri, dan Kolonel Sutjipto dari Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR).
Dalam musyawarah tersebut menerima penjelasan dari pihak Pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Agama RI K.H. Sjaifuddin Zuhri. Penjelasan dimaksud antara lain Departemen Agama memberikan dan menghormati kebebasan kepada umat Islam untuk melakukan ibadah menurut keyakinan masing-masing seperti mulai puasa dan berhari raya menggunakan hisab atau rukyat, salat Id di lapangan atau di Masjid, dan larangan mengumumkan lebih awal hanya diperuntukkan untuk kantor-kantor dan instansi pemerintah (Departemen Agama).
Selain itu ormas/masyarakat tidak ada halangan mengumumkan awal Ramadan dan Syawal menurut keyakinan dan mendahului pengumuman Departemen Agama RI. Penjelasan Menteri Agama RI Sjaifuddin Zuhri tersebut disambut baik oleh para peserta musyawarah dengan penuh keikhlasan dan ukhuwah Islamiyah. Sikap terbuka dan moderat yang dilakukan K.H. Sjaifuddin Zuhri masih relevan untuk dipedomani agar tidak terjadi perpecahan di kalangan umat Islam. Apalagi akan memasuki tahun politik 2024/1445.
𝘞𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘈’𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘪 𝘢𝘴-𝘚𝘢𝘸𝘢𝘣.
Editor: Yahya