Fikih

Hukum Islam, Berdasar Akal atau Teks?

3 Mins read

Dominan mana antara teks dan akal dalam memproduksi hukum Islam? Pertanyaan yang sederhana, tetapi untuk menjawabnya harus presisi. Terlebih dahulu kita akan mengingat kembali persoalan teks dan akal. Yang dari problem tersebut melahirkan beberapa sekte dalam Islam—secara spesifik bidang teologi.

Tetapi, di bagian ini yang hendak ditinjau bagaimana posisi akal dan teks dalam hukum Islam. Apa mungkin keduanya saling menegasi dalam membentuk hukum Islam? Jamak sudah kita ketahui bersama perdebatan teologis antara Mu’tazilah dan Asyariyyah serta posisi keduanya. Posisi antara Mu’tazilah dan Asy’ariyyah juga sampai ke ranah antara teks dan akal.

Di dalam hukum Islam, kita bisa juga melihat kedua hal tersebut. Apakah di antara kedua juga mengalami pertentangan atau bisa disintesakan. Menarik sepertinya jika kembali ke titik historis hukum Islam, tepatnya pada posisi antara ahlul hadits dan ahlul ra’yi.

Antara Madinah dan Iraq

Kedua perbedaan ini tidak hanya bisa ditilik secara garis teritorial, melainkan juga pakem menggali hukum Islam. Yang pertama berkembang pesat di Madinah, sedang yang terakhir justru di Irak. Keduanya memberikan gambaran bagaimana dialektika antara teks dan akal saat itu [Ahmad Hasan, 1984]

Orang-orang di Madinah cenderung kepada teks (hadis) sebagai landasannya. Sementara di Irak lebih cenderung kepada penalaran logis. Produk Irak inilah yang melahirkan salah seorang rasionalis dalam hukum Islam, Imam Abu Hanifah.

Tidak menarik rasanya jika berlama-lama dan meromantisasi konfrontasi antara ahlul hadits dan ra’yi. Alangkah lebih menarik jika kita melihat bagaimana posisi akal dan teks dalam menghasilkan produk hukum. Kita akan lihat sumber hukum (mashadir ahkam) yang diakui dan landasan masing-masing.

Landasan yang Diambil

Pertama, yaitu dua sumber hukum yang kehujahannya disepakati bersama, Al-Qur’an dan sunah. Rasa-rasanya, tidak ada pertentangan di dalam bagian ini dan dari empat mazhab menyepakati. Lebih dari dua hal tersebut, setiap imam mazhab punya corak tersendiri.

Baca Juga  Berpuasa pada Yauma 'Asyura

Sudah saya sebut Imam Abu Hanifah dengan lakab rasionalis dalam hukum Islam. Salah satu entitas dalam pandangannya yang menjadi sumber hukum tidak lain adalah istihsan. Pengertian dari istihsan di sini tidak sama dengan apa yang ada dalam KBBI.

Pengertian istihsan dalam kacamata Imam Abu Hanifah tidak lain merupakan perpindahan dari tuntutan qiyas jail (illat-nya jelas) kepada qiyas khafi (illat-nya bersifat praduga kuat). Dengan begitu, dapat disimpulkan, yang dominan dalam menentukan perpindahan ini musabab suatu kondisi tertentu adalah akal.

Di bagian ini, akal dapat menentukan apakah istihsan bisa diberlakukan atau tidak. Hal ini ditolak oleh Imam as-Syafi’i karena dianggap tidak mempunyai landasan nas yang kuat. Ia hanya berlandaskan kepada akal dalam langkah penentuannya [Asmawi, 2013].

Tidak cukup sampai di situ, Imam as-Syafi’i justru maju dengan penalaran silogisme-analogis (qiyas) yang sistematis. Meskipun dalam menentukan sebuah illat ada sedikit banyak andil akal, tetapi basis dasarnya tidak bisa terlepas dari teks itu sendiri.

Illat dari sebuah hukum yang telah ditentukan oleh nas kemudian dijadikan sebagai hukum asal yang pada gilirannya melahirkan hukum cabang. Dari hal ini dapat saya tilik bahwa penggunaan antara akal dan teks di dalam hukum Islam saling berkaitan erat.

Bisa disimpulkan secara sederhana, sebebas-bebasnya akal dalam memproduksi hukum pada basisnya tetap harus menginjakkan kakinya di teks. Untuk menghasilkan sebuah produk hukum tidak bisa secara mutlak dibebaskan dari teks (Al-Qur’an dan sunah).

***

Meski setiap Imam punya corak masing-masing, namun basis dasar yang tidak bisa ditinggalkan adalah nas itu sendiri. Bagaimanapun, hukum Islam merupakan sebuah pengembangan dari apa-apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan dengan perantara nabi. Oleh sebab itu, dinamika di hukum Islam tidak layak jika harus diupayakan sebuah pembersihan dari peradaban teks (hadaratun nash).

Baca Juga  Jangan Mencuri, Makan Saja yang Haram!

Hanya saja, kita dapat memberikan porsi dominasi teks atau akal. Dengan jalan tengah seperti ini, saya berasumsi tidak ada negasi di antara keduanya. Pengagum teks tidak akan mengatakan para rasionalis telah menyimpang.

Sebaliknya, orang yang menggunakan akalnya secara dominan tidak akan menuduh kolot golongan tekstualis. Model sintesis seperti ini—meski tidak seimbang kemungkinan mampu mendamaikan posisi akal dan teks.

Akhirnya, untuk menggali hukum Islam tidak ideal jika hanya menggunakan teks tanpa akal. Sebagaimana tidak idealnya menggunakan akal tanpa landasan teks sama sekali. Kedua hal ini sepanjang perjalananya harus sama-sama saling terkait dan berkelindan erat.

Rujukan:

Ahmad Hasan. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. 1984.

Dr. Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. 2013.

Editor: Yahya FR

Avatar
10 posts

About author
Pegiat literasi dan berdomisili di Garawiksa Institute Yogyakarta. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surel [email protected] atau instagram @rofqil_bazikh
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds