Sejak awal berdiri pada 18 November 1912 Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang berperan besar mempertahankan kedaulatan bangsa. Menjaga hubungan baik dengan negara sudah sejak lama menjadi ikhtiar yang dilakukan Muhammadiyah untuk ikut berkontribusi menyelesaikan tiap-tiap permasalahan yang di hadapi bangsa.
Sebagai bagian dari umat Islam dan masyarakat Indonesia, wajib hukumnya memberikan kontribusi positif dalam rangka menjaga kondusifitas bangsa. Gelora dakwah yang identik dengan amar ma’ruf nahi munkar menjadikan Muhammadiyah selalu terpanggil saat negara sedang membutuhkan.
Di masa penjajahan misalnya, Indonesia telah mengalami krisis multidimensi yang menyerang segenap bangsa Indonesia. Pada masa itu, kepekaan terhadap realitas sosial dicontohkan langsung oleh Kyai Dahlan sebagai bentuk kontribusi untuk bangsa dan negara. Sejak itulah Muhammadiyah mulai membangun relasinya dengan negara untuk mengentaskan negara dari segala persoalannya.
Relasi Agama dan Negara
Terkait relasi agama dan negara, Milton Yinger sebagaimana di kutip dalam Karim (1999) menjabarkan terdapat tiga pendangan mengenai relasi agama dan negara.
Pertama, masyarakat menjadi bagian dari faktor yang mengintegrasikan masyarakat dalam bentuk negara. Kedua, agama dipergunakan untuk kepentingan kekuasaan politik yang berkuasa atas nama negara. Ketiga, agama di pakai oleh pihak oposisi untuk mengontrol kekuasaan politik yang berkuasa atas negara.
Namun, ketiga hal tersebut ternyata telah diatur oleh Islam. Pertama, relasi agama berusaha mengintegrasikan Islam ke dalam negara. Sehingga negara atau politik ditarik ke dalam wilayah agama, bukan menjadikan agama sebagai alat politik. Kedua, simbiosis yang memandang agama dan negara saling berhubungan erat satu sama lain. Ketiga, nilai instrumental yang menganggap negara sebagai alat untuk merealisasikan nilai-nilai agama Islam.
Lantas dalam hal ini di manakah Muhammadiyah memposisikan dirinya dalam hal relasi kenegaraan?
Muhammadiyah dan Relasi Kenegaraan
Dalam hal relasi, Muhammadiyah menempati posisi sebagai pengontrol kekuasaan dengan melontarkan krititik yang bersifat konstruktif dan korektif serta menawarkan solusi atas problematika yang sedang dihadapi bangsa.
Saat ini, Muhammadiyah telah menapaki usianya yang ke 109. Sedangkan, Indonesia saat ini baru menginjak usia yang ke 76 semenjak proklamasi kemerdekaan dibacakan.
Lantaran perbedaan usia yang bisa dikatakan cukup jauh, tak membuat Muhammadiyah mentang-mentang lebih tua lalu berbuat seenaknya saja. Namun kesempatan itu justru dimanfaatkan Muhammadiyah untuk mengulurkan tangan sebagai bentuk pengamalan dari tauhid sosial.
Dari situlah menjadikan Muhammadiyah mengalami perjalanan sejarah politiknya yang matang dalam hal relasinya dengan negara. Realitas tersebut tak sedikitpun mempengaruhi Muhammadiyah untuk terjun ke dalam politik praktis.
Namun, kontribusi politik yang dilakukan Muhammadiyah di sepanjang sejarah tak bisa dikatakan sepele. Melalui jihad konstitusi dan lobi-lobi politiknya, Muhammadiyah berhasil menggagalkan rancangan undang-undang yang dinilai merugikan masyarakat.
Relasi Muhammadiyah dan Negara di Masa Pra Kemerdekaan
Sejak awal didirikan Muhammadiyah selalu memiliki gaya dakwah yang adaptif sesui dengan keadaan zaman. Hal ini terlihat ketika Muhammadiyah membutuhkan izin resmi dari pemerintah kolonial agar memiliki badan hukum resmi.
Dalam hal ini, Muhammadiyah berusaha menarik simpati dari pejabat kolonial dengan mengandalkan sikap kooperatifnya. Sehingga Muhammadiyah berhasil memperoleh izin resmi tanpa adanya kecurigaan besar dari pemerintah Hindia Belanda (Peacok, 1983).
Namun demikian, di balik sikap kooperatifnya, Muhammadiyah juga tidak melupakan aspek kekritisannya dalam merespon kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan.
Terbukti, adanya perlawanan kebijakan ordonansi guru tahun 1925 yang di lakukan oleh Haji Abdul Karim Amrullah dan K.H Fachruddin melalui tulisannya. Bahkan Muhammadiyah cabang Sumatera Barat kala itu memberanikan diri mengerahkan masa untuk menolak kebijakan tersebut.
Perlu di ketahui, ordonansi guru merupakan kebijakan untuk mengawasi keberadaan guru agama yang keberadaanya dinilai sangat mengancam tanah jajahan kolonial. Oleh karenanya, pemerintah kolonial berusaha memperkuat kekuasaannya dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat khususnya umat Islam.
Kemudian saat tanah jajahan pindah ke tangan Jepang, Muhammadiyah juga tak melupakan sikap kooperatif yang dibarengi dengan sikap kritis. Hal ini terlihat ketika KH Mas Mansur didaulat oleh pemerintah Jepang sebagai salah satu dari empat tokoh serangkai yang dimintai bantuan oleh Jepang.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH. Mas Mansur.
Pada kesempatan lain, lewat Ki Bagus Hadikusumo Muhammadiyah dengan tegas menolak budaya seikerei yaitu kegiatan membungkuk ke arah timur untuk menghormati kaisar Jepang dan pemujaan Dewi Amaterasu Omikami.
Jelas kebiasaan tersebut mengandung syirik sehingga dengan tegas mendapat penolakan dari Ki Bagus Hadikusumo. Namun tentunya penolakan tersebut disampaikan dengan menggunakan etika-etika yang santun.
***
Kemudian saat menjelang proklamasi kemerdekaan, Muhammadiyah ikut menyumbangkan kontribusinya melalui tokoh-tokohnya yang tergabung dalam panitia BPUPKI maupun PPKI.
Beliaulah Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Muzakkir, dan Kasman Singodimedjo yang menghibahkan pikiran dan tenaganya untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Lebih lanjut saat perumusan sila dasar negara muculah ide cemerlang dari Ki Bagus Hadikusumo mengenai perubahan sila pertama yang terkenal dengan peristiwa piagam Jakarta. “Ketuhanan Yang Maha Esa” dipilih untuk menggantikan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Beliau-beliau lah yang menunjukkan etika toleran, moderat dan inklusif dalam menyampaikan gagasannya. Sehingga sampai hari ini etika tersebut menjadi ciri khas Muhammadiyah dalam mengamalkan relasi kenegaraan.
Editor: Yahya FR