Hizbut Tahrir (HT) didirikan oleh Taqiyuddin Al-Nabhani pada tahun 1953 di Yerussalem, Palestina. Al-Nabhani lahir di Palestina, menyelesaikan pendidikan pada Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Cairo. Ia sempat berkarir sebagai guru dan sebagai hakim di tanah kelahirannya. Pencaplokan Israel atas Palestina pada tahun 1948 membuatnya kehilangan tanah air dan hijrah dari satu negara ke negara lain: Yordania, Syiria, dan Lebanon. Peristiwa pendudukan Israel menyadarkan dirinya bahwa umat Islam sangat lemah di hadapan Israel dan Barat.
Ia menilai bahwa salah satu penyebab dari ketidakberdayaan tersebut adalah tercerai-berainya umat Islam secara politik, sebagai akibat dari penghapusan sistem kekhilafahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 1924. HT, seperti tercermin dalam namanya, muncul sebagai gerakan yang berupaya untuk membebaskan Palestina dan dunia Islam pada umumnya.
Meskipun menggunakan nama partai, HT tidak mengikuti pemilihan umum. HT menolak sistem politik yang ada yang dibangun atas dasar sistem sekular buatan manusia, dan bertentangan dengan hukum Tuhan.
Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia (selanjutnya disebut HTI) pada tahun 1982. Gerakan ini diperkenalkan oleh Abdurrahman al-Baghdadi dan Abdullah bin Nuh. Al-Baghdadi adalah aktivis HT Lebanon yang hijrah ke Australia, sementara Abdullah bin Nuh adalah pengasuh pesantren Al-Ghazali di Bogor, Jawa Barat, dan staf pengajar Sastra Arab di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Perkenalan keduanya berawal dari kunjungan Bin Nuh ke Australia untuk menengok anaknya yang kuliah di Sidney. Terkesan dengan kedalaman ilmu al-Baghdadi, Bin Nuh mengajaknya ke Bogor untuk membantu mengembangkan pesantrennya.
Di kota hujan inilah Al-Baghdadi dan Bin Nuh mulai mengenalkan ide-ide HT. Sosialisasi dimulai dari pesantren Al-Ghazali, dan terus berkembang di kalangan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (IPB) melalui kajian Islam di masjid kampus Al-Ghifari dan Salman.
Mendapatkan respon yang positif dari mahasiwa, kedua tokoh ini mulai aktif merekrut pengikutnya melalui pola kajian dan halaqah yang berkembang di kampus-kampus. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus (LDK), bersama-sama dengan gerakan Islam lainnya seperti Tarbiyah dan kelompok Salafi, HTI berkembang ke kampus-kampus lain di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi.
Bergerak di bawah tanah selama pemerintahan Orde Baru, HTI baru muncul ke permukaan pada Mei 2000. Saat itu para aktivis HTI menyelenggarakan konferensi internasional tentang khilafah di Lapangan Tenis Indoor, Senayan. Pemunculan pertama di depan publik ini memperkenalkan ide-ide, program-program dan pimpinan HTI. HTI mengklaim bahwa konferensi tersebut dihadiri oleh 5.000 anggota dan simpatisan, dan dihadiri oleh delegasi dari luar negeri, termasuk Australia dan Malaysia. Sejak saat itu, HTI menarik perhatian media massa.
Aktivitas dan Aksi HTI
Aktivitas HTI, terutama aksi demonstrasi sering menghiasi halaman media cetak dan menjadi berita utama media elektronik. Sukses konferensi tersebut diikuti oleh konferensi internasional kedua tentang Khilafah di Senayan pada tahun 2007 dengan tema “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia”. HTI mengklaim konferensi tersebut dihadiri oleh 80.000 pendukung HTI, dan berhasil menghadirkan tokoh-tokoh HT internasional, seperti Syeikh Issam Ameera (HT Palestina) dan Sheikh Utsman Abu Khaleel (HT Sudan). Perhelatan akbar yang kedua ini juga mengundang tokoh-tokoh nasional, termasuk ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin.
Aktivitas utama HTI meliputi mobilisasi masa (demonstrasi), sosialisasi ide-ide gerakan melalui penyelenggaraan seminar dan diskusi, dan penerbitan. Dalam aksi demonstrasi, HTI menyikapi berbagai isu dalam dan luar negeri. Terkait urusan domestik, HTI mendesak pemberlakuan syari’at Islam sebagai solusi bagi segala persoalan yang menimpa Indonesia saat ini.
Mereka mengusung slogan “Selamatkan Indonesia dengan Syari’ah Islam”. Sementara sehubungan dengan masalah internasional, HTI penolakan kebijakan Amerika Serikat terhadap dunia Islam, terutama kasus Palestina. Sementara itu, sosialisasi ide-ide khilafah dilakukan dengan sangat sistematis melalui berbagai seminar dan penerbitan buku.
Isu Sentral
Di atas semuanya itu, tentu saja HTI menjadikan restorasi khilafah Islamiyyah sebagai isu sentral. Seperti telah disinggung di atas, HTI memandang bahwa dihapuskannya khilafah Islamiyyah menjadi penyebab lemahnya umat Islam di dunia, karena umat Islam tercerai berai dan dikuasai oleh Barat dengan ideologi kapitalis dan sekular. Dunia Muslim menghadapi berbagai persoalan kemanusiaan, yakni kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan kezaliman.
Penyebab ini semua, menurut HTI, karena negara-negara Muslim, termasuk Indonesia menganut sistem dan ideologi sekular Barat. Solusi untuk semua persoalan tersebut adalah penerapan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) melalui pendirian sebuah daulah khilafah. Menurut HTI, hanya sistem khilafah-lah yang layak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Dari sebuah negara khilafah inilah, diha-rapkan terjadi reunifikasi seluruh dunia Islam.
Perjuangan pembangunan kembali khilafah Islamiyyah ini melalui beberapa tahapan: pertama, periode Tatsqif, yakni tahap pembinaan dan pengkaderan. Kedua, periode tafa’ul ma’al ummah, yakni proses sosialisasi ide-ide, gagasan-gagasan dan program-program partai kepada masyarakat umum sehingga masyarakat siap menerima dan menerap-kan ide-ide tersebut. Dan terakhir, periode Istilam al-hukm, yakni pengambilalihan kekuasaan secara damai, atau penyerahan kekuasaan dari seorang penguasa negara kepada seorang khalifah.
Isu khilafah Islamiyyah dan penerapan syari’ah Islam adalah isu yang seksi dan menarik perhatian umat Islam. Banyak umat Islam yang bernostalgia akan kejayaan umat Islam di bawah kepemimpinan al-khulafa al-rasyidun. Kekacauan sistem ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia telah menggiring beberapa tokoh dan aktivis Muslim untuk melirik syari’ah Islam sebagai solusi alternatif. Hal ini dibuktikan dengan munculnya beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa syari’ah.
Dengan kenyataan seperti ini, maka tidak mengherankan bila banyak orang yang tertarik kepada HTI, termasuk jamaah Muhammadiyah yang menjadi syabab (kader) HTI.
Editor: Nabhan