Opini

Hisham Sharabi dan Neo-Patriarki di Dunia Arab

3 Mins read

Hisham Sharabi (1927–2005) adalah seorang intelektual Arab kelahiran Palestina yang meraih gelar doktornya di Universitas Chicago dan kemudian meniti karir di Universitas Georgetown dan Universitas Massachusetts Boston. Selama tiga dekade, ia meneliti hubungan antara modernitas, politik, dan identitas Arab (Wikipedia, 2025).

Karya klasiknya, Neo-Patriarchy: A Theory of Distorted Change in Arab Society (1992), menyebutkan bahwa proses modernisasi di negara-negara Arab tidak menghasilkan pembebasan, melainkan menciptakan bentuk patriarki yang terinstitusionalisasi, yang ia sebut “neo-patriarki.” (Sharabi, 1988).

Bagi Hisham Sharabi, neo-patriarki bukan sekadar warisan struktur keluarga tradisional, melainkan mekanisme kekuasaan yang masuk ke dalam institusi negara, sistem pendidikan, dan narasi agama, sehingga menutupi kontrol gender di balik retorika pembangunan dan keamanan nasional (Yoyo, 2018).

Kajian mengenai dinamika sosial-politik di dunia Arab ini menjadi penting untuk memahami mengapa tren modernisasi tampaknya tidak sejalan dengan kesetaraan gender atau kebebasan perempuan. Sharabi menekankan bahwa modernisasi yang dipaksakan dari atas (tanpa rekonsiliasi dengan struktur patriarki internal) sebenarnya justru memperkuat struktur otoriter yang menyamar sebagai agen kemajuan (Sharabi, 1988).

Dengan kata lain, kesuksesan teknologi, pendidikan formal, dan infrastruktur negara bukan berarti otomatis menjamin kebebasan sosial atau transformasi struktural jika kekuasaan tetap berpusat pada identitas laki-laki dan hubungan keluarga.

Neo-Patriarki Era Pasca-Arab Spring

Gerakan Arab Spring (2010–2012) menunjukkan antusiasme masyarakat Arab dalam menuntut demokrasi, keadilan sosial, dan kebebasan politik. Namun, meskipun banyak rezim otoriter runtuh, Sharabi telah memperkirakan bahwa transformasi politik tanpa adanya dekonstruksi struktural patriarki akan menghasilkan “modernitas yang terdistorsi.” (Sharabi, 1988).

Fakta baru menunjukkan bahwa perempuan tetap berada pada posisi pinggiran dalam proses politik pasca-revolusi, meskipun mereka memainkan peran besar dalam demonstrasi lapangan. Kemudian di sisi lain, pemerintah baru sering menggunakan retorika Islamis atau budaya lokal untuk mempertahankan kontrol atas tubuh perempuan dan ruang publik, hal ini mencerminkan pola neo-patriarki yang telah diidentifikasi oleh Sharabi.

Baca Juga  Harta dan Keturunan Rawan Jadi Fitnah!

Dalam artikel “Neo-Patriarchy and the Problem of the Arab Crisis: A Critical Study on Hisham Sharabi’s Works” (Yoyo, 2018), dikemukakan bahwa neo-patriarki muncul dalam tiga dimensi utama: (1) politik otoriter yang menyamar sebagai penjamin stabilitas, (2) ketergantungan ekonomi yang membatasi kemandirian perempuan, dan (3) fragmentasi sosio-budaya yang memperkuat hierarki gender melalui interpretasi selektif terhadap “demokrasi” dan “masyarakat sipil.” Setelah terjadinya Arab Spring, dinamika ini tetap menonjol: meskipun terdapat kebebasan politik, kebijakan berbasis keamanan atau identitas agama tetap saja mengesampingkan isu gender. .

Feminisme Arab dan Konsep Neo-Patriarki

Feminis Arab kontemporer, seperti Amina Wadud (1999), dan Asma Lamrabet (2017), dapat dikatakan sejalan dengan cara berpikir Sharabi yang mengkritisi kebijakan negara-negara Arab yang masih terjebak dalam neo-patriarki bahkan di era digital.

Wadud menekankan pentingnya menginterpretasikan kembali teks-teks agama agar tidak dijadikan alat penindasan dan alat pembenaran dominasi laki-laki terhadap perempuan, terutama dalam konteks peran dan hak kaum perempuan baik dalam hal ibadah maupun kehidupan sosial (Rozy, 2023).

Sementara itu, Lamrabet menggugat narasi sejarah yang menyandarkan peran perempuan sebagai inferior, sehingga ia mengusulkan untuk mendekonstruksi teologi dan hukum Islam yang dibentuk oleh kekuasaan patriarkal (Yachoulti, 2024).

Kedua pemikiran tersebut, selaras dengan visi Sharabi, yang menunjukkan bahwa “demokrasi Arab” sampai sejauh ini masih bersifat simbolis tanpa adanya perubahan struktural yang mendasar. Untuk itu, jika memang serius untuk bertransformasi dan pro gender, sudah semestinya perubahan tersebut dimulai dengan dekonstruksi gagasan-gagasan yang terdistorsi seperti kekuasaan, keadilan, dan kemanusiaan yang telah dirancang dalam kerangka patriarki. Di dunia digital, ketidaksetaraan ini dapat lebih cepat menyebar sehingga diperlukan pendekatan feminis yang kritis, inklusif, dan berkeadilan sosial.

Baca Juga  Nawal El Saadawi: Feminis Sejati dari Dunia Arab

Refleksi untuk Indonesia

Pemikiran Hisham Sharabi menekankan pentingnya kritik sosial dan dekonstruksi struktur kekuasaan yang menindas terutama di dunia Arab. Meskipun konteks geografis berbeda, teori neo-patriarki Sharabi relevan bagi Indonesia, khususnya dalam perdebatan tentang modernisasi dan keislaman.

Di Indonesia, konsep neo-patriarki dapat membantu menganalisis mengapa modernisasi tidak selalu membawa demokratisasi dan kesetaraan. Seperti dunia Arab, Indonesia juga menghadapi tantangan modernitas yang terdistorsi, di mana nilai-nilai demokratis bertabrakan dengan struktur patriarki yang masih kuat.

Warisan terbesar Sharabi adalah keberaniannya untuk melakukan kritik sosial yang tajam. Seperti yang dikatakan Sharabi (1988), kritik adalah prasyarat untuk transformasi sosial yang sesungguhnya. Pesan ini tetap relevan tidak hanya bagi dunia Arab tetapi juga bagi semua masyarakat yang berjuang untuk perubahan.

Referensi

Rozy, Y. F. (2023). The Hermeneutics Influence on Feminist Exegesis: a Case Study on Amina Wadud. QiST: Journal of Quran and Tafseer Studies, 2(3), 369–381. https://doi.org/10.23917/qist.v2i3.2908

Sharabi, H. (1988). Neopatriarchy: A theory of distorted change in Arab society. Oxford University Press.

Yachoulti, M. (2024). New Islamic Feminist Voices in Morocco: The Case of Asma Lamrabet. Journal of Africana Gender Studies, 12, 161–176. https://www.researchgate.net/publication/377159529_NEW_ISLAMIC_FEMINIST_VOICES_IN_MOROCCO_THE_CASE_OF_ASMA_LAMRABET

Yoyo, Y. (2018). Neo-patriarchy and the Problem of the Arab Crisis: A Critical Study on Hisham Sharabi’s Works. QIJIS (Qudus International Journal of Islamic Studies), 6(2), 251–268.

Editor: Soleh

Yeni Ma'fiah
1 posts

About author
Pegawai Negeri Sipil Kantor Kementerian Agama Temanggung
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *